Belajar dari Sejarah Pendirian Liverpool FC: Melawan Ketidakadilan dan Menyuarakan Kemanusiaan

Sejarah menunjukkan, beberapa klub sepak bola secara institusional didirikan untuk tujuan mulia tersebut, yakni sebagai respons terhadap perjuangan menyetarakan hak-hak sosial dan melawan ketidakadilan.
Fans Liverpool membentangkan bendera Palestina sebagai bentuk solidaritas. Foto: onefootball.com/
Fans Liverpool membentangkan bendera Palestina sebagai bentuk solidaritas. Foto: onefootball.com/

Sepak bola merupakan olahraga paling digemari penduduk dunia. Menurut catatan pemberitaan, penggemar sepak bola di dunia, menyentuh angka 4 miliar. Penggemarnya tidak mengenal kelas sosial, latar belakang pekerjaan, dan usia. Bahkan, di negara berkembang, yang memiliki pemukiman padat penduduk, sepak bola dimainkan di dalam gang sempit, wilayah perumahan.

Olahraga yang berasal dari negeri Ratu Elizabeth ini, bukan hanya sebagai wahana permainan menyehatkan raga, tetapi sudah jadi komoditas bisnis, serta instrumen meningkatkan penghidupan dan taraf kehidupan seseorang. Khususnya para atlet sepak bola yang berasal dari keluarga prasejahtera. 

Bahkan tak jarang setelah sukses dan berhasil di dunia sepak bola, turut membangun desanya atau berkontribusi untuk kemanusiaan. Ambil contoh Sadio Mane, mantan pemain Liverpool FC, yang membangun rumah sakit, sekolah dan masjid di desanya, Bambali, Senegal. 

Selain itu, terdapat nama Christiano Ronaldo, mantan pemain Real Madrid FC. Lahir dari orang tua yang bekerja di sektor informal dan menghadapi kemiskinan saat kecil. Saat menggapai kesuksesan di lapangan hijau, Ronaldo tidak melupakan akar masa kecilnya. Sosoknya, aktif mendonasikan penghasilan untuk kemanusiaan, seperti peristiwa Tsunami Aceh pada 2004, membantu biaya pengobatan anak-anak yang terkena kanker di Portugal, dan menyumbang untuk rakyat Palestina.

Peran sepak bola dalam kemanusiaan dan penyuarakan keadilan sosial tidak hanya diemban oleh individu pemain. Sejarah menunjukkan, beberapa klub sepak bola secara institusional didirikan untuk tujuan mulia tersebut, yakni sebagai respons terhadap perjuangan menyetarakan hak-hak sosial dan melawan ketidakadilan. Liverpool FC di Inggris menjadi salah satu contoh konkret dari fenomena ini.

Liverpool didirikan pada 1892 oleh John Houlding. Pendirian klub yang telah menjuarai Liga Champions sebanyak enam kali ini, tidak terlepas dari perjuangan kelas pekerja atau kaum buruh. Kota Liverpool sendiri, merupakan kota pelabuhan dan padat industri. Di mana, para pemain awal The Reds (julukan Liverpool FC), berasal dari kalangan buruh. 

Maka tidak jarang dalam sejarah klub, baik penonton atau pemain Liverpool kerap aktif dan vokal menyuarakan perlawanan atas ketidakadilan sosial. Bahkan dalam sejarahnya, pendukung Liverpool memiliki hubungan yang tidak harmonis dengan Kerajaan Inggris, termasuk Perdana Menteri Inggris. Penduduk kota, yang juga fans Liverpool sering tersisih secara politik dan ekonomi. 

Peristiwa kelam Hillsborough pada 15 April 1989 adalah bukti lain. Saat 97 pendukung Liverpool tewas dalam semifinal Piala FA, Perdana Menteri Margaret Thatcher justru menyalahkan fans. Namun, sebelum hasil penyelidikan resmi menyatakan kelalaian Kepolisian Inggris, para penggemar Liverpool dengan gigih melawan segala tuduhan dan ketidakadilan yang dilekatkan pada mereka, menunjukkan semangat perlawanan yang luar biasa.

Pada 2015, fans Liverpool FC menggalang solidaritas sosial untuk mengumpulkan makanan, dalam mengatasi krisis pangan di Kota Liverpool. Gerakan tersebut, dikenal dengan nama Fans Supporting Foodbanks. 

Sementara para pemain Liverpool juga aktif dalam menyuarakan keadilan. Sebagaimana yang dilakukan Robbie Fowler, yang menggunakan baju bertuliskan Support The 500 Sacked Dockers, setelah menyarangkan gol dalam Final Piala Winners pada 1997. Pemakaian baju tersebut, sebagai bentuk dukungan terhadap pemogokan buruh di kota Liverpool, atas pemecatan 500 buruh pelabuhan oleh Mersey Docks and Harbour Company (MDHC).

Bahkan, belum lama ini, pendukung Liverpool FC juga terlihat aktif mendukung perjuangan rakyat Gaza, Palestina, atas penjajahan dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Israel, dengan cara membentangkan spanduk dukungan dan mengibarkan bendera Palestina. 

Semoga sikap, fans Liverpool yang aktif melawan ketidakadilan sosial dan menyuarakan kemanusiaan, dapat dijadikan contoh bagi kaum intelektual Indonesia, sehingga perilaku adil dan pemenuhan nilai-nilai kemanusiaan, dapat terwujud dalam setiap sendi kehidupan. 

Penulis: Adji Prakoso
Editor: Tim MariNews