Adjudikasi Nabi yang Humanis

Pola yang muncul secara konsisten ialah keseimbangan antara ketegasan dalam menegakkan norma dan kelembutan dalam memperlakukan pelaku.
Ilustrasi persidangan. Foto : freepik.com
Ilustrasi persidangan. Foto : freepik.com

Salah satu riwayat yang paling sering dijadikan rujukan etik yudisial Islam adalah kisah seorang sahabat yang melakukan hubungan suami–istri pada siang Ramadhan, lalu datang mengaku kepada Nabi SAW. 

Riwayat tersebut termaktub dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī dan Ṣaḥīḥ Muslim (al-Bukhārī, 2024; Muslim, 2024), yang tidak hanya menjelaskan dasar kafarat jima’ di hari Ramadhan, tetapi juga menampilkan gaya adjudikasi Nabi yang tenang, proporsional, dan berorientasi pada penyelesaian masalah.

Alih-alih memberikan teguran yang keras, Nabi SAW terlebih dahulu menanyakan dengan nada tenang apakah pelaku mampu menunaikan salah satu bentuk kafarat—memerdekakan budak, berpuasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan enam puluh orang miskin. 

Setelah sahabat tersebut mengakui bahwa ia tidak sanggup memenuhi satupun dari ketentuan tersebut. Nabi tidak menambah beban kecaman, melainkan menyerahkan satu keranjang kurma dan bahkan memperkenankan agar kurma itu diberikan kepada keluarganya sendiri. Nyatanya sahabat itu adalah orang termiskin di kota Madinah kala itu.

Riwayat itu menyebutkan bahwa Nabi SAW tersenyum hingga tampak gigi serinya, sebuah ekspresi yang menunjukkan keluasan rahmah dan penerimaan atas kondisi objektif pelaku. 

Bagi praktik peradilan kini, teladan tersebut berbicara dengan sangat jelas: hakim bukan mimbar penghakiman moral. 

Safe Space Keadilan di Ruang Sidang

Dalam riwayat itu, sahabat datang dengan wajah cemas sambil berkata, "Halaktu, yā Rasūlallāh! (Celaka aku, wahai Rasulullah!)" Kalimat tersebut mengandung rasa takut, malu, dan penyesalan. 

Nabi tidak mengeraskan suara, tidak mempermalukan, tidak menegur dengan hinaan. Nabi memindahkan fokus dari rasa bersalah kepada langkah penyelesaian.

Dari perspektif psikologi hukum, pendekatan tersebut membentuk ruang interaksi yang aman (safe space) yang mendorong keterbukaan, kejujuran, dan partisipasi aktif para pihak dalam proses peradilan. 

Pola komunikasi demikian memiliki relevansi langsung bagi praktik persidangan, karena suasana yang dirasakan aman oleh para pihak akan meningkatkan kooperatifitas, memperlancar proses pemeriksaan, serta mengurangi potensi resistensi dalam tahapan penyampaian keterangan maupun pembuktian.

Model ini sejalan dengan teori therapeutic jurisprudence, yakni pendekatan yang memandang peradilan sebagai sarana pemulihan, bukan penambahan luka (Wexler, 1990). 

Hal itu juga bersesuaian dengan prinsip access to justice yang menjadi misi lembaga peradilan: pelayanan sederhana, cepat, dan biaya ringan, khususnya bagi kelompok rentan.

Dalam konteks sosiologis, mayoritas para pihak yang datang ke lembaga peradilan khususnya Peradilan Agama bukanlah lulusan hukum atau orang dengan literasi administratif memadai. Mereka datang dengan beban moral, tekanan sosial, dan ketidaktahuan prosedur. 

Di sinilah keteladanan Nabi menjadi pedoman penting: pengadilan harus aman secara emosional, bukan menakutkan.

Keteladanan Nabi dalam Menghadapi Pelanggaran dan Ketidaktahuan

Riwayat tentang sahabat yang melakukan hubungan suami–istri pada siang hari Ramadhan hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak narasi yang menggambarkan bagaimana Nabi SAW merespons pelanggaran dan ketidaktahuan umatnya. 

Pola yang muncul secara konsisten ialah keseimbangan antara ketegasan dalam menegakkan norma dan kelembutan dalam memperlakukan pelaku. 

Nabi tidak pernah menempatkan orang yang mengakui kesalahannya dalam posisi yang mempermalukan atau merendahkan martabatnya.

Dalam konteks kekinian, tidak sedikit pihak yang mengajukan permohonan dispensasi kawin karena kehamilan pranikah membawa beban psikologis berupa rasa malu dan kekhawatiran akan stigma. 

Teladan Nabi menunjukkan bahwa situasi seperti ini justru memerlukan pendekatan yang empatik, sehingga para pihak merasa aman untuk mengungkapkan fakta secara jujur. 

Dalam praktik persidangan, intonasi suara hakim, pola pertanyaan, serta pemilihan diksi memiliki pengaruh signifikan terhadap keberanian para pihak dalam memberikan keterangan yang benar.

Riwayat tentang seorang Badui yang buang air di masjid juga memuat pelajaran etik yang signifikan. Meskipun para sahabat menunjukkan kemarahan, Nabi SAW segera menghentikan mereka dan menangani pelanggaran tersebut dengan penjelasan yang tenang dan edukatif, tanpa nada merendahkan. 

Pola ini mencerminkan bahwa ketidaktahuan tidak diperlakukan sebagai cela moral, melainkan sebagai kondisi yang memerlukan bimbingan.

Dalam konteks peradilan kontemporer, banyak pihak yang datang ke lembaga peradilan tanpa pengetahuan hukum dasar. Mereka bisa keliru dalam mengajukan permohonan, salah menyebut istilah, atau memberikan jawaban yang tidak tepat karena gugup. 

Teladan profetik tersebut menjadi pengingat bahwa kekeliruan semacam ini tidak boleh diposisikan sebagai kesalahan etik atau moral. Hakim berkewajiban menjelaskan prosedur, tahapan persidangan, dan konsekuensi hukum dengan bahasa yang sederhana, dapat dipahami, dan tidak menimbulkan kesan menggurui ataupun merendahkan.

Martabat Manusia dan Kaidah Satr al-‘Ayb dalam Perkara Zina dan Aib Moral

Selain itu, praktik kenabian menunjukkan bahwa pemeliharaan martabat individu tetap menjadi prinsip utama sekalipun seseorang telah melakukan pelanggaran berat. Riwayat pengakuan Ma’iz atas perbuatan zina menggambarkan hal tersebut secara konkret. 

Dalam perkara tersebut, Nabi tidak serta-merta menegur, menghakimi, atau mempermalukan, melainkan memalingkan wajah berkali-kali, sebuah gestur subtil yang secara yuridis dapat dipahami sebagai opportunity to retract, yakni memberi ruang bagi pelaku untuk mempertimbangkan kembali pengakuannya (al-Nawawī, 2023; Ibn Ḥajar, 2023). 

Dalam diskursus hukum pidana Islam klasik, prinsip satr al-‘ayb berfungsi sebagai pedoman etik dalam menangani tuduhan perzinaan yang tidak memenuhi standar pembuktian syar‘i atau ketika pelakunya telah menunjukkan tanda-tanda pertobatan. 

Ibn Taymiyyah secara tegas menyatakan bahwa membuka aib tanpa kemaslahatan syar‘i yang jelas adalah perbuatan tercela, bahkan dapat menimbulkan kerusakan sosial yang lebih besar daripada kesalahan itu sendiri. 

Karena itu, menurutnya, menutupi aib dalam kondisi demikian selaras dengan tujuan kemaslahatan dan nilai rahmah yang menjadi dasar penegakan hukum (Ibn Taymiyyah, 2021).

Prinsip-prinsip tersebut memiliki keterkaitan yang sangat signifikan dalam praktik Peradilan Agama masa kini, terutama ketika menangani perkara-perkara dengan dimensi moral dan sosial yang tinggi. Di antaranya permohonan dispensasi kawin sebab kehamilan atau hubungan seksual di luar perkawinan, perkara perceraian, isbat nikah, maupun penetapan asal-usul anak yang melibatkan para pihak yang telah melakukan hubungan pranikah, serta berbagai jenis perkara lain yang menunjukkan pola faktual serupa. 

Dalam konteks demikian, hakim tidak dibenarkan menyampaikan komentar moral yang bersifat menghakimi, apalagi mempermalukan para pihak. Hal tersebut tidak hanya bertentangan dengan asas imparsialitas, tetapi juga dengan kewajiban menjaga suasana persidangan yang bermartabat.

Membaca Kerentanan Sosial Para Pihak dalam Adjudikasi

Sebagian besar pencari keadilan di Pengadilan Agama berada dalam posisi yang secara sosial-ekonomi tergolong rentan, berpendapatan rendah, berpendidikan terbatas, hidup dalam komunitas tradisional, serta memiliki akses informasi yang minim. 

Kekeliruan yang mereka lakukan kerap bukan bersumber dari niat buruk atau kecenderungan moral yang menyimpang, melainkan dari ketidaktahuan yang bersifat struktural. 

Teladan Nabi SAW mengajarkan bahwa kelompok dengan kerentanan semacam ini justru layak memperoleh pendekatan yang lebih empatik dan tidak represif.

Dalam praktik peradilan, hakim dituntut untuk membaca konteks sosial yang melatarbelakangi perilaku para pihak. 

Suara bergetar tidak selalu menunjukkan upaya manipulasi, tetapi dapat merupakan ekspresi ketakutan atau tekanan emosional. Jawaban yang tidak tersusun rapi bukan indikasi ketidakjujuran, melainkan refleksi dari keterbatasan pendidikan. 

Sebagaimana ditekankan Friedman, perilaku hukum para pihak tidak dapat dilepaskan dari faktor sosial, budaya, dan tingkat pendidikan yang membentuk legal culture mereka (Friedman, 1975). 

Oleh karena itu, hakim yang peka terhadap konteks sosial tersebut akan lebih proporsional dalam menilai konsistensi dan kelayakan keterangan para pihak.

Rahmah sebagai Metode Adjudikasi

Rahmah (judicial compassion) tidak dipahami sebagai kelembutan yang melemahkan kewibawaan peradilan, melainkan sebagai pendekatan adjudikatif yang berfungsi strategis untuk menjaga keseimbangan antara norma hukum dan realitas sosial para pencari keadilan. 

Dalam tradisi hukum Islam, rahmah bukan sekadar belas kasih, tetapi merupakan prinsip perlindungan, pemulihan, dan orientasi kemaslahatan yang menuntut hakim menunjukkan empati, kepekaan sosial, serta kemampuan menyesuaikan respons hukum dengan kondisi faktual para pihak. 

Melalui prinsip ini, hakim mampu memediasi ketegangan antara ketentuan normatif dan kebutuhan kemanusiaan para pihak berperkara.

Manifestasi praktis rahmah tercermin dalam penggunaan intonasi yang terkendali, pemilihan bahasa hukum yang sederhana dan mudah dipahami, pengajuan pertanyaan yang tidak merendahkan martabat pihak berperkara, serta penyampaian penjelasan yang memberi rasa aman dan menumbuhkan harapan.

Tegas pada Norma, Lembut pada Manusia

Teladan Nabi SAW menunjukkan bahwa hukum yang benar bukanlah hukum yang keras, tetapi hukum yang menghadirkan solusi tanpa melukai manusia. 

Bagi hakim Peradilan Agama, terutama ketika menghadapi mereka yang terlanjur bersalah, miskin, atau minim literasi, pelajaran ini sangat penting.

Tegas terhadap norma, tetapi lembut terhadap manusia; memulihkan tanpa mempermalukan; mengarahkan tanpa menghakimi. Inilah adjudikasi profetik, adjudikasi yang menyatukan akurasi hukum dan kematangan akhlak.

Dengan demikian, ruang sidang dapat berubah dari tempat yang menakutkan menjadi ruang penyelesaian yang memanusiakan. 

Para pihak merasa dibantu, bukan diadili secara personal. Pada akhirnya, hukum akan mengobati, bukan menghakimi, ia tidak hanya ditaati karena otoritasnya, tetapi juga dihormati karena kebijaksanaannya. Itulah teladan adjudikasi dari Nabi yang humanis.

Penulis: Rifqi Qowiyul Iman
Editor: Tim MariNews