Mempelajari Putusan Mario Dandy: Penerapan Pemberian Restitusi Kepada Korban Tindak Pidana

Akibat perbuatan Mario Dandy dan kawan-kawannya, anak korban DO harus mengalami kerusakan saraf otak permanen karena adanya serabut saraf otak yang robek (diffuse axonal injury).
Ilustrasi putusan hakim. Foto istockphoto.com
Ilustrasi putusan hakim. Foto istockphoto.com

Sekitar dua tahun lalu, publik Indonesia digemparkan oleh peristiwa penganiayaan berat yang dilakukan secara terencana oleh Mario Dandy anak kandung Rafael Alun, yang saat itu merupakan pejabat Kementerian Keuangan RI.

Penganiayaan berat yang direncanakan dahulu tersebut, dilakukan Mario Dandy bersama beberapa rekannya terhadap anak korban DO (inisial korban, Red).

Akibat perbuatan Mario Dandy dan kawan-kawannya, anak korban DO harus mengalami kerusakan saraf otak permanen karena adanya serabut saraf otak yang robek (diffuse axonal injury).

Anak korban DO sempat mengalami koma dan dirawat secara intensif di rumah sakit selama 41 hari. Selain itu, setelah dinyatakan dapat meninggalkan rumah sakit, di mana anak korban DO tetap melakukan rawat jalan dan home care. 

Selain kerugian fisik yang diderita anak korban DO, tidak sedikit biaya yang dikeluarkan keluarga anak korban DO akibat tindak pidana yang dilakukan oleh Mario Dandy dan rekan-rekannya.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara 297/Pid.B/2023/PN.Jkt.Sel atas nama Terdakwa Mario Dandy telah menjatuhkan putusan yang tidak hanya menghukum pidana penjara selama 12 tahun kepada Mario Dandy. Melainkan juga telah memberikan perlindungan hukum kepada anak korban DO dengan menjatuhkan hukuman pembayaran restitusi kepada Mario Dandy kurang lebih Rp25 miliar. 

Bahkan Majelis Hakim yang diketuai oleh Alimin Ribut Sujono, S.H., M.H. dengan didampingi Tumpanuli Marbun, S.H., M.H. dan Muhamad Ramdes, S.H. menetapkan barang milik Mario Dandy berupa satu mobil Jeep Rubicon Wrangler, beserta kunci dan STNK, agar dijual melalui lelang. Hasilnya untuk dibayarkan dan mengurangi sebagian restitusi kepada anak korban DO.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 297/Pid.B/2023/PN.Jkt.Sel yang diucapkan dalam persidangan pada 7 September 2023 dimaksud, telah berkekuatan hukum tetap dikarenakan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Selanjutnya Mahkamah Agung juga telah menolak kasasi baik dari pihak Mario Dandy dan penuntut umum sebagaimana Putusan Kasasi Nomor 101 K/Pid/2024.

Menghukum pelaku tindak pidana untuk membayar restitusi sebagai bentuk perlindungan hukum kepada korban, karena merasakan nestapa akibat terjadinya tindak pidana.

Untuk mempelajari penerapan restitusi, penulis akan menelusuri penjatuhan restitusi kepada Mario Dandy dalam Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor  297/Pid.B/2023/PN.Jkt.Sel yang inkracht

Restitusi dalam Ketentuan Hukum Indonesia

Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai hukum pidana formil, hanya berfokus pada pemenuhan HAM Tersangka/Terdakwa dan tidak memperhatikan hak-hak dasar korban tindak pidana.

Padahal, pemenuhan HAM Tersangka/Terdakwa dalam sistem peradilan pidana Indonesia, dapat dilihat dari hak yang diberikan kepada Tersangka/Terdakwa dalam KUHAP. Seperti, hak didampingi oleh penasihat hukum, hak mendapatkan turunan berita acara pemeriksaan untuk kepentingan pembelaan, berhak diadili dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum, hak mengajukan saksi dan ahli yang menguntungkannya dan berbagai hak Tersangka/Terdakwa lainnya yang diatur dalam KUHAP. 

Namun, KUHAP tidak memberikan perhatian penuh terhadap pemenuhan HAM korban tindak pidana. Selain, dapat mengajukan praperadilan bilamana terjadi penghentian penyidikan atau penuntutan. KUHAP dalam Pasal 98 Ayat 1 hanya memberikan perlindungan terhadap korban tindak pidana melalui penggabungan gugatan ganti kerugian dengan pemeriksaan pidana pokoknya, bilamana secara bersamaan dalam pemeriksaan pidana pokoknya diajukan gugatan perdata ganti kerugian oleh korban atau kuasa hukumnya. 

Pengajuan penggabungan gugatan ganti kerugian dengan pemeriksaan pidana pokok, selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan atau apabila penuntut umum tidak hadir. Permintaan penggabungan gugatan ganti kerugian diajukan selambat-lambatnya sebelum Majelis Hakim menjatuhkan pidana pokoknya sebagaimana Pasal 98 Ayat 2 KUHAP.

Dengan demikian, setelah adanya putusan perkara pidana pokok, pengajuan ganti kerugian hanya dapat dilakukan melalui mekanisme gugatan perdata

Saat ini, sistem peradilan pidana Indonesia telah memberikan perhatian dan perlindungan terhadap korban tindak pidana. Korban tindak pidana, tidak hanya diposisikan sebagai pihak yang dapat menyampaikan aduan (delik aduan) atau laporan (delik biasa) mengenai dugaan peristiwa pidana yang dialaminya, sebagai saksi dalam rangkaian penyidikan sampai dengan proses peradilan, serta dikategorikan pihak ketiga berkepentingan yang dapat mengajukan praperadilan, seandainya perkara dihentikan pada tingkat penyidikan dan penuntutan. 

Bahkan, negara telah memberikan perlindungan hukum korban tindak pidana untuk memulihkan kondisinya seperti sedia kala, seperti sebelum terjadinya tindak pidana.

Demikian juga, salah satu bentuk pemulihan terhadap korban tindak pidana. Yakni, mengganti penderitaan atau kehilangan yang dialami korban akibat dari terjadinya peristiwa pidana. Pergantian tersebut dalam bentuk restitusi dan kompensasi. 

Pemberian restitusi dan kompensasi diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2016 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana telah diubah Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2016  tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Secara teknis, pelaksanaanya diatur dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada Saksi dan Korban sebagaimana telah diubah Peraturan Pemerintah RI Nomor 35 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada Saksi dan Korban, serta Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana. 

Restitusi adalah ganti kerugian yang  diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Hal itu, sesuai Pasal 1 Angka 11 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2016  tentang Perlindungan Saksi dan Korban, serta Pasal 1 Angka 1 Perma Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana.

Sedangkan kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan negara karena pelaku tindak pidana tidak mampu memberi ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Hal itu sesuai Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2016  tentang Perlindungan Saksi dan Korban, serta Pasal 1 Angka 2 Perma Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana. 

Pemberian kompensasi hanya ditujukan untuk korban tindak pidana pelanggaran HAM berat dan terorisme. Sedangkan pemberian restitusi tidak terbatas pada tindak pidana pelanggaran HAM berat dan terorisme, melainkan termasuk juga perdagangan orang, diskriminasi ras dan etnis, tindak pidana terkait anak, serta tindak pidana lain yang ditetapkan dengan Keputusan LPSK RI (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) sesuai ketentuan Pasal 2 Ayat 1 Huruf a dan b Perma Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana. 

Dalam penyelesaian permohonan dan pemberian restitusi, Mahkamah Agung RI telah membuat terobosan hukum dengan memberikan kesempatan kepada korban mengajukan sendiri permohonan restitusi tanpa melalui LPSK RI sebagaimana ketentuan Pasal 8 Ayat 1 Perma Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana.

Hal mana, berbeda dengan ketentuan UU Perlindungan Saksi dan Korban, yang permohonan restitusi melalui LPSK RI sebagaimana Pasal 7A Ayat 3 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2016  tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 

Pertimbangan Majelis Hakim PN Jaksel dalam Penetapan Restitusi di Perkara Mario Dandy

Adapun untuk perkara Mario Dandy sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 297/Pid.B/2023/PN.Jkt.Sel, pengajuan permohonan restitusi anak korban DO/keluarganya melalui LPSK RI.

Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyatakan, perbuatan Mario Dandy mengakibatkan anak korban DO luka berat. Sehingga, Mario Dandy disamping dijatuhi pidana penjara diperintahkan membayar restitusi yang menjadi hak dari anak korban DO. 

Sedangkan untuk perkara Shane Lukas Rotua Pangondian Lumbantoruan alias Shane dan anak AGH yang disidangkan terpisah dengan Mario Dandy. Di mana, Majelis Hakim berpendapa,t tidaklah tepat untuk pembayaran restitusi Shane dan anak AGH diputus bersamaan dengan perkara Mario Dandy.

Selain itu, Mario Dandy merupakan aktor utama penganiayaan berat yang direncanakan terlebih dahulu terhadap anak korban DO. Sehingga adil, bilamana tanggung jawab pemberian restitusi untuk anak korban DO, dibebankan kepada Mario Dandy. 

Majelis Hakim tidak seutuhnya sependapat atas penghitungan nilai restitusi yang dilakukan oleh LPSK RI, seperti ganti kerugian kehilangan kekayaan yang dikeluarkan untuk kepentingan konsumsi. Bahwa LPSK RI memperhitungkan Rp30.000 x 3 kali makan x 3 orang (bapak, ibu dan anak) = Rp270.000/hari x 41 hari masa perawatan = Rp 11.070.000.

Walaupun untuk satu kali makan hitungannya sejumlah Rp30.000, adalah wajar. Akan tetapi, tidak sesuai bilamana anak korban DO dimasukan dalam perhitungan konsumsi, karena anak korban dalam perawatan. Sehingga, perhitungan yang tepat Rp90.000 x 2 orang (ibu dan bapak) dalam satu hari makan = Rp180.000 x 41 hari = Rp7.380.000.

Adapun untuk berkurangnya penghasilan orang tua, tidaklah tepat dimasukan dalam ganti rugi yang berkaitan dengan hilangnya harta anak korban DO. Meskipun kondisi anak korban DO mengalami luka berat, akan tetapi tidaklah dijadikan alasan orang tua hilang penghasilannya.

Selain itu, biaya perawatan medis atau psikologis di luar biaya stem cell. Hal itu, sesuai keterangan Saksi Yonathan Wegiq, orang tua anak korban DO, yakni telah dijamin dan dibayar asuransi. Maka Majelis Hakim, tidak memasukkannya dalam perhitungan restitusi untuk menghindari pembayaran ganda. 

Bahwa ganti kerugian atas penderitaan sebagai akibat tindak pidana, sesuai perhitungan LPSK yakni berdasarkan biaya pemulihan medis dari RS Mayapada sebesar Rp182.260.000,00 (seratus delapan puluh dua juta dua ratus enam puluh ribu rupiah) setiap bulannya dan dikalikan 12 bulan (satu tahun) sehingga menjadi Rp2.187.120.000,00 (dua miliar seratus delapan puluh tujuh juta seratus dua puluh ribu rupiah).

Selanjutnya, LPSK menilai, usia harapan hidup warga Jakarta 71 tahun dan melihat usia Anak korban 17 tahun, sehingga ditemukan angka 54 tahun yang berasal dari pengurangan usia harapan hidup 71 tahun dikurangi 17 (usia anak korban). Selanjutnya, Rp2.187.120.000,00 (dua miliar seratus delapan puluh tujuh juta seratus dua puluh ribu rupiah) dikalikan 54. Sehingga, diperoleh nilai Rp118.104.480.000 (seratus delapan belas miliar seratus empat juta empat ratus delapan puluh ribu rupiah). 

Namun, Majelis Hakim tidak sependapat dengan penghitungan ganti rugi atas penderitaan sebagai akibat tindak pidana tersebut. Ini karena tidaklah mungkin biaya perawatan terhadap anak korban jumlahnya sama sampai 54 tahun ke depan. Adapun untuk ganti kerugian atas penderitaan sebagai akibat dari tindak pidana, Majelis Hakim menentukan jaminan perawatan pemulihan anak korban DO dan jaminan penopang kebutuhan hidup karena tidak ada kepastian pulihnya kesehatan anak korban DO.

Apalagi orang tua anak korban, Yonathan Wegiq, selain mendapat batas manfaat asuransi tahunan awal, juga memperoleh manfaat asuransi PRUPrime limit booster sebesar Rp12.000.000.000 (dua belas miliar rupiah). Sedangkan anak korban DO sebagai pemegang kartu tambahan hanya mendapat manfaat asuransi tahunan awal, tetapi tidak mendapat manfaat PRUPrime limit booster tersebut.

Maka, untuk jaminan perawatan pemulihan anak korban DO, berdasarkan pada nilai manfaat asuransi PRUPrime limit booster sebesar Rp12.000.000.000 (dua belas miliar rupiah) sebagaimana diperoleh Yonathan Wegiq, orang tua anak korban DO.

Demikian juga untuk jaminan penopang kebutuhan hidup nominalnya, sama dengan jaminan perawatan pemulihan anak korban DO, yakni sejumlah Rp12.000.000.000 (dua belas miliar rupiah).

Adapun Majelis Hakim merinci restitusi yang menjadi hak anak korban DO, sebagaimana Perma Nomor 1 Tahun 2022 sebagai berikut: 

1. Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan untuk pembayaran sewa rumah dan hotel selama masa perawatan anak korban DO Rp9.108.900.

2. Penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis (tindakan stem cell yang tidak ditanggung asuransi) Rp 425.045.000

3. Ganti kerugian atas penderitaan sebagai akibat tindak pidana:
-  Jaminan perawatan pemulihan anak korban Rp12.000.000.000
- Jaminan penopang kebutuhan hidup Rp12.000.000.000

4. Kerugian lain yang diderita Korban akibat tindak pidana, termasuk:
- Transportasi Rp6.818.000
- Konsumsi Rp7.380.000
- Kuasa hukum Rp700.000.000

Maka, jumlah restitusi yang diberikan Mario Dandy kepada anak korban DO sebesar Rp25.140.161.900 (dua puluh lima miliar seratus empat puluh juta seratus enam puluh satu ribu sembilan ratus rupiah).

Selanjutnya, Majelis Hakim menyampaikan restitusi yang merupakan hak anak korban DO, tidak dapat diganti dengan pidana penjara atau kurungan. Pasalnya, digantinya restitusi dengan pidana penjara atau kurungan akan menghilangkan dan menutup hak anak korban DO mendapatkan ganti kerugian terutama dalam lapangan hukum perdata, sehingga tidaklah tepat penggantian restitusi dengan pidana penjara sebagaimana disampaikan penuntut umum. 

Adapun untuk biaya lain yang timbul di kemudian hari selain ditentukan dalam restitusi dimaksud, maka Majelis Hakim berpendapat tidak menutup kemungkinan anak korban DO mengajukan gugatan perdata baru.

Majelis Hakim juga mempertimbangkan satu mobil Jeep Rubicon Wrangler  beserta kunci dan STNK yang merupakan milik Mario Dandy dan biasa digunakan untuk keseharian, dijual melalui lelang dan hasilnya dibayarkan untuk mengurangi sebagian restitusi kepada anak korban DO.

Demikianlah pertimbangan penjatuhan restitusi yang wajib dibayarkan Mario Dandy kepada anak korban DO sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 297/Pid.B/2023/PN.Jkt.Sel.

Semoga dapat memberikan referensi tambahan bagi para hakim dalam mengadili perkara pidana yang diiringi dengan pengajuan restitusi. Sedangkan untuk akademisi hukum dan masyarakat umum menjadi sumber pengetahuan yang menambah khazanah keilmuan di bidang hukum, khususnya berkaitan dengan permohonan dan pemberian restitusi.

Penulis: Adji Prakoso
Editor: Tim MariNews