Yurisprudensi MA RI: Gugatan Ganti Rugi Kepada Pelapor Tindak Pidana

Bilmana terdapat gugatan perdata kepada pelapor atau pengadu dugaan tindak pidana, maka gugatannya dapat dinyatakan ditolak.
Dokumentasi sampul Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2016
Dokumentasi sampul Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2016

Konstitusi Indonesia telah memberikan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara yang berlandasarkan ketentuan hukum atau disebut sebagai negara hukum, sebagaimana Pasal 1 Ayat 3 UUD NRI.

Wujud dari negara hukum adanya ketertiban umum dan perlindungan kepentingan masyarakat, yang diatur melalui seperangkat peraturan perundang-undangan. Bagi pihak-pihak pelanggar kepentingan umum dan ketertiban masyarakat, yang diatur ketentuan hukum pidana, dapat dilaporkan kepada aparatur penegak hukum.

Langkah hukum melaporkan adanya dugaan tindak pidana, dijamin dan dilindungi negara. Bagi individu yang menyaksikan, melihat, mengalami atau sebagai korban tindak pidana dapat menyampaikan laporan atau pengaduan kepada penyelidik atau penyidik, secara tertulis atau lisan sebagaimana ketentuan Pasal 108 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Bahkan, untuk pemufakatan jahat atas ketentraman dan keamanan umum, jiwa atau hak milik wajib sesaat setelah peristiwa yang dilihat atau dialaminya, melaporkan kepada penyidik atau penyelidik sesuai Pasal 108 Ayat 2 KUHAP.

Adapun penyidik adalah anggota kepolisian atau PNS yang diberikan wewenang melakukan penyidikan oleh undang-undang, sedangkan penyelidik merupakan anggota Kepolisian, sesuai Pasal 1 Angka 1 dan 4 KUHAP.

Berdasarkan data yang dihimpun Badan Pusat Statistik (BPS), masih sedikit masyarakat Indonesia mengambil langkah proaktif melaporkan adanya dugaan peristiwa pidana yang dilihat atau dialaminya, di mana sesuai riset BPS jumlah masyarakat yang menjadi korban tindak pidana dan selanjutnya melaporkan kepada pejabat berwenang pada rentang 2015-2020 yakni di bawah 25%.

Meskipun jumlah pelapor tindak pidana tergolong kecil, negara terus berupaya memberikan perlindungan kepada pelapor tindak pidana atas ancaman yang dapat saja timbul dari pelaporannya dimaksud.

Sesuai ketentuan Pasal 5 Ayat 1 s.d. 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindugan Saksi dan Korban (UU Perlindungan Saksi dan Korban), menjelaskan bahwa pelapor dugaan tindak pidana berhak dapatkan perlindungan atau jaminan keamanan atas dirinya, keluarga dan harta bendanya berdasarkan Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI.

Selain itu, menurut pasal yang sama, pelapor berhak mendapatkan kerahasiaan identitas. Bahwa pelapor yang dapatkan perlindungan dari LPSK RI, wajib memenuhi syarat berupa sifat pentingnya keterangan pelapor dan tingkat ancaman yang membahayakan pelapor, sesuai Pasal 28 Ayat 3 UU Perlindungan Saksi dan Korban.

Namun langkah melakukan pelaporan tindak pidana, bukan tanpa risiko. Tidak sedikit subjek hukum yang dilaporkan melakukan tindak pidana dan selanjutnya sampai dengan proses di peradilan dengan putusan bebas dan berkekuatan hukum tetap, mengambil langkah hukum terhadap pelapor baik menggugat secara perdata atau melaporkan balik secara pidana. 

Penulis, akan uraikan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI mengenai gugatan ganti kerugian, yang diajukan terlapor tindak pidana yang tidak terbukti melakukan tindak pidana melalui putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Gugatan tersebut diajukan kepada pelapor, karena akibat pelaporannya mengakibatkan terlapor menghadapi proses hukum pidana sebagai tersangka dan terdakwa. 

Kaidah Hukum Yurisprudensi MA RI Terhadap Gugatan Terlapor kepada Pelapor Dugaan Tindak Pidana

Banyak publik enggan melaporkan peristiwa pidana, terutama atas peristiwa yang tidak menyangkut kerugian terhadap diri sendiri atau keluarganya, karena dapat menghadapi langkah hukum baik pidana atau perdata yang dilakukan terlapor. Khususnya, saat laporan atas dugaan tindak pidana tidak terbukti di Pengadilan dan berkekuatan hukum tetap. 

Mahkamah Agung RI, melalui Yurisprudensi MA RI Nomor 808 K/Pdt/1989 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 20 Oktober 1990, menjelaskan, individu yang melaporkan atau mengadukan ke Kepolisian atas terjadinya suatu tindak pidana, tetapi akhirnya peradilan memberikan putusan bebas terhadap terlapor/terdakwa yang didakwa melakukan tindak pidana.

Kemudian, terlapor/terdakwa yang diputus bebas mengajukan gugatan perdata untuk meminta ganti kerugian, selama berlangsungnya proses peradilan pidana, di mana Majelis Hakim menolak gugatan perdata tersebut. Hal ini dikarenakan, terlepas dari putusan peradilan pidana yang menyatakan terlapor/terdakwa dibebaskan, secara asas kerugian yang diderita terdakwa/terlapor, tidak dapat dibebankan kepada penggugat sebagai pelapor/pengadu. 

Domain proses penyidikan, penuntutan dan proses persidangan di peradilan, yang mengakibatkan terdakwa/terlapor dirugikan, adalah kewenangan dan tanggung jawab dari instansi atau pejabat yang melakukan proses hukum tersebut dan bukan menjadi tanggung jawab pihak pelapor atau pengadu dugaan peristiwa pidana. Demikian kaidah hukum dari Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, yang disampaikan Majelis Hakim Agung RI Poerbawati Djoko Soedomo, S.H. sebagai Ketua Majelis Hakim dengan didampingi Firdaus Chairani, S.H. dan Achmad Rusli Dermawan, S.H.

Maka, sesuai kaidah hukum Yurisprudensi MA RI tersebut, tidak dapat diajukan gugatan perdata kepada pelapor atau pengadu dugaan tindak pidana. Bilmana terdapat gugatan perdata kepada pelapor atau pengadu dugaan tindak pidana, maka gugatannya dapat dinyatakan ditolak. Hal mana sejalan dengan ketentuan UU Perlindungan Saksi dan Korban, khususnya Pasal 10 Ayat 1, yang terbit sejak tahun 2006 dan diperbaharui pada 2014, kecuali terhadap laporan tidak didasarkan iktikad baik.

Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 808 K/Pdt/1989 tersebut, dituangkan sebuah buku berjudul Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung RI Hukum Acara Perdata Masa Setengah Abad, yang dtulis M. Ali Boediarto, S.H. 

Demikianlah kaidah hukum Yurisprudensi MA RI, semoga menjadi pedoman bagi para hakim dalam mengadili perkara serupa dan menambah khazanah pengetahuan bagi para akademisi serta praktisi hukum lainnya, sehingga terjamin perlindungan terhadap pelapor atau pengadu dugaan tindak pidana. 

Penulis: Adji Prakoso
Editor: Tim MariNews