Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, telah mengatur bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh, selama masa perkawinan oleh suami dan istri. Harta tersebut, tidak dapat dijual atau dialihkan, secara sepihak tanpa persetujuan dari pihak lainnya, baik suami maupun istri. Aturan ini, sebagai wujud dari komitmen negara, yang berikan perlindungan hukum, terhadap harta bersama dalam rangka menjaga keseimbangan hak dan kewajiban suami istri.
Berkaitan dengan hal itu, Putusan Mahkamah Agung Nomor 701 K/Pdt/1997 tertanggal 24 Maret 1999, menjadi salah satu yurisprudensi yang memperhatikan esensi keadilan substantif, dengan tidak hanya terpaku pada formalitas hukum menjatuhkan suatu putusan.
Putusan dengan klasifikasi perikatan, jual beli tanah itu bermula dari peristiwa penggugat (isteri) dan tergugat I (suami) yang bertempat tinggal, di Gianyar, Bali, menikah pada 1970 dan mempunyai harta bersama, yang dibeli dari I Kesul pada 1976, letak, luas dan batas-batasnya sebagaimana disebut dalam gugatan.
Penggugat baru mengetahui tanah tersebut, telah dijual tergugat I kepada tergugat Il, saat mengajukan permohonan sertifikat hak milik, melalui Prona pada 1995. Padahal penggugat, tidak pernah memberi persetujuan untuk menjual tanah tersebut. Dengan demikian, penggugat memohon kepada pengadilan, melalui gugatannya untuk menghukum tergugat I dan II, serta membatalkan jual beli tanah tersebut.
Petimbangan Hukum Judex Facti
Selanjutnya, Pengadilan Negeri (PN) Gianyar, melalui Putusan Nomor 90/Pdt.G/1995/PN.Gir berpendapat, jika Penggugat tidak dapat membuktikan dalil gugatannya, yang menyatakan jual beli tanah sawah sengketa antara tergugat I dengan tergugat Il mengandung cacat yuridis, karena tanpa persetujuan dari penggugat.
Dalam perkara ini, Majelis Hakim meninjau menurut hukum adat Bali, karena menurut Majelis Hakim, pihak-pihak dalam perkara ini, hidup dalam lingkungan hukum adat yang masih kuat dan jual beli tanah sawah sengketa, dilakukan sebelum sertifikat Hak Milik diterbitkan.
Hal ini, sebagaimana Majelis Hakim yang mendasarkan pada fakta hukum, jual beli tanah sengketa antara tergugat I dengan tergugat Il, dilakukan pada 18 September 1976. Begitu pula, dengan Sertifikat Hak Milik Sementara tanah sawah sengketa atas nama tergugat I, diterbitkan pada 25 Februari 1978, in casu Sertifikat Hak Milik Sementara Desa Bukian Nomor 24.
Kemudian, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gianyar berpendapat, bukti surat P.2 yaitu berupa Sertifikat Hak Milik Sementara Desa Bukian Nomor 24, terhadap tanah sawah sengketa atas nama tergugat I, tidaklah mempunyai kekuatan mengikat dan berharga menurut hukum. Karena secara material, menurut judex facti, hak atas tanah sawah sengketa, telah beralih dari tergugat I, kepada tergugat Il sebelum Sertifikat Hak Milik tersebut diterbitkan.
Jual beli tanah sawah sengketa dalam perkara ini, juga telah memenuhi syarat terang, kontan dan konkrit menurut Majelis Hakim. Lantaran jual beli tersebut, telah dilakukan dihadapan para petinggi adat.
Menimbang, bahwa menurut hukum adat Bali, yang bertindak keluar atas harta bersama (guna kaya) adalah suami dalam hal ini tergugat I, terang Majelis Hakim dalam putusan yang diketok, pada 9 Mei 1996.
Atas pertimbangan dimaksud, judex facti menyatakan jual beli tanah sawah sengketa antara tergugat I dan tergugat II, dinyatakan sah secara hukum. Hal ini sebagaimana dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Denpasar, melalui Putusan Nomor 92/Pdt/1996/PT Dps.
Judex Juris Mengadili Sendiri.
Majelis Hakim Kasasi dengan Hakim Ketua, H. Chabib Sjarbini, S.H., dan para Hakim Anggota, Sunardi Padang, S.H., dan Drs. H. Moh. Muhaimin, S.H., M.Hum., memiliki pandangan berbeda, dari judex facti. Putusan Kasasi Nomor 701 K/Pdt/1997 dimaksud, kemudian membatalkan Putusan Nomor 92/Pdt/1996/PT Dps juncto Putusan Nomor 90/Pdt.G/1995/PN.Gir.
Dalam pertimbangan putusannya, judex juris berpendapat judex facti telah salah menerapkan hükum pembuktian, karena terlalu formal dan hanya mendasarkan jual beli pada hukum adat.
Seharusnya, diteliti dulu status mengenai tanah yang dijual tersebut. Di persidangan terbukti tanah sengketa, adalah tanah gono gini (guna kaya). Maka, yang diterapkan adalah ketentuan hukum, yang mengatur bagaimana seandainya tanah gono gini tersebut dijual atau dialihkan, sebagaimana bunyi salah satu pertimbangan Putusan Kasasi Nomor 701 K/Pdt/1997.
Lebih lanjut, Majelis Hakim Kasasi mempertimbangkan, menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terhadap harta gono gini (guna kaya), bilamana dijual/dialihkan, harus berdasarkan persetujuan istri (pemohon kasasi/penggugat asal). Ternyata dalam perkara ini, penjualan tanah sengketa, tanpa persetujuan istri, maka jual beli tanah tersebut, tidak sah dan batal demi hukum.
Sertifikat yang dibuat atas dasar jual beli yang tidak sah, cacat yuridis (tidak mempunyai kekuatan hukum), sebagaimana Majelis Hakim sampaikan dalam putusan kasasi tersebut.
Dengan telah diuraikannya putusan-putusan di atas, setidaknya terdapat tiga kaidah hukum yang dapat dipetik dari yurisprudensi tersebut, yaitu:
- Jual beli tanah harta bersama, harus disetujui pihak istri atau suami.
- Harta bersama berupa tanah yang dijual suami, tanpa persetujuan istri adalah tidak sah dan batal demi hukum.
- Sertifikat tanah, yang dibuat atas dasar jual beli yang tidak sah, tidak mempunyal kekuatan hukum
-Yurisprudensi yang telah penulis uraikan tersebut, semoga dapat menjadi acuan dan sumber referensi, bagi penyelesaian kasus serupa di kemudian hari, bilamana terdapat kekosongan hukum. Harapannya yurisprudensi ini, dapat memberikan arah bagi pemecahan kasus yang bersangkutan, dengan tetap memperhatikan kekhususan pada setiap kasus masing-masing.