Hampir seluruh penggemar sepak bola pasti mengenal Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo. Dua nama besar yang sama-sama dinominasikan sebagai GOAT (Greatest of all Time).
Messi dan Ronaldo seringkali diasosiasikan sebagai pertarungan antara bakat alami dan kerja keras. Tapi, menempatkan Messi sebagai contoh pemilik bakat alami dan Ronaldo sebagai contoh pekerja keras sebenarnya kurang tepat, sebab keduanya sama-sama berbakat dan pekerja keras.
Perwakilan bakat alami sepak bola tanpa kerja keras lebih tepat jika diisi nama-nama seperti Neymar Jr, Ronaldinho, dan Adriano. Alasannya dapat dilihat dari singkatnya karir cemerlang mereka. Tidak satupun yang akan membantah betapa berbakatnya mereka dalam sepak bola. Namun bakat saja tidak cukup, tanpa kerja keras semua kejayaan tidak akan bertahan lama. Dan mereka adalah contoh yang tepat.
Karir Neymar Jr tenggelam sebelum menyentuh usia 30 tahun akibat kehidupan yang glamor dan tidak sepenuhnya fokus dengan sepakbola, pun yang dialami Ronaldinho pasca empat tahun masa cemerlang di Barcelona (performanya jauh menurun di musim kelimanya). Nasib Adriano tidak kalah miris. Sempat digadang-gadang akan jadi bintang top dunia, karirnya tenggelam akibat duka ditinggal pergi ayahnya.
Tulisan ini tidak sedang berbicara tentang sepak bola secara utuh. Tulisan ini akan mengulas buku karangan Carol S. Dweck yang berjudul Mindset: the new Psychology of Success.
Buku tersebut telah diterjemahkan dan diterbitkan oleh Bentara Aksara Cahaya dengan judul Mindset: Mengubah Pola Berpikir untuk Perubahan Besar dalam Hidup Anda. Buku setebal 399 halaman ini fokus membahas dua jenis mindset, yaitu fixed mindset (mindset tetap) dan growth mindset (mindset tumbuh).
Meskipun inti pembahasan buku ini hanya berkisar pada mindset tetap dan mindset tumbuh, namun yang membuat buku ini menarik, penulis menyajikan banyak contoh dari orang-orang terkenal, sehingga akan membuat pembaca semakin yakin dengan maksud penulis, bahwa orang-orang dengan mindset tetap mungkin saja berhasil, namun yang dapat bertahan lama dalam keberhasilan dan kesuksesan hanyalah orang-orang dengan mindset tumbuh.
Seperti contoh pada awal tulisan ini, panjang pendeknya karir seorang olahragawan ternyata sangat terkait erat dengan mindset yang dimilikinya. Dan kita akan menemukan benang merah antara keduanya dengan membaca buku ini.
Penulis buku kerap kali mengasosiasikan mindset tetap dengan orang-orang cerdas dan berbakat, namun meremehkan progress positif dalam karirnya. Sebaliknya, mindset tumbuh menurut penulis dimiliki oleh orang-orang yang fokus pada proses dan peningkatan.
Saat memberikan contoh orang-orang dengan mindset tumbuh, penulis buku tidak hanya menyebutkan nama-nama penemu, CEO hebat, seniman, atau pemimpin dunia, tapi ia juga mencantumkan olahragawan hebat, salah satunya adalah Jackie Joyner-Kersee.
Joyner-Kersee muda bukan orang dengan bakat alami paling hebat, tetapi ia tetap berlatih keras dan rajin mengikuti berbagai macam perlombaan. Ia hanya fokus dengan “semakin lama, semakin cepat”, meski awalnya ia tetap tidak memenangi pertandingan apapun. Berkat mindset tumbuh dan kerja kerasnya, ia akhirnya dikenal sebagai pemenang dua olimpiade, dua kejuaraan dunia, dan memecahkan rekor dunia.
Selain itu, penulis juga menjadikan Michael Jordan, seorang ikon legendaris basket, sebagai contoh pribadi bermindset tumbuh. Bagi pemerhati basket, pasti tahu pada awal karirnya, Jordan bukanlah pemain dengan bakat alami. Jordan bisa sehebat itu karena ia berlatih jauh lebih keras dari siapapun. Bagi seseorang dengan mindset tumbuh seperti Jordan, ia berlatih keras bukan untuk menjadi hebat, tapi ia berlatih keras agar ia tahu bagaimana ia bisa gagal.
Penulis buku juga memberikan contoh menarik pada diri John Wooden, seorang pelatih basket yang berhasil memenangkan 10 kejuaraan nasional dalam periode 12 tahun sebagai pelatih di UCLA. Wooden mengatakan kepada para pemainnya “setiap hari, kamu harus membuat dirimu menjadi sedikit lebih baik, dengan begitu selama periode waktu tertentu, kamu akan menjadi jauh lebih baik”.
Wooden tidak pernah meminta pertandingan yang bebas dari kesalahan. Ia tidak pernah menuntut pemainnya tidak pernah kalah. Ia hanya meminta persiapan penuh dan usaha sungguh-sungguh dari mereka. Jika sudah memberikan upaya terbaik, maka “mungkin saja anda dikalahkan, tetapi anda tidak akan pernah kalah” ujarnya.
Perbedaan antara mindset tetap dan mindset tumbuh inilah yang dijelaskan oleh penulis buku. Orang dengan mindset tetap bukan hanya tidak suka gagal, bahkan tidak tahu bagaimana caranya gagal. Sedangkan bagi orang dengan mindset tumbuh, mereka akan berlatih keras agar akrab dengan kegagalan, hingga akhirnya dapat menemukan strategi untuk menghindari kegagalan tersebut di kemudian harinya.
Penulis buku juga tidak hanya menyajikan kisah para olahragawan maupun pelatihnya. Ada hal yang menarik ketika penulis buku mengaitkan antara mindset tetap dengan penyakit CEO (termasuk juga pimpinan organisasi) kebanyakan, yaitu tidak suka gagal dan tidak tahu menghadapi kegagalan.
Penulis menjelaskan penyakit CEO yang memiliki mindset tetap seringkali menciptakan dunianya sendiri, yang selalu memenuhi kebutuhan mereka terhadap pengakuan. Mereka mengelilingi diri mereka hanya dengan berita-berita baik tentang kesempurnaan mereka, mereka percaya diri mereka sebaik yang dikatakan orang lain, namun tidak peduli dan tidak siap dengan tanda-tanda peringatan bahaya yang mungkin ada.
Membaca ini mungkin akan membuat pembaca tersadar, ada banyak pimpinan yang seperti itu, atau bahkan kita sendiri. Selalu ingin mendengar keberhasilan dan anti terhadap kritikan. Mengumpulkan orang-orang yang senantiasa memberikan pujian dan persetujuan, serta menyingkirkan orang-orang yang senantiasa memberikan kritik untuk perbaikan. Padahal kritikan justru obat yang menyempurnakan, sedangkan pujian bertubi-tubi adalah racun yang menghancurkan.
Berbeda dengan pimpinan yang memiliki mindset tumbuh. Ia justru akan menyukai kritik yang membangun. Menurut penulis buku, pemilik mindset tumbuh selalu berusaha menggali potensi, menghadapi berbagai tantangan, dan berusaha untuk terus berkembang.
Penulis menyajikan contoh Winston Churcill, seorang pemimpin Inggris yang disegani, yang dengan sengaja membentuk satu departemen khusus yang bertugas menyampaikan seluruh berita terburuk kepada Churcill. Hal itu ia lakukan agar terbebas dari rasa aman palsu dan mampu menyiapkan langkah pencegahan terbaik bagi negaranya.
Pada bagian lain, penulis mengutip kisah Jack Welch, seorang pebisnis terkenal. Seketika ia ditunjuk menjadi CEO perusahaan General Electric, ia langsung bertanya kepada para eksekutifnya, apa yang mereka sukai dan apa yang tidak berkaitan dengan perusahaan, serta apa yang menurut mereka harus diubah. Kepemimpinan Welch menjadikan General Electric sebagai salah satu perusahaan besar yang semakin bertumbuh hebat.
Menurut penulis, orang-orang bermindset tumbuh tidak punya kepentingan untuk membuktikan diri mereka. Mereka hanya melakukan apa yang mereka cintai, dengan semangat dan antusiasme, sembari bertumbuh menjadi semakin hebat, dan jalan menuju puncak terbuka dengan sendirinya.
Bagi pemimpin dengan mindset tumbuh, tidak ada yang namanya puncak kesuksesan, yang ada hanyalah hari-hari biasa untuk terus belajar dan bertumbuh lebih baik.
Yang cukup mencengangkan dari isi buku ini adalah penulis memiliki kecenderungan untuk membuktikan kecerdasan dan bakat tidak sama dengan mindset. Bahkan dalam banyak halaman, penulis memberikan contoh orang-orang cerdas yang gagal karena memiliki mindset tetap.
Orang-orang cerdas dengan mindset tetap bisa saja berhasil, namun sulit untuk bertahan dalam keberhasilan itu. Menurut penulis buku, hanya orang-orang dengan mindset tumbuh lah yang dapat bertahan lama dalam kesuksesan dan keberhasilan.
Hal ini terjadi, menurut penulis buku, karena mindset menentukan karakter. Karakter akan melahirkan ketangguhan mental dan etos kerja. Ketangguhan mental dan etos kerja akan mempengaruhi hasil.
Orang dengan mindset tumbuh tidak pernah memusingkan hasil, mereka fokus pada proses. Jika orang dengan mindset tetap akan dihantui rasa frustasi berlarut-larut saat menghadapi kegagalan, orang dengan mindset tumbuh tahu cara menghadapi frustasi, dan kemudian kembali fokus untuk berlatih dan bekerja keras.
Penulis tidak melulu menyebutkan kisah para tokoh pemimpin dunia, bisnis atau olahraga saja, tetapi pada bagian enam buku ini, penulis juga menyajikan kisah kandasnya hubungan percintaan yang dihubungkan dengan mindset. Namun yang menjadi fokus utama penulis bukan tentang kisah cintanya, tapi bagaimana reaksi orang-orang terhadapnya. Inilah yang membuat pembahasan di dalam buku ini tidak monoton.
Buku ini tidak hanya relevan dibaca oleh segelintir kalangan, tetapi semua orang, karena buku ini bukan mengajarkan cara untuk sukses, tetapi lebih dari itu, buku ini mengajarkan kita bagaimana cara untuk hidup dan menghadapi kehidupan. Termasuk bagi kalangan pendidik (dosen, guru) dan pelajar itu sendiri.
Dalam satu bab khusus, penulis akan mengajak para pendidik untuk memandang adanya potensi peningkatan pada setiap siswanya. Menurut penulis, guru bermindset tetap umumnya beranggapan bahwa siswa yang berprestasi bersifat konstan, akibatnya ia akan meninggalkan siswa yang “bodoh” dan tidak mempedulikannya.
Sebaliknya, guru bermindset tumbuh menetapkan standar pengajaran yang tinggi, tetapi mengindahkan hasil dan lebih berfokus pada proses belajar para siswa. Guru bermindset tumbuh akan menumbuhkan suasana “aku akan mengajarimu”, bukan “aku akan menilai kecerdasanmu”.
Meskipun buku ini cukup tebal, namun cara penulis mengalirkan setiap paragraf dan pembahasan membuat pembaca terhindar dari rasa bosan dan jenuh. Seingat saya, tidak ada pembahasan yang berulang dalam buku ini. Hal yang luar biasa mengingat pembahasan buku ini hanya berkisar pada mindset tetap dan mindset tumbuh.
Dalam setiap akhir bab, penulis selalu memberikan kesimpulan ringkas dan strategi untuk menerapkan mindset tumbuh. Hal ini dapat membantu pembaca untuk memetik intisari pembahasan per bab yang secara aktual dapat dipraktikkan.
Di bagian akhir buku ini, penulis menyadarkan pembaca bahwa perubahan adalah perubahan. Tidak ada perubahan yang konstan, melainkan dinamis, termasuk perubahan itu sendiri. Bukan berarti seseorang yang sudah menunjukkan perubahan dari mindset tetap ke mindset tumbuh akan selamanya bermindset tumbuh.
Oleh sebab itu, mindset tumbuh harus senantiasa dipertahankan dan didukung oleh orang-orang terdekat. Mari kita galakkan perubahan mindset tetap dengan kerangka menghakimi dan dihakimi, menjadi mindset tumbuh dengan kerangka belajar dan membantu belajar.