Mahkamah Agung memiliki peran penting dalam memberikan perlindungan hukum terhadap harta bersama perkawinan melalui putusan-putusannya. Hal ini tercermin dalam Putusan Nomor 2691 K/Pdt/1996 yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Agung sebagai salah satu yurisprudensi sebagaimana termuat dalam buku berjudul Yurisprudensi Mahkamah Agung 1998.
Putusan dengan klasifikasi jual beli tanah tersebut diputus oleh J. Djohansyah, S.H., selaku Hakim Ketua dengan didampingi para Hakim Anggota yaitu, H. Toton Suprapto, S.H., dan Asma Samik Ibrahim, S.H., pada 18 September 1998.
Perkara bermula saat penggugat sebagai pembeli tanah seluas 3,9 ha telah sepakat secara lisan dengan tergugat selaku penjual dengan harga Rp2.680.000.000,00. Untuk itu, penggugat telah memberi uang panjar Rp80 juta dan menghitung keuntungan dari tanah sengketa yang digunakan untuk proyek perumahan, yaitu sebanyak 175 buah dengan harga Rp85 juta per unit dan jika habis terjual selama empat tahun, penggugat mendapat keuntungan sejumlah Rp3.211.750.000,00.
Kemudian, tanpa dasar tergugat I membatalkan perjanjian lisan tentang jual beli tanah tersebut dan mengembalikan uang panjar. Dengan demikian, penggugat mengeklaim, tergugat I ingkar janji dan melawan hukum yang merugikan penggugat. Adapun jumlah kerugian menurut penggugat sejumlah Rp80 juta dan bunga 2% sejak 16 Februari sampai lunas ditambah keuntungan yang diharapkan sejumlah Rp3.211.750.000,00.
Pertimbangan Judex Facti Tingkat Pertama dan Banding
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan melalui Putusan Nomor 87/Pdt.G/2994/PN Mdn menolak gugatan penggugat. Judex facti mendasarkan pada perjanjian lisan antara penggugat dengan tergugat I tertanggal 16 Februari 1994 yang belum dilanjutkan/dituangkan dalam perjanjian tertulis di depan notaris sebagaimana yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak dalam perjanjian lisan tersebut.
Dengan demikian, menurut Majelis Hakim, hak-hak dan kewajiban-kewajiban kedua belah pihak belum jelas dan begitu pula terhadap objek perjanjian yaitu, tanah dan batas-batasnya. Karena tidak hanya mengenai tanah tergugat saja, tetapi juga meliputi tanah orang lain yang akan dibebaskan.
Berkaitan dengan panjar sejumlah Rp80 juta berupa bilyet giro, Majelis Hakim menilai, dana tersebut belum tentu/belum pasti tersedia/dijamin oleh bank. Oleh karena itu, Pengadilan Negeri berpendapat, perjanjian lisan tersebut belum mengikat kedua belah pihak, sehingga judex facti tingkat pertama menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya. Selain itu, judex facti turut menyatakan, gugatan rekonvensi dari tergugat I dan tergugat II dalam konvensi tidak dapat diterima.
Pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi Medan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Medan dengan mengabulkan gugatan penggugat sebagian. Majelis Hakim tingkat banding menyatakan, perjanjian lisan untuk melakukan jual beli tanah yang telah disepakati kedua belah pihak (penggugat dan tergugat) mengenai objeknya terperkara, harga dan panjarnya adalah sah menurut hukum.
Judex facti tingkat banding berpendapat, terjadinya perjanjian lisan oleh tergugat I dengan penggugat yang dihadiri atau tidaknya oleh tergugat II (isteri tergugat I), tidak menghalangi terlaksananya perjanjian tersebut. Hal ini, Majelis Hakim tingkat banding berpendapat, karena status tergugat I adalah suami yang dapat melakukan perbuatan hukum yang menyangkut harta kekayaan suami isteri.
“Karena dalam ikatan perkawinan mereka tidak terdapat perjanjian harta terpisah sebagaimana bukti T. II. I., Akte Perkawinan Nomor 25 tanggal 6 Februari 1963, maka oleh karena itu, Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa tergugat II harus tunduk pada putusan ini.” bunyi salah satu pertimbangan dalam Putusan Nomor 86/PDT/1995/PT-MDN.
Selanjutnya, berkaitan dengan tuntutan penggugat terhadap ganti kerugian atas uang Rp80 juta yang diserahkan dalam bentuk giro bilyet kepada tergugat tersebut, Majelis Hakim tingkat banding berpendapat, tuntutan ganti rugi dimaksud tidak dikabulkan karena tergugat telah dituntut melaksanakan perjanjian.
Mahkamah Agung Mengadili Sendiri
Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara tersebut dengan menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 87/Pdt.G/2994/PN Mdn. Majelis Hakim pada 18 September 1998 berpendapat, Pengadilan Tinggi telah salah menerapkan hukum. Hal tersebut disebabkan, perjanjian lisan merupakan voor overeenkomst, suatu perjanjian permulaan yang akan dibuat di depan notaris.
Perjanjian seperti itu, judex juris menilai, tidak mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang membuatnya, sehingga tidak mempunyai akibat hukum. Hal ini disebabkan, perjanjian lisan yang masih harus ditindak lanjuti dan belum dibuat di depan notaris seperti yang dimaksud surat penggugat tertanggal 19 Februari 1994 (bukti T.I.1).
Adapun mengenai tanah objek sengketa yang merupakan harta bersama (gono-gini) antara tergugat I dan tergugat II selaku suami isteri, Majelis Hakim tingkat kasasi merujuk pada Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974. Judex juris berpandangan, tindakan terhadap harta bersama oleh suami atau isteri, harus mendapat persetujuan dari suami isteri tersebut. Sedangkan perjanjian permulaan dalam perkara dimaksud, belum mendapat persetujuan tergugat II selaku isteri. Dengan demikian, Majelis Hakim tingkat kasasi menyatakan perjanjian permulaan yang dilakukan secara lisan tersebut tidak sah menurut hukum.
Selanjutnya, judex juris dalam konvensi tentang pokok perkara, menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya dan menyatakan sita jaminan yang telah dilakukan oleh Pengadilan Negeri Medan tertanggal 24 Maret 1994 dan Berita Acara Sita Jaminan tidak sah dan tidak berharga.
Judex juris turut memerintahkan Pengadilan Negeri Medan untuk mengangkat kembali sita jaminan tersebut. Adapun dalam rekonvensi tentang pokok perkara, judex juris menyatakan, gugatan rekonvensi tergugat I dan tergugat II dalam konvensi tidak dapat diterima.
Berdasarkan uraian putusan tersebut, terdapat tiga kaidah hukum penting yang dapat diambil dari Putusan Nomor 2691 K/Pdt/1996, yaitu:
- Perjanjian lisan, baru merupakan perjanjian permulaan yang akan ditindak lanjuti dan belum dibuat di depan Notaris, belum mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang membuatnya, sehingga tidak mempunyai akibat hukum.
- Tindakan terhadap harta bersama oleh suami atau isteri harus mendapat persetujuan suami isteri.
- Perjanjian lisan menjual tanah harta bersama yang dilakukan suami dan belum disetujui isteri, maka perjanjian tersebut tidak sah menurut hukum.
Publikasi yurisprudensi yang telah ada tersebut, semoga semakin menguatkan kedudukan yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum yang ikut berperan dalam pembangunan hukum nasional, sehingga dapat mewujudkan keadilan sosial dan rasa kepastian hukum di masyarakat.