Hak uji materiil atau biasa dikenal judicial review di Mahkamah Agung (MA) adalah hak MA untuk menilai materi muatan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi. Sedangkan peraturan perundang-undangan adalah kaidah hukum tertulis yang mengikat umum di bawah undang-undang.
MA berdasarkan Pasal 24A ayat (2) UUD 1945 memberikan wewenang kepada Mahkamah Agung untuk mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Selanjutnya, berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang MA yang menyatakan tidak sah suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
Termuat dalam Laporan Tahunan 2021 MA berupa putusan penting (landmark decision), mengenai hak uji materiil sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Nomor 17 P/HUM/2021 memberikan kaidah hukum yakni Surat Keputusan Bersama menjadi objek hak uji materiil karena sifat berlakunya terus menerus, objek normanya berulang-ulang, subjek pengaturannya bersifat umum, luas dan berlaku ke luar, serta perilaku yang dirumuskan bersifat abstrak dan tertulis dan penggunaan seragam dan atribut dengan kekhasan agama tertentu kepada penganutnya tidak dapat dimaknai sebagai bentuk intoleransi.
Bertindak sebagai pengadil dalam perkara Nomor 17 P/HUM/2021 tersebut, Dr. H. Yulius, S.H., M.H., Dr. Irfan Fachruddin, S.H., CN. dan H. Is Sudaryono, S.H., M.H., yang merupakan perkara permohonan hak uji materiil antara Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (Lkaam) Sumatera Barat Sebagai Pemohon Melawan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia sebagai termohon I, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia sebagai termohon II, Menteri Agama Republik Indonesia sebagai termohon III, dengan klasifikasi Surat Keputusan Bersama Mendikbud, Mendagri dan Menag.
Kronologis Kasus
Pemohon sebagai lembaga adat yang bertugas mempertahankan pakaian muslimah karena sudah menjadi budaya yang sesuai dengan agama dan sejalan dengan peraturan perundang-undangan, merasa dirugikan, bahkan [emohon sangat khawatir
pakaian muslimah tidak lagi menjadi pakaian seragam bagi peserta didik dan kalau sudah demikian, pendidikan tidak lagi berakarkan pada agama dan budaya sebagaimana dimaksud dalam Bab XIII Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pemohon sebagai lembaga adat yang diakui oleh negara ini punya kepentingan bagaimana pendidikan dapat dilakukan sesuai dengan maksud Bab XIII Undang Undang Dasar 1945 dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Maka oleh karena itu pemohon memilih langkah hukum untuk memperjuangkan hak pemohon melalui uji materiil terhadap Surat Kesepakatan 3 (tiga) menteri tersebut yaitu: Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia dan Menteri Agama Republik Indonesia, Nomor 02/ KB/2021, Nomor 025-199 Tahun 2021, Nomor 219 Tahun 2021 tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Di Selenggarakan Pemerintah Daerah Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, Tanggal 3 Februari 2021, melalui Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai lembaga peradilan yang memiliki kewenangan untuk itu.
Objek permohonan keberatan, baik dari sisi pembentukan yang tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku, maupun terdapatnya substansi materi atau muatan yang bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi, yaitu Pasal 1 angka 1, Pasal 42 ayat (2) dan Pasal 97 Undang-Undang Nomor
12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah diubah dengan Undang-Undang 15 tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Substansi/materi/muatan kaedah larangan yang terantum dalam objek keberatan seperti tidak boleh mewajibkan, memerintahkan, mensyaratkan, bahkan menghimbau pengunaan pakaian seragam dan atribut dengan kekhasan agama tertentu bertentangan dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah, Undang-undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Peraturan pemerintah Nomor 48 tahun 2016 tentang Tata Cara Penggenaan Sanksi Administrasif Kepada Pemerintah.
Pertimbangan Majelis Hakim Permohonan Uji Materiil
Terhadap objek permohonan keberatan hak uji materiil ini, Mahkamah Agung dalam
mempertimbangkan tidak sebatas formalitas bentuk peraturannya saja, melainkan substansi pengaturannya, walaupun obyek hak uji materiil menggunakan istilah keputusan namun dari norma hukum yang diatur dalam objek permohonan keberatan hak uji materiil tidak bersifat einmahlig, melainkan bersifat dauerhaflig (berlaku terus menerus dan objek normanya berulang-ulang).
Begitu juga dengan adresat atau subjek norma pengaturan bersifat umum dalam arti luas, berlaku ke luar, dan perilaku yang dirumuskan atau objek normanya bersifat abstrak yaitu materi muatannya ditujukan mengatur tingkah laku (seragam dan atribut dengan kekhususan agama), hak, kewajiban, status atau suatu tatanan di bidang pendidikan sekolah dasar dan menengah, dan adanya sanksi.
Dilihat dari substansi isinya, objek permohonan keberatan hak uji materiil tersebut merupakan rambu tertulis yang dibuat oleh tiga kementerian sebagai bagian dari pemerintah pusat, sesuai kewenangannya, yang pengaturannya berlaku umum di seluruh wilayah negara dan dalam waktu tidak tertentu,sehingga mempunyai akibat hukum dan dampaknya berskala nasional.
Pasal 100 Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan menentukan bahwa Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Wali Kota, atau keputusan pejabat lainnya harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.
Di sini terkandung makna, nyatanya sampai saat ini, masih ada pejabat yang membuat keputusan namun substansinya mengatur (regeling) layaknya peraturan perundang undangan, seperti penerbitan objek permohonan keberatan hak uji materiil.
Keberlakuan yuridis suatu peraturan perundang-undangan mempunyai daya ikat untuk umum sebagai suatu dogma yang dilihat dari pertimbangan yang bersifat teknis yuridis. Secara yuridis, objek permohonan hak uji materiil a quo normanya sudah ditetapkan berdasarkan norma hukum yang lebih tinggi sebagaimana telah dipertimbangkan mengenai dasar kewenangan di atas dan ditetapkan sebagai norma hukum oleh lembaga yang memang berwenang untuk itu. Dengan demikian, objek permohonan hak uji materiil a quo dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan.
Larangan bagi pemerintah daerah dan pihak sekolah untuk mewajibkan, memerintahkan, mensyaratkan, mengimbau ataupun melarang penggunaan seragam dan atribut dengan kekhasan agama tertentu adalah sangat jelas menyalahi ketentuan Pasal 1 angka 1 dan angka 2 (Hakikat Pendidikan dan Pendidikan Nasional), Pasal 3 (Fungsi dan Tujuan Pendidikan), dan Pasal 12 ayat (1) huruf a (Hak Pendidikan Agama) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dengan mewajibkan, memerintahkan, mensyaratkan, mengimbau, ataupun melarang penggunaan seragam dan atribut dengan kekhasan agama tertentu kepada penganutnya, tidaklah dapat dimaknai sebagai bentuk intoleransi. Hal ini menunjukkan identitas kekhasan agama, sekaligus menegaskan kebhinekaan. Menghargai keberagaman itulah toleransi, sehingga peserta didik terbiasa untuk saling menghargai dengan identitas budaya, agama dan suku masing-masing.
Mewajibkan, memerintahkan, mensyaratkan, mengimbau, ataupun melarang penggunaan seragam dan atribut dengan kekhasan agama tertentu kepada penganutnya adalah merupakan pembiasaan dalam proses belajar mengajar bagi peserta didik yang belum dewasa, sehingga menjadi terbiasa untuk mencapai tujuan pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Juga bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia dan hal tersebut merupakan perwujudan pelaksanaan ajaran beribadah yang sesuai dengan amanat Pasal 29 UUD 1945.
Sepatutnya pemerintah tidak membebaskan warganya yang belum dewasa untuk memilih seragam yang sesuai atau tidak sesuai dengan agamanya, karena hal tersebut tidaklah sensitif dengan realitas di masyarakat dan dapat meyimpang dari nilai-nilai dasar, nilai-nilai budaya dari masyarakat yang sudah tumbuh sejak lama.
Dilihat perspektif normatif, dengan diterbitkannya objek permohonan keberatan hak uji materiil akan menimbulkan tumpang tindih norma hukum. Artinya, kalau dasar pemikiran yang menjadi latar belakang diterbitkannya objek permohonan keberatan hak uji materiil adanya beberapa kasus hukum konkret berupa pemaksaan maupun pelarangan penggunaan seragam dan atribut di sekolah bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan yang tidak sesuai keyakinan dan agama yang dianutnya, hal seperti itu sudah ada pengaturannya dalam peraturan erundang-undangan yang tersebar baik di ranah hukum pidana, perdata, dan tata usaha negara/administrasi pemerintahan. Sehingga, apabila terjadi pelanggaran hukum maka yang bersangkutan (pihak yang melanggar atau melawan hukum) dapat diproses langsung melalui proses peradilan yang ada.
Amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 17 P/HUM/2021
- Mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon: Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat tersebut;
- Menyatakan Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia dan Menteri Agama Republik Indonesia, Nomor 02/KB/2021, Nomor 025-199 Tahun 2021, Nomor 219 Tahun 2021 tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, tanggal 3 Februari 2021, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 angka 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 1 angka 1 dan angka 2, Pasal 3, Pasal 12 ayat (1) huruf a, dan Pasal 50 ayat (4) dan (5) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan karenanya tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Memerintahkan kepada termohon I, termohon II, dan termohon III untuk mencabut Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia dan Menteri Agama Republik Indonesia, Nomor 02/KB/2021, Nomor 025-199 Tahun 2021, Nomor 219 Tahun 2021 tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, tanggal 3 Februari 2021;
- Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Agung untuk mengirimkan salinan putusan ini kepada percetakan negara untuk dicantumkan dalam Berita Negara.
- Menghukum termohon I, termohon II, dan termohon III untuk membayar biaya perkara sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah).
Dengan adanya putusan peninjauan kembali ini menjadi yurisprudensi yang dapat digunakan hakim lainnya yang memeriksa dan memutus perkara yang sama dengan kaidah hukumnya, serta menjadi pemahaman bagi praktisi hukum, akademisi hukum, mahasiswa hukum dan masyarakat pada umumnya.