Pemeriksaan kasus pidana perikanan yang telah dinyatakan terbukti bersalah berdasarkan fakta hukum di persidangan, majelis hakim biasanya selain menjatuhkan putusan pidana pokok dan pidana tambahan berupa perampasan barang bukti hasil kejahatan atau perampasan barang bukti, yang telah dipergunakan sebagai alat untuk melakukan kejahatan.
Tujuan pemberian pidana pokok dan tambahan terhadap kasus pidana perikanan adalah, untuk mencapai esensi tujuan dari pemidanaan itu sendiri, yaitu bertujuan tidak hanya untuk menghukum pelaku kejahatan, tetapi juga sebagai sarana pencegahan, rehabilitasi, dan perlindungan kepada masyarakat.
Pidana tambahan terhadap barang bukti pidana perikanan, telah diatur secara tegas pasal 76A Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, yang berbunyi “Benda dan/atau alat yang digunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan Ketua Pengadilan Negeri.”
Selain harus mempertimbangkan dakwaan dan tuntutan dari jaksa penuntut umum, berdasarkan ketentuan pasal 76A Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, majelis hakim sesungguhnya hanya memiliki dua pilihan, apabila ingin menjatuhkan pidana tambahan terhadap barang bukti pidana perikanan, yaitu merampas barang bukti a quo untuk negara atau untuk dimusnahkan.
Bilamana Majelis Hakim menjatuhkan pidana tambahan terhadap barang bukti pidana perikanan di luar dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum, serta ketentuan hukum yang berlaku atau yang sering disebut dengan putusan ultra petita, maka berpotensi melanggar norma asas hukum acara, menimbulkan ketidakpastian hukum, menimbulkan kesalahan dalam penerapan hukum dan menimbulkan penyalahgunaan wewenang.
Dalam konteks hukum Indonesia putusan ultra petita yang dilakukan oleh Majelis Hakim dalam memutus perkara pidana jarang sekali terjadi. Hal tersebut dikarenakan Majelis Hakim terikat dengan prinsip hukum acara pidana yaitu ultra petita partium. Di mana, Majelis Hakim dalam memutus perkara terikat pada dakwaan dan tuntutan yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Meskipun majelis hakim memiliki kebebasan, namun tetap dibatasi oleh prinsip-prinsip hukum acara pidana.
Dalam konteks hukum acara pidana, putusan ultra petita akan dikeluarkan Majelis Hakim, jika dakwaan JPU dianggap kurang sempurna dan hukum belum mengaturnya dengan jelas. Namun, apabila sudah ada peraturan perundang-undangan yang secara tegas mengatur tentang barang bukti pidana perikanan, maka sudah sepatutnya hakim mengacu kepada aturan hukum tersebut dalam setiap menjatuhkan amar putusan.
Ada beberapa hal yang dapat dijadikan bahan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana tambahan terhadap barang bukti pidana perikanan jika dirampas untuk negara sebagai berikut:
1. Barang bukti pidana perikanan masih memiliki nilai ekonomi yang tinggi yang dapat dilelang dan hasilnya diserahkan ke kas negara;
2. Barang bukti pidana perikanan masih dalam kondisi baik dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan institusi pemerintah yang selanjutnya diatur tersendiri melalui mekanisme hibah;
3. Barang bukti pidana perikanan masih dalam kondisi baik dan dapat dimanfaatkan untuk kelompok nelayan atau lembaga swadaya masyarakat yang selanjutnya diatur tersendiri, melalui mekanisme hibah;
Sebaliknya, hakim juga dapat memberikan pidana tambahan terhadap barang bukti pidana perikanan untuk dimusnahkan dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Barang bukti pidana perikanan sudah mengalami penurunan kualitas atau pembusukan dan berpotensi menimbulkan pencemaran, serta membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan;
2. Barang bukti pidana perikanan sudah mengalami kerusakan berat dan tidak memiliki nilai ekonomi lagi bila dipertahankan;
Sebagai bahan diskursus dan jurisprudensi bagi aparat penegak hukum, terkait dengan topik ini, penulis mencoba mengulas sepintas putusan kasus kapal ikan asing asal China yang terlibat kejahatan illegal fishing transnasional di laut Arafura WPPNRI 718 MV. Run Zeng 03 GT.870.
Pada pemeriksaan tingkat judex facti, Majelis Hakim memutus pidana tambahan, yaitu barang bukti kapal ikan asing tersebut dirampas untuk negara, guna diserahkan kepada Kementerian teknis yang membidangi perikanan sebagai kapal pengawas. Putusan pidana tambahan tersebut, didasari permintaan secara tertulis dari kementerian teknis tersebut, sebagai pihak eksternal dan tidak terkait langsung dengan perkara a quo yang membutuhkan tambahan kapal pengawas perikanan dari maraknya praktek illegal fishing.
Dalam perkara a quo, JPU dalam tuntutannya meminta agar barang bukti kapal ikan asing, tersebut dirampas untuk negara sebagaimana amanat pasal 76A Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009. Oleh karenanya, berdasarkan putusan judex facti dimaksud, JPU selanjutnya mengajukan upaya hukum hingga tingkat kasasi.
Melalui pemeriksaan tingkat kasasi, telah mengoreksi putusan judex facti dan mengabulkan tuntutan JPU menjatuhkan pidana tambahan terhadap barang bukti kapal ikan asing asal China dirampas untuk negara.
Berdasarkan putusan judex juris (kasasi) terhadap barang bukti kapal ikan asing asal China dimaksud, terdapat pesan moral dan hukum sebagai berikut:
1. Hakim agar selalu mempedomani tujuh nilai-nilai utama Mahkamah Agung yaitu Kemandirian Kekuasaan Kehakiman, Integritas dan Kejujuran, Akuntabilitas, Responsibilitas, Keterbukaan, Ketidakberpihakan, dan Perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai wujud profesionalisme dalam melaksanakan tugasnya.
2. Hakim dalam menjatuhkan pidana tambahan terhadap barang barang bukti illegal fishing, agar tidak melampaui ketentuan yang telah diatur dalam pasal 76A Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009
3. Hakim tidak bisa menjatuhkan pidana tambahan terhadap barang bukti pidana perikanan, dengan memberikan langsung kepada pihak eksternal yang tidak terkait langsung pokok perkara melalui putusannya, diluar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
4. Instansi pemerintah atau kelompok masyarakat yang tidak terkait langsung dengan pokok perkara dapat menerima manfaat dari barang bukti pidana perikanan, misalnya kapal ikan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkrah) dengan mengajukan permohonan kepada pemerintah melalui mekanisme aturan hibah, sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 145/PMK.06/2021 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi