5 Alasan Ali Audah Menerjemahkan Hayatu Muhammad

Buku ini ditulis oleh sastrawan dan jurnalis Mesir, Muhammad Husein Haekal. Diterbitkan oleh Darr Al-Maarif, Mesir pada 1933. Hingga kini buku tersebut menjadi rujukan cendikiawan muslim dan nonmuslim dunia dalam mencari informasi tentang Rasulullah SAW.
Penerjemah dan sastrawan Indonesia Ali Audah. Foto geotimes.id/Antara
Penerjemah dan sastrawan Indonesia Ali Audah. Foto geotimes.id/Antara

MARINews, Jakarta-Cinta bisa hadir dengan beragam cara. Ed Sheeran bilang: in a mysterious way. Bisa hanya karena tatapan mata, jabatan tangan, sekedar sapaan hai, dan lain sebagainya, yang seringkali tidak bisa dirasionalisasikan. Cinta bisa tumbuh dari seringnya bersua, asyiknya berkomunikasi, atau bahkan lewat pemikiran atau karya seseorang yang bahkan bertemu muka pun tak pernah. 

Itulah yang terjadi dengan saya. Cinta jatuh di hati saya pada seorang lelaki yang bahkan melihat namanya pun secara tidak sengaja di Majalah Tempo edisi IX/2014 yang tanpa sengaja saya temukan.

Saya serta merta jatuh cinta pada melihat matanya for the very first sight. Aura kecerdasan, kegigihan dan keikhlasan terlihat jelas di wajahnya, siapapun bisa melihatnya. Ali Audah namanya. Lelaki dengan segunung karya-karya mewah nan megah.

Saya berkesempatan menemuinya di rumahnya di Kota Bogor pada 2017. Ia mengatakan, jarang sekali mau menerima tamu. Namun, alasan saya yang ingin membahas karyanya membuatnya bersedia membuka pintu dan berbincang secara langsung. Saat itu, saya ingin mewawancarainya mengenai karya terjemahannya yang berjudul “Sejarah Muhammad”.

“Kalau bukan terkait buku tersebut, saja tidak menerima wawancara. Saya sudah tidak kuat bicara lama,” ujarnya. 

Di pertengahan wawancara, saya baru menyadari bahwa kesediaannya menerima saya adalah caranya mengekspresikan cintanya pada kekasihanya, Nabi Muhammad SAW.

Saya merasa bahagia dan bangga saat mendengarnya berbicara. Cinta saya menemukan jalannya. Tanpa terasa, dua jam berlalu mendengarkannya menjawab aneka pertanyaan saya. Rasanya, ingin sekali berlama-lama di sana, meraup mutiaranya yang tidak habis-habis. 

“Hayatu Muhammad” adalah buku berbahasa Arab setebal 638 halaman yang isinya berkisah tentang Nabi Muhammad SAW (Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa’ala aaliih). Buku ini ditulis oleh sastrawan dan jurnalis Mesir, Muhammad Husein Haekal. Diterbitkan oleh Darr Al-Maarif, Mesir pada 1933. Hingga kini buku tersebut menjadi rujukan cendikiawan muslim dan nonmuslim dunia dalam mencari informasi tentang Rasulullah SAW. Buku tersebut bukan hanya menampilkan sejarah Rasulullah secara rinci. Namun juga menjelaskan sejarah Islam, hubungan Islam dengan agama-agama lain, dan sebagainya. 

Bagi masyarakat Indonesia yang tidak mengerti bahasa Arab tidak perlu khawatir, seorang sastrawan dan penerjemah Indonesia, Ali Audah telah menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia dengan sangat baik sekali dengan judul “Sejarah Hidup Muhammad” dan diterbitkan oleh Litera AntarNusa pada 1972.

Setali tiga uang dengan versi bahasa Arabnya, versi bahasa Indonesianya sejak pertama kali terbit hingga kini, selalu cetak ulang. Bahkan, bukan hanya di Indonesia, Ali Audah mengatakan bahwa hasil terjemahannya tersebut juga dikonsumsi oleh pembaca di Malaysia dan Singapura. Belum lama ini, salah satu penerbit di Singapura mendatanginya untuk minta izin ke Ali Audah untuk mencetaknya di Singapura. 

Sejarah Nabi Muhammad hasil terjemahan Ali Audah menjadi satu cara untuk siapapun mengenali dan mencintai Rasulullah SAW.  Berikut 5 alasan Ali Audah dalam menerjemahkan Hayatu Muhammad.    

1.    Banyak yang bilang bahwa jika tak kenal maka tak sayang, tak cinta. Begitu juga dengan cinta kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW yang setiap  27 Rabiul Awal umat muslim di seluruh dunia merayakan hari lahirnya. Mustahil sayang bisa tumbuh, cinta bisa merekah, jika kenal saja tidak. Beragam cara untuk menimbulkan rasa itu, salah satunya membaca buku sejarah Beliau. 

Namun, Inilah yang terjadi dengan Ali Audah. Tetapi sayang cinta dan sayang tidak hadir juga meski ratusan halaman kisah Sang Kekasih dibacanya. Rasa itu baru bisa hadir setelah pandangan ke sekian kali. Ratusan halaman ke sekian kali yaitu, ketika ia membaca Hayatu Muhammad. Melalui buku tersebut ia merasa baru bisa mencintai Rasulullah hingga sekarang.

“Mungkin jika saya tidak menemukan buku ini, saya tidak akan pernah bisa sayang dan cinta kepada junjungan Rasulullah sampai kapanpun,” terang Ali Audah. 

2.    Sebagai rasa terima kasih atas tumbuhnya cinta terhadap Rasulullah, Ali Audah menerjemahkan buku karya Haekal tersebut. Dan ini adalah karya pertama Ali Audah dalam menerjemahkan buku bahasa Arab.

Kurang lebih satu tahun sambil diselingi pekerjaan lain seperti mengajar dan menulis, ia menerjemakan buku yang sangat dicintainya itu. Tidak ada kesulitan khusus yang dirasakan Ali Audah ketika menerjemahkan buku itu. Semua berjalan lancar dan mudah. Apalagi bahasa yang digunakan Haekal adalah bahasa sastra, sesuai sekali dengan kesukaannya. 

3.    Hal lain yang membuat Ali Audah jatuh cinta terhadap buku tersebut adalah bahwa buku tersebut unik, beda dengan yang lainnya. Di buku-buku lain terlalu banyak disuguhi hal-hal yang tidak rasional dan takhayul. Di buku ini menurutnya, Haekal hanya menampilkan dua mukjizat yang dimiliki Rasulullah, dan dua itulah yang signifikan dan rasional, yaitu akhlak dan Al-Qur’an. 

4.    Dalam menulis Hayatu Muhammad, Ali Audah menjelaskan, Haekal tidak hanya merujuk referensi Arab, tetapi untuk menyeimbangkan sejarah. Haekal juga banyak merujuk buku-buku karya pemikir orientalis seperti Edouard Schure dalam Les Grands Inities, Sir William Muir dalam Life of Muhammad, serta yang lainnya.

5.    Alasan lain yang membuat Ali Audah menerjemahkan karya ini adalah, meski sejak awal terbit di Mesir banyak kalangan yang menentang, banyak yang mengatakan bahwa karya Haekal ini beraliran liberal dan memiliki banyak penyimpangan, namun Haekal maju terus. Hingga terbukti hingga kini buku tersebut selalu dicari banyak orang dan masih dibaca.