Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) kembali mencetak sejarah dengan sebuah landmark decision yang mengubah lanskap penegakan hukum ekonomi syariah di tanah air.
Dalam Laporan Tahunan 2024, MA secara tegas menyoroti putusan penting yang memperkenankan penerapan dwangsom (uang paksa) dalam kasus-kasus yang melibatkan penghukuman pembayaran sejumlah uang. Ini merupakan langkah progresif yang menyimpangi ketentuan Pasal 611 Rv, membuka jalan bagi keadilan yang lebih substantif.
Alasan di balik keputusan ini, sebagaimana diuraikan dalam Laporan Tahunan MA 2024, adalah untuk secara spesifik mengizinkan dwangsom diterapkan ketika prestasi yang harus dipenuhi adalah pembayaran uang dan nasabah terbukti mengalami kerugian nyata (real loss).
Dengan demikian, hakim kini memiliki diskresi untuk membebankan uang paksa, meskipun Pasal 611 Rv sebelumnya membatasi hal tersebut. Ini menandakan komitmen kuat Mahkamah Agung dalam menghadirkan kepastian hukum dan perlindungan yang lebih efektif bagi para pelaku usaha serta konsumen di sektor ekonomi syariah.
Posisi Kasus
Putusan monumental ini berakar dari sebuah kasus sengketa asuransi jiwa syariah. Seorang nasabah, sebagai pemegang polis "Berkah Savelink", mengalami kecelakaan dan mengajukan klaim. Namun, PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia, sebagai tergugat, enggan mencairkan klaim tersebut, bahkan setelah semua berkas dilengkapi. Perbuatan wanprestasi ini mengakibatkan kerugian materiil dan immateriil bagi penggugat.
Menariknya, penggugat dalam petitumnya secara spesifik meminta pengenaan dwangsom sebesar Rp1.000.000,- per hari keterlambatan pembayaran putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Di tingkat pertama, Pengadilan Agama Jakarta Selatan (Nomor Perkara 3234/Pdt.G/2021/PA.JS) mengabulkan sebagian gugatan, namun menolak tuntutan dwangsom dari Penggugat. Putusan ini kemudian dikuatkan di tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta (Nomor Putusan 83/Pdt.G/2022/PTA.JK).
Terobosan Mahkamah Agung: Keadilan di Atas Batas Yuridis
Titik balik terjadi di tingkat kasasi. Majelis Hakim Agung (Nomor Putusan 364 K/Ag/2023) memperbaiki putusan sebelumnya dengan mengabulkan permohonan dwangsom, meskipun dengan nominal yang disesuaikan menjadi Rp100.000,- per hari keterlambatan.
Pertimbangan Mahkamah Agung sangatlah krusial: meskipun Pasal 611a Rv secara harfiah melarang dwangsom untuk penghukuman pembayaran uang, MA menegaskan bahwa demi pertimbangan keadilan dan kemanfaatan hukum, hakim memiliki diskresi untuk membebankan uang paksa. Hal ini dilakukan untuk menghindari keterlambatan pelaksanaan putusan, khususnya dalam kasus pembayaran klaim asuransi di mana nasabah telah mengalami kerugian nyata.
Dwangsom: Lebih dari Sekadar Sanksi Finansial
Dwangsom atau yang dikenal sebagai astreinte dalam tradisi hukum Prancis, adalah sebuah instrumen hukum yang berfungsi sebagai penekan psikis ampuh. Konsep ini, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Manan (2008), bukanlah hukuman pokok, melainkan bersifat aksesori dan tambahan. Artinya, dwangsom hadir untuk mendukung putusan utama; ia tidak berdiri sendiri, melainkan melekat pada kewajiban pokok yang harus dipenuhi oleh pihak yang kalah.
Sifat psikologis dwangsom terletak pada kemampuannya untuk menciptakan tekanan. Dengan menetapkan denda harian atau periodik atas setiap keterlambatan, pengadilan berharap dapat memotivasi pihak tergugat untuk segera melaksanakan putusan. Ini bukan tentang membalas dendam, melainkan tentang efektivitas penegakan hukum: memastikan bahwa keadilan yang telah diputuskan di atas kertas dapat terealisasi secara nyata, tanpa harus melalui proses eksekusi yang berlarut-larut.
Dijadikannya putusan ini sebagai landmark decision dalam Laporan Tahunan Mahkamah Agung (MA) 2024 merupakan penegasan kuat atas komitmen serius MA dalam menciptakan panduan hukum yang jelas terkait sengketa ekonomi syariah di Indonesia. Keputusan ini bukan sekadar sebuah preseden, melainkan sebuah arahan strategis yang akan menjadi rujukan esensial bagi para hakim di semua tingkatan peradilan. Hal ini mendorong adopsi pendekatan yang lebih seragam dan konsisten, yang pada akhirnya akan memperkuat kepastian hukum dalam sektor yang terus berkembang ini.
Putusan ini adalah angin segar yang telah lama dinantikan oleh para pelaku usaha yang berpegang pada prinsip syariah, serta bagi konsumen yang menggunakan produk dan layanan syariah. Dengan adanya dasar hukum yang lebih tegas mengenai penegakan hak-hak mereka, putusan ini menjamin perlindungan hukum yang lebih efektif dan berkeadilan. Ini bukan hanya tentang menyelesaikan sengketa, tetapi juga tentang membangun kepercayaan dan stabilitas dalam ekosistem ekonomi syariah di Indonesia.
Putusan ini secara definitif menandai era baru dalam penegakan hukum ekonomi syariah di Indonesia. Ini adalah langkah maju yang signifikan, menunjukkan bahwa sistem peradilan kita mampu beradaptasi dan berinovasi demi memenuhi kebutuhan masyarakat dan dinamika pasar. Pertanyaan besar yang kini muncul adalah: akankah terobosan ini memicu reformasi lebih lanjut, mendorong pengembangan instrumen hukum yang lebih canggih, dan pada akhirnya, memastikan keadilan yang menyeluruh bagi semua pihak yang terlibat dalam sengketa finansial syariah di masa depan?