Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) merupakan regulasi strategis dalam menjaga ketahanan bangsa dari ancaman narkotika yang semakin kompleks.
Kejahatan narkotika dewasa ini bersifat transnasional, terorganisir, dan melibatkan jaringan global, sehingga menuntut pendekatan hukum yang tidak hanya represif tetapi juga humanis.
UU Narkotika lahir sebagai respons terhadap evolusi kejahatan narkotika sekaligus komitmen Indonesia terhadap berbagai konvensi internasional seperti Konvensi Tunggal 1961 dan Konvensi PBB 1988.
Selain menetapkan ancaman pidana yang berat untuk mengatasi peredaran gelap, UU Narkotika mengatur secara komprehensif upaya rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan.
Dalam konteks perkembangan hukum nasional, hadirnya KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023) memunculkan kebutuhan harmonisasi antara paradigma keadilan korektif dalam KUHP Baru dan ketentuan khusus dalam UU Narkotika.
Filosofi UU Narkotika menurut Penulis, bertumpu pada dua fondasi besar, yaitu Perlindungan negara melalui pemberantasan peredaran gelap yang mengancam keamanan nasional dan kualitas sumber daya manusia. Dan, Perlindungan masyarakat, khususnya generasi muda, melalui pendekatan kesehatan dan rehabilitasi bagi pecandu.
UU Narkotika memuat pembedaan yang jelas antara pengedar yang merupakan aktor peredaran gelap dan penyalahguna bagi diri sendiri yang diposisikan sebagai individu dengan masalah kesehatan sehingga membutuhkan intervensi medis.
Ketentuan Pasal 54 menegaskan kewajiban rehabilitasi medis dan sosial bagi pecandu sebagai pengejawantahan paradigma humanis tersebut.
Di sisi lain, pemberantasan peredaran gelap dilakukan dengan ancaman pidana yang sangat keras, termasuk pidana minimum khusus, untuk menciptakan efek jera dan memutus rantai suplai jaringan narkotika internasional.
Tujuan UU Narkotika: Perspektif Pasal 4 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika berbunyi:
Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan untuk:
- menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
- mencegah, melindungi, dan menyelamatkan rakyat Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika;
- memberantas peredaran gelap Narkotika dan prekursor Narkotika;
- menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu Narkotika.
Pasal 4 UU Narkotika merumuskan empat tujuan utama, yaitu menjamin ketersediaan narkotika untuk kesehatan, mencegah penyalahgunaan, memberantas peredaran gelap, dan menjamin upaya rehabilitasi.
Tujuan ini menunjukkan dualitas pendekatan preventif-humanis dan represif-pemberantasan yang harus dijalankan secara seimbang dalam sistem peradilan pidana.
Pembedaan pelaku menjadi penting. Ketika pengedar dikategorikan sebagai penyalahguna bagi diri sendiri, hal tersebut berpotensi mengaburkan tujuan pemberantasan serta menyalahi esensi Pasal 4.
Karena itu, rekonstruksi unsur pembeda antara keduanya menjadi kebutuhan mendesak dalam pembaruan norma hukum.
Penegakan Hukum dan Mekanisme Pembedaan Pelaku
Pembedaan antara "pengedar" dan "penyalahguna" tidak hanya dilakukan melalui analisis penting dalam unsur “bagi diri sendiri” pada Pasal 127, tetapi juga melalui asesmen terpadu yang melibatkan penyidik, ahli medis, dan psikolog.
Konsep double track system, perpaduan antara pidana dan tindakan rehabilitatif, menjadi dasar penting dalam penerapan UU Narkotika bagi mereka yang memiliki riwayat Pecandu dan Korban Penyalahguna Narkotika yang terpaksa dan tanpa daya upaya menyalahkangunakan narkotika sebagaimana dalam Pasal 54 sampai dengan Pasal 60 UU Narkotika;
Dalam praktiknya, ketidakjelasan batas antara pengedar dan penyalahguna menjadi tantangan karena beberapa pelaku memanfaatkan celah dengan mengaku menggunakan sebagian barang bukti agar masuk kategori Pasal 127.
Fenomena inilah yang kemudian memunculkan kebutuhan rekonstruksi unsur intensi ekonomi dalam pasal-pasal mengenai peredaran gelap.
Harmonisasi dengan KUHP Baru
Dalam Buku "Anotasi KUHP Nasional" oleh Eddy O.S Hiariej dan Topo Santoso, Depok 2025, Halaman 628, menyebutkan bahwa "mengapa ancaman pidana terhadap tindak pidana narkotika cukup berat? Hal ini berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana narkotika yang tidak mudah di Indonesia.
Paling tidak ada tujuh faktor penyebab peredaran gelap narkotika tumbuh subur di Indonesia.
Pertama, secara geografis, sebagai negara kepulauan, perbatasan laut terbuka dengan garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada.
Kedua, ketatnya upaya pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di negara-negara tetangga.
Ketiga, secara geostrategis, jembatan lalu lintas angkutan manusia dan barang yang ramai dilewati armada perdagangan internasional.
Keempat, secara demografis, jumlah penduduk Indonesia besar, merupakan pasar potensial bagi pemasaran gelap narkotika.
Kelima, lemahnya penegakan hukum dan pengawasan sosial.
Keenam, modernisasi dan penyebaran gaya hidup modern yang lebih berorientasi keduniawian dan kebendaan, gaya hidup konsumtif dan hedonis yang dipicu oleh kemajuan komunikasi, transportasi, informasi, dan globalisasi.
Ketujuh, situasi yang penuh ketegangan, terutama di perkotaan yang diwarnai polusi, kekumuhan, tingginya pengangguran, kesemrawutan dan kriminalitas.
KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023) memuat Ketentuan tentang Tindak Pidana Narkotika, sebagaimana dalam Tindak Pidana Narkotika Pasal 609 yang memuat Unsur perbuatan "Setiap Orang yang tanpa hak memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan;". Pasal ini memiliki kesamaan Unsur dalam Pasal 112 UU Narkotika.
Sedangkan ketentuan berikutnya, dalam Pasal 610 memiliki unsur perbuatan, "Setiap Orang yang tanpa hak memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan;"
Sedangkan Unsur sebagaimana Pasal 114 UU Narkotika yang memiliki unsur perbuatan "Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan", tidak terdapat di dalam KUHP Baru.
Terlebih dalam Pasal 622 KUHP Baru, huruf w Pasal 111 sampai dengan Pasal 126 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dinyatakan dicabut dan tidak berlaku.
Ketidakhadiran pasal padanan ini menimbulkan potensi disharmoni, terutama terkait Pasal 114 tentang peredaran gelap Narkotika Golongan I. Kekosongan norma ini dapat menyebabkan multitafsir dan ketidakpastian dalam menentukan intensi ekonomi pelaku.
Kekosongan Norma dan Tantangan Pasal 114 UU Narkotika
Pasal 114 merupakan salah satu pasal sentral dalam pemberantasan peredaran gelap karena mencakup tindakan menawarkan, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara, hingga menyerahkan narkotika secara ilegal.
KUHP Baru tidak menyediakan ketentuan paralel yang memadai, sehingga seluruh beban normatif tetap berada pada UU Narkotika. Kondisi ini memicu:
- ketergantungan penuh pada konsep lama UU Narkotika;
- tidak jelasnya batas antara pengedar dan penyalahguna;
- problem pembuktian unsur keuntungan dalam praktik peradilan.
Hal ini penting, karena unsur keuntungan merupakan penanda utama seseorang terlibat dalam peredaran gelap, bukan sekadar penyalahguna.
Gagasan Revisi: Perumusan Unsur Keuntungan dalam Pasal 114
Untuk menjawab persoalan tersebut, sejumlah ahli mengusulkan agar Pasal 114 direvisi dengan memasukkan secara eksplisit unsur tujuan memperoleh keuntungan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Gagasan rumusan ulang yang diusulkan adalah:
“Setiap orang yang dengan tujuan memperoleh keuntungan, baik secara langsung atau tidak langsung, menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menguasai secara tidak sah Narkotika Golongan I, dipidana …”
Rumusan ini memiliki tiga fungsi besar:
- Menegaskan pembeda antara pengedar (berorientasi profit) dan penyalahguna (berorientasi konsumsi).
- Mencegah manipulasi oleh pelaku yang mengaku menggunakan sebagian barang bukti.
- Memperkuat sinkronisasi dengan paradigma KUHP Baru yang lebih menekankan aspek keadilan substantif dan korektif.
Penutup
UU Narkotika dan KUHP Baru membawa dua paradigma berbeda yang harus diharmonisasikan untuk mencapai tujuan hukum yang komprehensif: melindungi masyarakat sekaligus memberantas jaringan kejahatan narkotika secara efektif.
Dengan memahami tujuan dan tantangan norma seperti Pasal 114, terlihat bahwa reformulasi unsur keuntungan menjadi langkah strategis agar penegakan hukum lebih proporsional, adil, dan konsisten dengan semangat Pasal 4 UU Narkotika.
Upaya pembaruan ini diharapkan mampu memperkuat sistem peradilan pidana Indonesia agar tidak hanya menciptakan efek jera, tetapi juga memulihkan dan melindungi masyarakat dari bahaya narkotika secara berkelanjutan.





