Tenggang waktu upaya administratif kini tidak menjadi batasan untuk mengajukan sengketa tata usaha negara ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kaidah hukum tersebut sudah tertuang dalam SEMA No. 5 Tahun 2021.
Dengan adanya kaidah hukum ini, gugatan ke PTUN jadi tidak terikat lagi dengan tenggang waktu 21 hari yang diatur dalam UU 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP) dalam memeriksa sebuah perkara.
Kaidah hukum ini kini sudah banyak diterapkan oleh para Hakim Tata Usaha Negara dalam lapangan praktek. Namun, melihat proses lahirnya kaidah hukum yang sangat penting bagi PTUN merupakan hal menarik sebagai pengetahuan.
Proses lahirnya kaidah hukum tenggang waktu upaya administratif (UA) ini dituangkan dalam landmark decisions di Buku Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia 2022.
Kaidah hukum bahwa tenggang waktu upaya administratif tak menjadi batasan pengajuan gugatan ke PTUN lahir dalam Putusan Tingkat Kasasi nomor: 327 K/TUN/2021 (Putusan 327) atau lebih dikenal dengan “Putusan Bandara Palembang”.
Sebelum putusan kasasi, terdapat dua putusan yang mendahului, yakni Putusan PTUN Palembang nomor: 32/G/2020/PTUN.PLG (Putusan 32) dan Putusan PTTUN Medan nomor: 19/B/2021/PTTUN.MDN (Putusan 19).
Majelis Hakim Agung tingkat kasasi yang menelurkan kaidah hukum ini terdiri dari Prof. Dr. H.Supandi, S.H.,M.hum (Ketua Majelis), Dr.H.Yodi Martono,S.H.,M.H, dan Is Sudaryono, S.H.,M.H masing-masing sebagai Hakim Anggota.
Penggugat dalam perkara ini adalah PT. Angkasa Pura II (AP II). Tergugatnya Kepala Kantor Pertanahan Kota Palembang (Kakantah). Tergugat II intervensi adalah Pemerintah Repubilk Indonesia Cq. Kementerian Pertahanan Republik Indonesia (Kemenhan).
Objek sengketanya adalah Sertipikat Hak Pakai Nomor 11/Kelurahan Talang Betutu, tanggal 09 – 09 – 2019, Surat Ukur Nomor 6417/Talang Betutu/2019 tanggal 06 September 2019, seluas 2.067.811 m² atas nama Pemerintah Republik Indonesia Cq. Kementerian Pertahanan Republik Indonesia (Sertifikat Hak Pakai)
Dalam dalil gugatan AP II, sertifikat hak pakai milik Kemenhan tumpang tindih dengan lahan milik PT.AP seluas seluas 3.239.980 meter persegi dan 378.635 meter persegi. Kedua lahan tersebut digunakan untuk Bandar Udara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang oleh AP II.
Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim tingkat pertama akhirnya menyimpulkan hal tersebut mengakibatkan cacat, baik prosedur maupun substansi dalam penerbitan Sertipikat Hak Pakai Tergugat II Intervensi sehingga objek sengketa harus dibatalkan atau memenangkan AP II.
Kakantah dan Kemenhan mengajukan banding terhadap putusan tingkat pertama ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan. AP II menjadi terbanding di tingkat banding.
Majelis Hakim tingkat banding dalam putusannya, sebelum mempertimbangkan mengenai pokok perkara, lebih dulu mempertimbangkan mengenai apakah gugatan penggugat (terbanding) telah menempuh upaya administrasi sebelum gugatan diajukan ke pengadilan yang berkaitan dengan eksepsi kewenangan absolut yang diajukan oleh pembanding (Kemenhan) dalam gugatannya.
Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim tingkat banding menilai berdasarkan terbanding sudah mengetahui adanya objek sengketa sejak 11 Maret 2020. Akan tetapi, terbanding (AP II) baru mengajukan keberatan atas objek sengketa pada 14 April 2020 sehingga disimpulkan AP II telah melampaui batas waktu upaya administrasif paling lama 21 hari kerja.
Majelis Hakim tingkat banding kemudian dalam pertimbangan hukumnya menyatakan Pengadilan Tata Usaha Negara harus dinyatakan tidak berwenang memeriksa dan memutus sengketa tersebut berdasarkan pasal 2 ayat (1) PERMA Nomor: 6 Tahun 2018. Amar putusan perkara ini adalah menerima eksepsi kewenangan mengadili dari tergugat II intervensi dan menyatakan tidak menerima gugatan penggugat (terbanding).
AP II membawa perkara bandara palembang ke tingkat kasasi di mana akhirnya melahirkan kaidah hukum tenggang waktu upaya administratif bukan batasan mengajukan gugatan ke PTUN..
Majelis Hakim Agung tingkat kasasi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan tidak dapat mempertimbangkan mengenai alasan-alasan pemohon kasasi karena isinya mengenai penilaian hasil pembuktian dan menyatakan, judex factie tidak bertentangan dengan hukum maupun undang-undang sehingga majelis menolak permohonan kasasi dari AP II.
Namun, majelis tidak sependapat dengan judex factie tingkat banding mengenai pertimbangan hukum mengenai tenggang waktu upaya administratif. Menurut Majelis Kasasi, tenggang waktu upaya administratif (UA) tidak boleh diterapkan secara kaku. Hal ini karena para pihak dalam perkara ini adalah AP II, Kakantah, dan Kemenhan yang merupakan subjek yang aktif dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Menurut majelis, penerapan UA harus bersifat fleksibel dengan tiga tujuan utama, yakni: Mendorong dialog antarpihak untuk mencapai penyelesaian di luar pengadilan; menghindari miskomunikasi dan ketegangan melalui pendekatan yang lebih komprehensif; menciptakan penyelesaian internal yang cepat dan efektif.
Oleh karena itu, majelis berpendapat bahwa pengajuan UA yang melewati batas 21 hari tidak serta-merta menghilangkan hak untuk menggugat ke PTUN, selama gugatan diajukan masih dalam tenggang waktu 90 hari.
Selain itu, Majelis Kasasi juga menyimpulkan tenggang waktu gugatan ke PTUN harus dipahami secara luas, tidak sempit. Hal ini sejalan dengan tujuan UU AP yang mengutamakan penyelesaian internal (premium remedium) sebelum ke pengadilan (ultimum remedium).
Majelis juga menyatakan, UA bisa dilakukan berkali-kali, terutama karena para pihak adalah badan pemerintahan dan sengketa menyangkut aset negara.
Dengan demikian, Majelis tingkat kasasi tidak sependapat dengan putusan tingkat banding dan mendorong para pihak untuk kembali melanjutkan dialog internal.
Perkara ini kemudian berlanjut ke tingkat peninjauan kembali (PK) kesatu dengan register perkara 181 PK/TUN/2022 dan PK kedua dengan register perkara 161 PK/TUN/2023. Kedua PK tersebut telah diputus oleh majelis tingkat peninjauan kembali.