Prof. Topo: Pedoman Pemidanaan KUHP Nasional Beri Hakim Ruang Pertimbangan Keadilan Masyarakat

Prof. Topo Santoso menegaskan KUHP Nasional memberikan ruang kebebasan hakim dalam mempertimbangkan keadilan masyarakat.
Pelatihan online hukum pidana nasional dengan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia. Foto : Dokumentasi Probadi
Pelatihan online hukum pidana nasional dengan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia. Foto : Dokumentasi Probadi

MARINews, Jakarta – Badan Strategi Kebijakan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung (Bastrajak Diklat Kumdil) menyelenggarakan Pelatihan Singkat Pendalaman Substansi dan Kebaruan Hukum Pidana Nasional (UU No. 1 Tahun 2023) bagi para hakim pidana tingkat pertama dan banding di seluruh Indonesia. Kegiatan ini berlangsung secara teleconference pada 28 Agustus–4 September 2025.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H., menjadi pemateri utama. Ia mengatakan hadirnya KUHP Nasional merepresentasikan revolusi paradigma dalam sistem hukum pidana Indonesia, bukan sekadar perubahan teknis, tetapi juga transformasi filosofis.

"KUHP Nasional merupakan manifestasi konkret dari upaya menempatkan hukum pidana Indonesia pada posisi yang lebih progresif," tegas Prof. Topo. 

"Orientasi sistem tidak lagi terpaku pada pendekatan retributif yang menekankan pembalasan, melainkan bergeser menuju keadilan masyarakat dan pendekatan restoratif yang lebih humanis," imbuhnya.

Menurut Prof. Topo, KUHP Nasional menjadi instrumen hukum yang menjaga martabat masyarakat Indonesia dengan mengakomodasi nilai budaya serta norma sosial yang hidup di tengah masyarakat. 

Pendekatan ini sekaligus mengukuhkan karakter hukum pidana yang sesuai dengan konteks sosial, budaya, dan nilai-nilai Pancasila, alih-alih sekadar mengadopsi sistem asing.

Pelatihan ini juga menghadirkan diskusi interaktif dari para hakim di berbagai daerah. 

Misalnya, Douglas Hard T., S.H., Hakim PN Tebing Tinggi, mengangkat persoalan Pasal 2 KUHP Nasional terkait potensi konflik antara hukum masyarakat dalam Peraturan Pemerintah dengan ketentuan Undang-Undang.

Menanggapi hal itu, Prof. Topo menjelaskan bahwa pemerintah tengah menyiapkan Rancangan Undang-Undang Penyesuaian Peraturan Perundang-Undangan agar sanksi pidana dalam peraturan pemerintah dapat selaras dengan hukum adat.

Diskusi juga dilanjutkan oleh Novritsar Hasintongan Pakpahan, Hakim PN Kotabumi, yang membahas Pasal 54 KUHP Nasional mengenai pedoman pemidanaan. Prof. Topo menegaskan pedoman ini tidak dimaksudkan untuk kaku, melainkan memberi fleksibilitas terkontrol bagi hakim dalam menjatuhkan putusan.

Aspek yang harus dipertimbangkan meliputi bentuk kesalahan, motif, sikap batin, perencanaan, sikap setelah perbuatan, riwayat hidup, kondisi korban, pemaafan dari korban, hingga nilai hukum dan rasa keadilan. 

Pertimbangan itu memperlihatkan bahwa KUHP Nasional mengintegrasikan disiplin kriminologi, viktimologi, hingga sosiologi hukum.

“Pedoman pemidanaan dalam Pasal 54 KUHP Nasional secara eksplisit memberikan ruang bagi kebebasan hakim untuk mempertimbangkan keadilan masyarakat dalam setiap putusan. Hakim bukan sekadar corong undang-undang,” ujar Prof. Topo.

Prof. Topo menutup paparannya dengan menegaskan keberhasilan KUHP Nasional sangat bergantung pada kemampuan aparatur penegak hukum beradaptasi dengan paradigma baru yang lebih restoratif. 

Transformasi ini, menurutnya, menuntut komitmen dan profesionalisme seluruh elemen peradilan demi menjaga integritas hukum di Indonesia.