Yurisprudensi MA RI: Kedudukan Surat Tagihan Listrik Sebagai Objek Gugatan

Semoga artikel kaidah hukum Yurisprudensi MA RI ini, dapat menjadi referensi para hakim dalam mengadili perkara gugatan.
Gedung Mahkamah Agung. Foto: dokumentasi MA
Gedung Mahkamah Agung. Foto: dokumentasi MA

Setiap individu pastinya memimpikan kehidupan layak, dengan terpenuhinya kesejahteraan atas diri dan keluarganya. Bahkan hak atas penghidupan layak, yang di dalamnya terdapat hak untuk perumahan, diakui sebagai Hak Asasi Manusia, sebagaimana ketentuan Pasal 25 Ayat 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), yang ditetapkan Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948. 

Demikian juga, ketentuan Pasal 11 Ayat 1 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights), menegaskan negara yang meratifikasi (peserta) hak ekosob (ekonomi, sosial dan budaya) wajib mengakui dan melindungi standar hidup, yang layak warga negara dan keluarganya sebagai bagian dari hak kodrati manusia, salah satu bentuknya hak atas tempat tinggal. 

Indonesia sendiri, menjadi negara yang mengakui eksistensi Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, karena telah meratifikasinya dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005. Selain itu, hak untuk penghidupan layak melalui kesempatan memiliki rumah atau tempat tinggal, sebagai bagian dari HAM, diakui pemerintah, melalui Pasal 40 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 

Rumah atau tempat tinggal layak huni, setidaknya memiliki listrik, air dan sanitasi yang baik. Perihal penyediaan kebutuhan listrik, termasuk penjualan tenaga listrik kepada konsumen (baik individu atau badan hukum), dilakukan pemerintah dan pemerintah daerah, melalui badan usaha milik negara (BUMN), serta badan usaha milik daerah (BUMD), sebagaimana ketentuan Pasal 3 Ayat 1 dan Pasal 4 Ayat 1 juncto Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. 

BUMN yang memiliki tugas penyediaan tenaga listrik, bagi kepentingan umum dan sekaligus berorientasi keuntungan, berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan, adalah PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero), sesuai ketentuan Pasal 2 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1994 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). Namun, penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen, dilakukan pemerintah dengan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), berdasarkan ketentuan Pasal 34 Ayat 1 UU Ketenagalistrikan dimaksud. 

Secara teknis, tarif listrik yang disediakan PT. PLN (Persero), untuk konsumen diatur melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 7 Tahun 2024 tentang Tarif Tenaga Listrik Yang Disediakan Oleh PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero).

Tarif tenaga listrik yang ditetapkan, dibagi dalam dua klasifikasi yakni tarif tenaga listrik reguler, dimana dibayarkan setelah pemakaian listrik oleh konsumen dan tarif tenaga listrik prabayar, yang dibayar konsumen sebelum listrik digunakan atau dikenal dengan token listrik, sebagaimana ketentuan Pasal 2 Ayat 2 sampai dengan 4 Permen ESDM Nomor 7 Tahun 2024.

Selanjutnya, apakah tagihan listrik regular bagi konsumen yang tidak membayarkan pemakaian listrik, termasuk objek gugatan perdata dikarenakan hubungan PT PLN (Persero) dengan konsumen, termasuk dalam hubungan privat jual beli atau objek gugatan tata usaha negara, karena PT. PLN (Persero) menjalankan fungsi negara dalam menyediakan listrik?

Menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan uraikan kaidah hukum Yurisprudensi MA RI, yang membahas tentang kedudukan hukum surat penagihan listrik, kepada konsumen yang tidak membayar penggunaan listrik.

Berdasarkan kaidah hukum Yurisprudensi MA RI Nomor 2011 K/Pdt/1999, gugatan konsumen listrik atas surat yang diterbitkan PT PLN perihal tagihan uang pembayaran tambahan listrik, dengan sanksi bilamana tidak dibayar pelanggan tersebut, PLN akan memutuskan aliran listrik pelanggan. Hal mana, gugatan konsumen dimaksud, termasuk kewenangan absolut dari Peradilan Tata Usaha Negara, karena objek gugatannya adalah berupa surat tagihan PLN, yang merupakan penetapan tertulis dari pejabat TUN in casu BUMN, di mana sifatnya konkrit, individual dan final, yang berakibat hukum merugikan kepentingan pelanggan.

Yurisprudensi MA RI Nomor 2011 K/Pdt/1999, diputus Majelis Hakim Agung yang diketuai M. Syafiuddin Kartasasmita, S.H., dengan didampingi para hakim anggota Marnis Kahar, S.H. dan R. Sunu Wahadi, S.H., yang diucapkan dalam persidangan terbuka untuk umum pada 7 Juni 2000.

Kaidah hukum tersebut, selaras dengan Pasal 87 Huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, menjelaskan Keputusan Badan/Pejabat TUN termasuk penyelenggara negara lain, di mana PT. PLN (Persero) merupakan penyelenggara fungsi pemerintah dalam penyediaan tenaga listrik, sesuai ketentuan UU Ketenagalistrikan.  

Semoga artikel kaidah hukum Yurisprudensi MA RI ini, dapat menjadi referensi para hakim dalam mengadili perkara gugatan, antara konsumen listrik dengan PT. PLN (Persero), karena terbitnya surat tagihan listrik dan memberikan tambahan pengetahuan bagi para pembacanya.

Penulis: Adji Prakoso
Editor: Tim MariNews