Mungkin sebagian dari kita masih ingat dengan tindakan bersih-bersih ruang ganti oleh skuad timnas Jepang setelah tersingkir dari pagelaran Piala Dunia 2022?. Atau saat suporter Jepang membersihkan sampah di stadion GBK pasca pertandingan putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 melawan Indonesia yang digelar pada tanggal 15 November 2024.
Jika ditanya alasan mereka melakukan itu, mungkin mereka akan menjawab atarimae no koto (hal yang wajar) atau atarimae deshou (tentu saja/sudah sewajarnya).Budaya bersih-bersih dan mengembalikan kondisi sebagaimana semula merupakan salah satu budaya masyarakat Jepang.
Di Jepang, pentingnya kebersihan dan kerapian telah diajarkan sebagai bagian dari pendidikan sejak usia dini. Kebersihan dan kerapian bukan sekedar tugas atau kewajiban bagi masyarakat Jepang, melainkan cerminan rasa tanggung jawab dan moralitas yang telah tertanam di diri mereka. Oleh sebab itu, bagi masyarakat Jepang, kebersihan dan kerapian adalah atarimae no koto (hal yang wajar).
Konsep atarimae dalam budaya Jepang merujuk pada hal-hal yang dianggap wajar, alami, atau sudah sewajarnya, baik secara logika ataupun berdasarkan norma sosial. Prinsip dasar ini bahkan seringkali tidak perlu diucapkan karena sudah menjadi pemahaman bersama. Bagi masyarakat Jepang, justru menjadi hal yang tidak wajar apabila mereka tidak memperhatikan aspek kebersihan dan kerapian. Sikap yang bertentangan justru akan menimbulkan efek sosial karena dipandang tidak menerapkan budaya yang telah diajarkan sejak dini.
Masyarakat Jepang sudah sering memberikan contoh penerapan konsep atarimae di bidang kebersihan dan kerapian, seperti yang terjadi pada gelaran Piala Dunia 2022 atau pascapertandingan putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 melawan Indonesia di stadion GBK. Bahkan pascagelaran konser pun, banyak orang Jepang yang secara sukarela ikut membersihkan sampah. Semua itu dilakukan karena hal itu dianggap “atarimae”.
Masyarakat Jepang dikenal sangat menjaga kebersihan dan kerapian, baik di ruang publik maupun pribadi. Mereka cenderung mengembalikan barang ke tempat asalnya, membuang sampah pada tempatnya, dan menjaga kebersihan lingkungan. Budaya ini tercermin dalam konsep 5S ala Jepang, yaitu seiri (ringkas), seiton (rapi), seiso (resik), seiketsu (rawat), dan shitsuke (rajin).
Seiri (ringkas)
Seiri berarti meringkas pekerjaan dan barang-barang, barang mana yang masih diperlukan atau tidak, serta mana yang harus dibuang atau tidak. Dalam dunia perusahaan Jepang, budaya seiri digunakan dengan “membuang barang-barang yang tidak diperlukan dari tempat kerja”.
Seiton (rapi)
Seiton berarti merapikan barang-barang dengan menata dan mengurutkannya, sehingga akan mudah untuk menemukan barang tersebut saat memerlukannya. Penataan barang di tempat kerja sebagai cerminan budaya seiton digunakan dengan cara “setiap barang yang berada di tempat kerja mempunyai tempat yang pasti”.
Seiso (resik)
Seiso berarti menghilangkan sampah kotoran atau benda yang tidak berhubungan dengan pekerjaan sehingga tempat kerja akan menjadi bersih. Jika ada barang atau dokumen yang berserakan dan berantakan maka perlu untuk dibereskan. Jika ada debu dan kotoran maka harus dibersihkan. Jika ada barang yang berhubungan dengan pekerjaan sudah using atau rusak maka perlu untuk diperbaiki dan diperbaharui. Budaya seiso yang diterapkan di tempat kerja adalah dengan “bersihkan segala sesuatu yang ada di tempat kerja”.
Seiketsu (rawat)
Apabila seiri, seiton, dan seiso sudah dilakukan, maka tahapan berikutnya adalah seiketsu, yaitu merawat barang-barang agar tidak cepat rusak, dan mempertahankan kebersihan agar tidak cepat kotor kembali. Budaya seiketsu akan menekan pengeluaran berlebih untuk biaya maintenance barang-barang atau mengganti barang-barang terlalu cepat. Contoh kecil dalam penerapan seiketsu adalah dengan mematikan lampu dan AC ruangan setelah selesai digunakan.
Shitsuke (rajin)
Penerapan budaya seiri, seiton, seiso, dan seiketsu, akan mendorong budaya berikutnya yaitu shitsuke. Dengan tempat kerja dan barang-barang yang berkaitan dalam kondisi yang prima dan siap pakai, maka akan melahirkan sikap shitsuke (rajin) yang tepat. Shitsuke berkaitan dengan sikap rajin dalam menerapkan seiri, seiton, seiso, dan seiketsu secara konsisten.
Penerapan budaya shitsuke juga tercermin dari efektivitas dan efisiensi dalam bekerja. Budaya shitsuke diterapkan dengan cara membiasakan diri untuk tidak menunda pekerjaan serta membuat rencana kerja yang detail. Shitsuke berarti melakukan apa yang harus dilakukan dan tidak melakukan apa yang tidak boleh dilakukan.
Konsep 5S (seiri, seiton, seiso, seiketsu, dan shitsuke) merupakan konsep yang wajib diterapkan dalam dunia kerja di Jepang. Namun penerapan 5S tersebut tidak dilakukan secara ujug-ujug yang berpotensi akan dilanggar jika tidak diawasi, melainkan telah diajarkan dan ditanamkan sebagai bagian dari pendidikan sejak usia dini, sehingga menjadi budaya kewajaran bagi masyarakat Jepang yang disebut “atarimae no koto” (hal yang wajar).
Konsep 5S sendiri telah diadopsi dan diimplementasikan sebagai budaya kerja di Indonesia melalui 5R, yaitu ringkas, rapi, resik, rawat, dan rajin. Implementasi 5R hendaknya tidak hanya sekedar slogan, namun juga diinternalisasikan sebagai bagian dari budaya masyarakat Indonesia, khususnya di dunia kerja.
Sehingga, penerapan 5R tidak lagi sekedar menjadi tugas dan kewajiban saja, tetapi merupakan “atarimae no koto” kewajaran atau hal yang wajar, sehingga tidak mengimplementasikan 5R justru menjadi hal yang tidak wajar secara moralitas dan norma sosial.