Menyeimbangkan Keadilan Utilitarian dan Individual: Situasi Dilematis dari Fantastic Four First Steps

Pelajaran terpenting dari dilema Fantastic Four adalah, keadilan sejati tercapai ketika hakim mampu melindungi hak-hak individual sambil tetap mempertimbangkan dampak sosial yang lebih luas.
Poster film Fantactic Fours: First Steps. Foto hotstar.com
Poster film Fantactic Fours: First Steps. Foto hotstar.com

Keseimbangan hukum dan kepentingan hukum merupakan problematika klasik yang kerap mewarnai pertimbangan hakim, baik dalam perkara pidana maupun perdata. Di satu sisi, penerapan positivisme hukum menawarkan kemudahan karena berpegang pada teks undang-undang secara ketat. Namun di sisi lain, pendekatan ini sering kali berisiko mengabaikan rasa keadilan dan kemanfaatan hukum, terutama bagi subjek hukum yang berada dalam posisi lemah atau terpojok.

Persoalan menjadi semakin kompleks ketika hakim dihadapkan pada kasus-kasus yang belum memiliki dasar hukum yang jelas atau kepastian hukum yang memadai. Dalam situasi seperti ini, hakim harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam kekakuan norma hukum, namun juga tetap menjaga integritas dan legitimasi putusannya. Dilema ini terus menghantui proses pengambilan keputusan di ruang sidang, menjadikan pertimbangan hukum sebagai medan ujian antara kepastian, kemanfaatan, dan keadilan.

Ilustrasi yang dapat dipelajari atas permasalahan ini dapat dilihat dari film terbaru rilisan Marvel Studios berjudul Fantastic Four First Steps (2025). Fantastic Four mengisahkan keluarga pahlawan yang selalu menjaga dan menolong masyarakat dari marabahaya dengan kekuatan super mereka. Dalam melaksanakan tugasnya, Fantastic Four tidak luput dari permasalahan yang runyam. 

Dilema moral yang dihadapi Fantastic Four adalah ketika menghadapi ultimatum Galactus yang merupakan tokoh antagonis dari film tersebut. Galactus akan memusnahkan bumi beserta isinya, namun Galactus menawarkan kepada Fantastic Four tidak akan memusnahkan bumi beserta isinya asalkan Fantastic Four mau mengorbankan Franklin yang merupakan anak dari Reed Richards (Mister Fantastic) dan Sue Storm (Invisible Woman). Fantastic Four dengan sigap menolak tawaran tersebut. 

Ketika masyarakat mendengar sikap yang diambil oleh Fantastic Four, masyarakat dengan kompak mengkritisi bahkan menghujat keputusan Fantastic Four tersebut. Masyarakat bahkan memandang bahwa sikap Fantastic Four yang melindungi Franklin, anak yang baru lahir, tanpa berpikir dua kali atas keselamatan masyarakat secara keseluruhan sebagai bentuk keegoisan.

Ada pun adegan yang menggambarkan kekecewaan dari Fantastic Four yang melihat respons masyarakat sebagai bentuk keegoisan masyarakat itu sendiri oleh karena terpikir untuk mengorbankan Franklin.

Ilustrasi tersebut, merupakan gambaran pertentangan konsep keadilan utilitarian dengan keadilan individual. Keadilan utilitarian membahas bahwa hukum harus bermanfaat dan kemanfaatan itu harus ditujukan secara menyeluruh, bukan hanya individual. Keadilan individual berfokus pada hukum yang melindungi fundamentum individu tanpa terkecuali, merujuk pada hak asasi manusia yang tidak dapat diganggu gugat.

Lantas bagaimana menghadapi pertentangan keadilan utilitarian dengan keadilan individual

Mari melihat kembali pada lanjutan cerita dari Fantastic Four First Steps yang menampilkan adegan, Sue Storm sebagai ibu dari Franklin memperkenalkan Franklin kepada masyarakat. Sue Storm menyebutkan, Franklin merupakan anggota baru dari keluarga Fantastic Four. Secara mengejutkan, Sue Storm menjelaskan juga bahwa masyarakat secara keseluruhan juga merupakan bagian keluarga dari Sue Storm dan Fantastic Four.

Sue Storm menegaskan bahwa Sue Storm akan selalu melindungi anaknya, Franklin. Akan tetapi, Sue Storm maupun Fantastic Four juga tidak akan mengorbankan seluruh masyarakat untuk melindungi Franklin.

Solusi yang diambil oleh Fantastic Four kemudian merupakan bentuk penyeimbangan, di mana dibutuhkan kompromi dan pengorbanan dari semua pihak, misalnya masyarakat diminta untuk sementara waktu mengungsi ke bawah tanah sedangkan Franklin dijadikan umpan secara hati-hati untuk mengelabui Galactus.

Dilema moral tersebut mencerminkan tantangan kompleks yang sering dihadapi hakim dalam sistem peradilan. Ketika Galactus menuntut penyerahan Franklin dengan imbalan keamanan Bumi, situasi ini menggambarkan benturan antara keadilan utilitarian yang mengutamakan “kebaikan terbesar bagi sebanyak mungkin orang” dengan keadilan individual yang melindungi hak-hak fundamental setiap individu.

Respons Sue Storm yang memperkenalkan Franklin sebagai bagian integral masyarakat memberikan perspektif penting bagi dunia hukum. Dalam konteks peradilan, hakim tidak boleh memperlakukan individu sebagai variabel yang dapat dikorbankan demi kepentingan mayoritas. Setiap individu, bagaimanapun posisinya dalam masyarakat, memiliki nilai dan hak yang tidak dapat dinegosiasikan. Prinsip equality before the law harus dijunjung, di mana setiap orang berhak mendapat perlakuan adil di hadapan hukum.

Kunci kebijaksanaan hakim terletak pada kemampuan mengidentifikasi pelaku kejahatan sebenarnya. Dalam film Fantastic Four, masyarakat sempat salah fokus dengan mempertanyakan keputusan Fantastic Four, padahal Galactus-lah yang merupakan pelaku kejahatan sebenarnya.

Demikian pula dalam praktik peradilan, hakim harus cermat membedakan antara korban dan pelaku, menghindari victim blaming, dan memastikan pertanggungjawaban dibebankan kepada pihak yang sesungguhnya bersalah.

Solusi kreatif yang ditempuh Fantastic Four-menggunakan Franklin sebagai umpan namun tetap melindunginya-menunjukkan, keadilan sejati tidak selalu berupa pilihan hitam-putih. Hakim yang bijaksana harus mampu menemukan jalan tengah yang tidak mengorbankan prinsip keadilan individual demi keadilan utilitarian, atau sebaliknya. Hal ini memerlukan pemahaman mendalam terhadap konteks kasus, kemampuan berpikir out-of-the-box, dan komitmen teguh pada nilai-nilai kemanusiaan.

Pelajaran terpenting dari dilema Fantastic Four adalah, keadilan sejati tercapai ketika hakim mampu melindungi hak-hak individual sambil tetap mempertimbangkan dampak sosial yang lebih luas. Bukan dengan mengorbankan satu demi yang lain, melainkan dengan mencari solusi inovatif yang menghormati keduanya. Inilah esensi kebijaksanaan peradilan yang sesungguhnya, yaitu kemampuan menyeimbangkan tanpa mengorbankan tujuan dari hukum itu sendiri yaitu keadilan yang bermartabat.