Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, telah genap berjalan satu tahun. Beberapa kebijakan baru, telah disusun dan diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain kebijakan baru yang dirilis pemerintahan Prabowo Subianto, beberapa program yang ada era Presiden Joko Widodo, juga dilanjutkan.
Salah satu program yang dilanjutkan, yakni adanya Komponen Cadangan (komcad), yang berasal dari masyarakat sipil dan angkatan pertamanya dibentuk pada tanggal 7 Oktober 2021 di Batujajar, bandung. Bahkan salah satu artis dijadikan duta komcad dan diberikan pangkat tituler Letnan Kolonel.
Dasar hukum pembentukan komcad, didasarkan pada Peraturan Menteri Pertahanan RI Tahun 3 Tahun 2021 tentang Pembentukan, Penetapan dan Pembinaan Komponen Cadangan.
Pemberian pangkat militer terhadap sipil, sejarah hukumnya juga pernah terjadi era kolonial Hindia Belanda. Bupati atau regent yang memimpin suatu kabupaten, diberikan pangkat militer, oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, yang dicatat dalam Staatsblad Nomor 22 Tahun 1820.
Bahwa Staatsblad Nomor 22 Tahun 1820, dikuhkuhkan tanggal 9 Mei 1820. Namun pangkat militer yang diberikan kepada Para Bupati, dapat berbeda-beda, tergantung gelar kebangsawanan atau status sosialnya di kalangan masyarakat.
Untuk Bupati berdarah biru dan keturunan langsung raja bergelar raden atau kyai adipati, mendapatkan pangkat tituler Letnan Kolonel. Sedangkan bagi Bupati yang bergelar Kyai Tumenggung, dianugerahi pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan pangkat Mayor.
Bagi bupati keturunan bangsawan yang memiliki nama mas ngabehi, mendapatkan pangkat tituler Kapten.
Tidak hanya diistimewakan kedudukan Bupati era kolonial, melalui pangkat militer yang disematkan, melainkan juga kedudukan sosialnya disetarakan sebagai adik atau saudara muda, dari residen yang dijabat oleh orang Belanda atau golongan Eropa, khususnya bagi Para Bupati di Pulau Jawa.
Aturan mengenai kedudukan sosial Bupati zaman penjajahan Belanda, diatur dalam Reglement op de Verplichtingen, Titles en Rangen der Regenten op het Eiland Java.
Sedangkan bagi masyarakat, yang tidak berkedudukan sebagai tentara atau bupati era kolonial, di mana terdapat aturan yang mewajibkan untuk mengenakan pakaian tertentu. Adapun antara, golongan penduduk eropa dan bumiputera memiliki pembeda dalam berpakaian dan larangan bagi para bumiputera berpakaian mengikuti gaya pakaian Eropa, seperti penggunaan jas.
Warga bumiputera diwajibkan menggunakan pakaian tradisional. Demikian juga golongan penduduk Tionghoa dan timur asing lainnya, diperintahkan menggunakan pakaian yang menunjukan identitas kelompoknya.
Instruksi penggunaan pakaian menyesuaikan klas golongan penduduk, sebagai bagian dari politik hukum segregasi pemerintah kolonial, yang membagi penduduk dalam tiga golongan yaitu Eropa, Timur Asing dan Bumiputra, sebagaimana diatur Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS).
Namun, kebijakan penggunaan pakaian di kalangan masyarakat semakin ditinggalkan, sejak berlangsungnya politik etis yang digagas kelompok cendikiawan, yang memprotes kebijakan kolonial Belanda.
Hal dimaksud, tergambarkan dengan penggunaan pakaian bergaya Eropa oleh pemuda Bumiputra yang mengenyam pendidikan tinggi di sekolah Hindia Belanda, seperti Stovia, HBS dan lain sebagainya.
Demikianlah, sejarah singkat politik hukum penyematan pangkat tituler dan penggunaan pakaian era kolonial Hindia Belanda. Semoga dapat menambah wawasan bagi para pembacanya.
Sumber Referensi
- Ayu Septiani, Bibliografi Sejarah Pakaian di Indonesia pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda, Jurnal Pustaka Budaya, Vol. 9, Nomor 1, Januari 2022, hlm. 24
- Husein Abdulsalam, Pakaian dan Gaya Hidup Revolusioner di Zaman Hindia Belanda, https://tirto.id/pakaian-dan-gaya-hidup-revolusioner-di-zaman-hindia-belanda
- Gaya Berpakaian Masyarakat di Batavia Saat Kolonialisme , https://www.senibudayabetawi.com/7369/gaya-berpakaian-masyarakat-di-batavia-saat-kolonialisme
- Luthfi Adam, Mas Marco dan Politik Busana Kolonial , https://www.historia.id/article/mas-marco-dan-politik-busana-kolonial