Langit Arunika dan Gugus Bintang di Balik Toga

Ketika memilih beristirahat dengan cara yang sederhana dan bersahaja, kita tetap menjaga kehormatan profesi tanpa kehilangan hak sebagai manusia.
Camping menjadi salah satu pilihan yang relevan dan bermakna. Berkemah menghindarkan kita dari gaya hidup hedonis yang berfokus pada kemewahan dan kepuasan tanpa batas. Foto dokumentasi pribadi penulis
Camping menjadi salah satu pilihan yang relevan dan bermakna. Berkemah menghindarkan kita dari gaya hidup hedonis yang berfokus pada kemewahan dan kepuasan tanpa batas. Foto dokumentasi pribadi penulis

Dalam kesunyian ruang sidang, seorang hakim kerap menyimpan kegelisahan dalam diam. Setiap palu yang diketuk bukan hanya mencerminkan putusan hukum, tetapi juga beban batin yang tak ringan. Di balik toga dan martabat yang dijaga, tersembunyi kepenatan yang pelan namun pasti bisa menggerogoti semangat. Maka, rekreasi bukanlah kemewahan bagi seorang hakim, melainkan kebutuhan psikis yang mendasar sebuah ikhtiar menjaga kewarasan dan integritas dalam menjalankan amanat keadilan.

Sebagai hakim, kita terbiasa mengerjakan perkara demi perkara, dikejar waktu dan tenggat, dihadapkan pada harapan para pencari keadilan yang tak pernah surut. Ketegangan menjadi sahabat harian. Dalam rutinitas yang demikian intens, kita perlu ruang untuk bernapas. Ruang untuk menjadi manusia biasa yang bisa melihat langit tanpa memikirkan berkas, atau mendengar desir angin tanpa membayangkan sidang esok pagi. Di sinilah rekreasi menemukan maknanya.

Namun demikian, rekreasi bagi aparatur peradilan tidak bisa dilakukan sembarangan. Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2025 tentang Penerapan Pola Hidup Sederhana Aparatur Peradilan Umum secara tegas mengingatkan, meski setiap individu berhak meningkatkan kualitas hidupnya melalui cara yang sah dan halal, sebagai bagian dari lembaga peradilan, kita mengemban tanggung jawab moral dan etika di mata publik. Sehingga setiap tindakan dan gaya hidup yang ditampilkan di ruang publik berpotensi menimbulkan persepsi keliru. Oleh karena itu, kesederhanaan bukanlah batasan, melainkan cerminan integritas, tanggung jawab, dan keteladanan.

Dalam semangat kesederhanaan itulah, camping menjadi salah satu pilihan yang relevan dan bermakna. Berkemah menghindarkan kita dari gaya hidup hedonis yang berfokus pada kemewahan dan kepuasan tanpa batas. Ia menghadirkan kedekatan dengan alam, kesahajaan dalam fasilitas, dan keheningan yang mendalam. Tidur di tenda, memasak dengan peralatan seadanya, menyeduh kopi di pagi berkabut, dan menatap langit bertabur bintang semuanya menjadi sarana untuk kembali menyatu dengan nilai-nilai sederhana yang selama ini kita jaga dalam diam.

Sebagaimana penulis lakukan, yaitu dengan memilih camping di Arunika Hills sebuah kawasan perbukitan dataran tinggi yang berlokasi di Alahan Panjang Kabupaten Solok, Sumatera Barat yang menghadap langsung ke Danau Diatas, pengalaman sederhana ini justru menjadi salah satu momen paling menenangkan dalam rutinitas yang padat.

Danau vulkanik yang tenang itu, benar-benar tampil sebagai mahakarya alam di ketinggian pemandangan yang menghadirkan kedamaian dan rasa syukur sekaligus. Alahan Panjang yang memiliki julukan “Swiss-nya Sumatera Barat” bukanlah isapan jempol. Udara sejuk, lanskap yang alami, serta keheningan yang menyelimuti menghadirkan sensasi seolah berada di lembah Alpen.

Hanya saja, di sini terasa lebih hangat dengan senyum masyarakat Minang, teh talua yang mengepul, dan nilai-nilai lokal yang meresap dalam setiap interaksi. Tak jauh dari sana, hamparan kebun teh yang hijau membentang luas, menjadi latar yang menambah keindahan sekaligus melambangkan harmoni manusia dengan alam. Aroma daun teh segar yang tercium di udara pagi membawa ketenangan tersendiri, seolah mengingatkan bahwa di balik kesibukan hidup, selalu ada ruang untuk berhenti sejenak, menghirup napas dalam-dalam, dan menikmati keajaiban sederhana dari alam yang ramah.

Namun keistimewaan sesungguhnya bukan pada tempatnya, melainkan pada pengalaman mendirikan tenda, membuat kopi di pagi hari, dan menyaksikan matahari terbit perlahan dari balik kabut. Camping membuat kami merasa kembali menjadi manusia biasa yang utuh yang tak perlu atribut jabatan untuk merasa cukup. Saat malam turun dan langit terbuka memperlihatkan gugusan bintang yang jarang terlihat dari kota, alam menghadirkan ruang sunyi yang menjadi tempat terbaik untuk merenung dan bersyukur.

Indonesia sendiri memiliki begitu banyak keindahan yang bisa dinikmati tanpa harus terbang ke luar negeri. Dari Sabang hingga Merauke, tanah air ini penuh dengan lanskap yang memukau, budaya yang bersahaja, dan kehangatan masyarakat yang tulus. Memilih berlibur di dalam negeri bukan hanya bentuk kesadaran ekonomi karena turut memberi manfaat bagi masyarakat lokal tetapi juga bentuk penguatan ikatan batin dengan bangsa sendiri. Ini adalah bentuk rekreasi yang tidak hanya membahagiakan diri, tapi juga membangun nilai.

Sebagai hakim, kita dituntut untuk tidak hanya tegas dalam memutus perkara, tetapi juga bijak dalam menjalani hidup. Camping bukan hanya bentuk rekreasi sederhana, tetapi juga pernyataan moral bahwa ketenangan bisa dicapai tanpa kemewahan, dan kebahagiaan sejati hadir dari keheningan batin, bukan dari hiruk-pikuk gaya hidup. Ketika memilih beristirahat dengan cara yang sederhana dan bersahaja, kita tetap menjaga kehormatan profesi tanpa kehilangan hak sebagai manusia.

Di tengah riuhnya dunia, terkadang yang kita butuhkan hanyalah sepetak tanah yang tenang, sebuah tenda yang sederhana, dan udara segar yang menyejukkan. Tak perlu resort mewah atau destinasi luar negeri, karena justru di tempat yang sederhana itulah kita benar-benar bisa kembali: kepada alam, kepada nurani, dan kepada keadilan yang sejatinya kita jaga bersama.
 

Penulis: Iqbal Lazuardi
Editor: Tim MariNews