Evolusi Peran Hakim dalam Sejarah Islam dan Sifat Manusiawinya

Pengembangan sistem banding adalah bukti nyata fleksibilitas dan adaptasi hukum Islam untuk memenuhi tuntutan zaman.
Ilustrasi hakim. Foto freepik.com
Ilustrasi hakim. Foto freepik.com

Sejarah dan Perkembangan Peran Hakim (Qadhi) dalam Dunia Islam: Dari Awal hingga Sistem Banding

Dalam peradaban Islam, hakim atau qadhi adalah pilar utama keadilan. Perannya tidak hanya terbatas pada penegakan hukum, tapi sebagai penjaga moral dan ketertiban sosial. Sejarah panjang peran qadhi, mencerminkan sistem hukum Islam terus beradaptasi dan berinovasi, untuk memastikan keadilan yang merata bagi seluruh umat.

Awal Mula dan Peran di Masa Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin

Konsep peradilan dalam Islam sudah ada sejak Rasulullah SAW. Beliau sendiri adalah hakim pertama umat Islam, dimana memutuskan perselisihan berdasarkan wahyu dan ijtihad. Keadilan, adalah prinsip utama dalam setiap putusan beliau.

Setelah wafatnya Rasulullah SAW, para Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib) melanjutkan tradisi ini. Khalifah Umar bin Khattab, yang pertama secara resmi menunjuk qadhi di berbagai wilayah Islam. Penunjukan ini berdasarkan kriteria ketat, antara lain integritas moral, pengetahuan mendalam tentang syariat, kemampuan bersikap adil, serta tidak memihak.

Pada masa ini, peran qadhi sangat luas, meliputi memutuskan perselisihan antarindividu atau kelompok, Penegakkan hukum pidana sesuai syariat, mengurus warisan dan perwalian, mengawasi wakaf dan menyelesaikan sengketa tanah, serta properti.

Putusan qadhi umumnya dianggap final. Namun, kesadaran bahwa qadhi adalah manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan, sudah ada sejak awal. Khalifah Umar, misalnya, sering meminta laporan dari qadhi-nya dan terkadang membatalkan putusan, yang dianggap tidak adil.

Perkembangan di Era Dinasti Umayyah dan Abbasiyah

Dengan meluasnya kekuasaan Islam di era Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, sistem peradilan menjadi lebih kompleks. Jumlah qadhi bertambah, dan yurisdiksi semakin spesifik.

Pada masa itu, mulai muncul posisi Qadhi al-Qudhat (Hakim Agung), yang bertanggung jawab atas pengangkatan, pengawasan, dan bahkan pembatalan putusan qadhi di bawahnya. Hal tersebut, langkah awal menuju sistem pengawasan yang lebih terpusat.

Era Abbasiyah, terutama masa Harun al-Rasyid dan Al-Ma'mun, adalah masa keemasan peradilan. Ilmu fiqh berkembang pesat dengan munculnya berbagai mazhab hukum. Para qadhi umumnya, adalah ulama terkemuka yang menguasai berbagai ilmu agama, serta dibantu juru tulis dan saksi ahli.

Pengenalan Sistem Banding: Mengakui Keterbatasan Manusia

Meskipun otoritas qadhi sangat dihormati, disadari bahwa qadhi adalah manusia biasa yang dapat melakukan kesalahan. Kesalahan bisa terjadi, karena kekeliruan menafsirkan hukum, kekhilafan memahami fakta, atau tekanan eksternal. Untuk mengatasi potensi kesalahan ini, secara bertahap muncul praktik-praktik yang mengarah pada konsep banding.

Hal ini sejalan dengan isi Al-Qur'an, Surat Thaahaa, Ayat 115 , yang tafsirnya menerangkan

“Dan sesungguhnya telah kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak kami dapati padanya kemauan yang kuat."

Secara formal, sistem banding seperti yang dikenal dalam hukum modern tidak ada awalnya. Namun, mekanisme banding digunakan untuk meninjau kembali putusan qadhi dalam kekhalifahan/Kerajaan Islam, seperti riwayat:

 - Pengaduan kepada Qadhi al-Qudhat atau khalifah/sultan:

Pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan keberatan langsung. Otoritas lebih tinggi dimaksud, memiliki wewenang untuk memerintahkan qadhi meninjau kembali kasus, atau menyerahkannya kepada qadhi lain. Hal tersebut, bentuk awal dari judicial review

- Perubahan Yurisprudensi (Ijtihad Baru):

Dengan berkembangnya ilmu fiqih, terkadang muncul ijtihad baru. Jika putusan didasarkan pada ijtihad lama, yang dianggap kurang tepat oleh otoritas fikih lebih tinggi, maka putusan dapat ditinjau kembali.

- Kesalahan Prosedural:

Jika terbukti ada kesalahan prosedur signifikan dalam persidangan (misalnya, saksi tidak disumpah), putusan dapat dianggap belum sah dan harus disidangkan ulang.

- Penemuan Bukti Baru:

Jika ada bukti baru yang relevan dan dapat mengubah hasil putusan, kasus dapat dibuka kembali.

Praktik-praktik tersebut, meskipun tidak diinstitusikan sebagai pengadilan banding yang terpisah, faktanya berfungsi sebagai katup pengaman untuk memastikan putusan yang keliru dapat diperbaiki. Wujudnya mencerminkan prinsip fundamental Islam, yakni mencari keadilan sejati dan meminimalkan kesalahan manusia dalam penegakan hukum.

Perkembangan Modern dan Sistem Peradilan Islam Kontemporer

Di era modern, banyak negara mayoritas Muslim telah mengadopsi sistem peradilan yang lebih terstruktur, seringkali memadukan prinsip syariat dan sistem hukum modern, termasuk pengenalan pengadilan bertingkat, yaitu pengadilan tingkat pertama, banding, dan Mahkamah Agung/kasasi.

Dalam sistem ini, pengadilan tingkat pertama menangani kasus-kasus awal. Sedangkan pengadilan banding meninjau kembali putusan pengadilan tingkat pertama, berdasarkan keberatan pihak yang merasa tidak puas atas putusan.

Pada tahap ini, putusan qadhi/hakim tingkat pertama akan ditinjau secara menyeluruh. Mahkamah Agung/kasasi, menjadi tingkat terakhir untuk memastikan keseragaman penerapan hukum dan mencegah putusan yang bertentangan.

Pengembangan sistem banding adalah bukti nyata fleksibilitas dan adaptasi hukum Islam, untuk memenuhi tuntutan zaman, sekaligus menjunjung tinggi prinsip keadilan dan mengakui sifat manusiawi hakim yang tidak sempurna.

Sumber Referensi: 

- Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law

- Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh

- Subhi Mahmassani, Falsafat al-Tashri' fi al-Islam: The Philosophy of Jurisprudence in Islam
Imam Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj

- Sherman A. Jackson, Islamic Law and the State: The Constitution of Objects of Regulation in the Islamic World