MARINews, Ruteng-Suasana haru menyelimuti ruang sidang Cakra Pengadilan Negeri Ruteng, saat Majelis Hakim mencoba mendamaikan terdakwa dengan korban dalam perkara pidana penganiayaan. Isak tangis pecah ketika keduanya saling berpelukan dan memaafkan satu sama lain di hadapan majelis hakim.
Sidang ini dipimpin oleh Indi Muhtar Ismail, S.H., M.H. sebagai Ketua Majelis Hakim, serta Carisma Gagah Aristya, S.H., M.Kn. dan Syifa Alam, S.H., M.H. sebagai hakim anggota.
Perkara pidana penganiayaan dengan nomor 8/Pid.B/2025/PN Rtg ini, bermula dari percekcokan yang berujung pada perkelahian. Di mana, Terdakwa mengayunkan parang hingga menyebabkan korban mengalami luka. Di hadapan Majelis Hakim, Terdakwa mengakui perbuatannya dengan penuh penyesalan.
Ketua Majelis Hakim menegaskan, keadilan restoratif bertujuan untuk menyeimbangkan kepentingan pemulihan korban dan pertanggungjawaban terdakwa.
“Hakim dalam memeriksa perkara tidak hanya sekadar memutus dan menghukum terdakwa, tetapi juga mempertimbangkan dampak putusan terhadap para pihak. Jangan sampai setelah kembali ke keluarga dan masyarakat, pertengkaran antara Terdakwa dengan korban malah semakin berlanjut karena dendam. Penting bagi kami untuk memastikan perdamaian yang sesungguhnya, agar konflik ini tidak berlanjut di kemudian hari,” ujarnya.
Momen mengharukan terjadi saat Majelis Hakim mengupayakan perdamaian. Korban, dengan air mata berlinang, mengungkapkan keinginannya untuk berdamai.
“Sebenarnya, saya sangat menghormati Terdakwa karena dia adalah saudara kandung. Saya ingin berdamai dengannya,” ucapnya sambil menangis. Terdakwa dan korban pun saling berpelukan, memaafkan satu sama lain, hingga tangis mereka pecah di ruang sidang.
Ketua Majelis Hakim menyatakan, jika terdapat kesepakatan untuk melakukan perdamaian, hal tersebut dapat disampaikan dalam persidangan. Namun, dalam kasus ini, korban memilih untuk berdamai dengan terdakwa secara sukarela tanpa adanya kesepakatan formal.
Terdakwa didakwa dengan Pasal 351 ayat (1) KUHP, Majelis Hakim menerapkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Aturan ini memberikan pedoman bagi hakim dalam menangani perkara pidana tertentu dengan pendekatan keadilan restoratif.
Mahkamah Agung, melalui Perma ini, mengakomodasi pendekatan keadilan restoratif dengan prinsip pemulihan keadaan, penguatan hak korban kebutuhan dan kepentingan Korban, tanggung jawab terdakwa, konsensualitas, transparansi dan akuntabilitas serta pidana sebagai upaya terakhir. Dengan demikian, sistem pemidanaan tidak hanya berfokus pada hukuman bagi terdakwa, tetapi juga pada pemulihan hubungan sosial yang lebih luas.
Sidang berakhir dengan suasana penuh keharuan, memberikan harapan baru bagi kedua belah pihak maupun keluarga untuk melanjutkan kehidupan tanpa dendam dan permusuhan.