Mengapa Kita Harus Bicara Lagi tentang "Tujuan Hukum"
Ketika seorang hakim memutus perkara sengketa tanah ulayat antara korporasi dan masyarakat adat, ia sejatinya berhadapan dengan dilema yang tidak mudah dipecahkan dengan formula Gustav Radbruch, yang selama puluhan tahun menjadi kiblat teoritik dunia hukum.
Keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, tiga pilar yang dikemukakan filsuf hukum Jerman itu, akan terasa rapuh ketika berhadapan dengan kompleksitas realitas sosial Indonesia yang majemuk. Hakim tersebut, tentu akan menyadari sertifikat hak milik yang sah secara formal tidak serta-merta menciptakan keadilan bagi komunitas, yang telah mengelola tanah itu selama berabad-abad berdasarkan hukum adat.
Fenomena ini bukan anomali, melainkan cerminan dari keterbatasan fundamental teori tujuan hukum Radbruch dalam menghadapi dinamika masyarakat kontemporer. Pertanyaannya bukan lagi apakah teori ini masih relevan, tetapi mengapa kita terus terjebak dalam kerangka berpikir, yang sudah tidak memadai menjawab tantangan zaman.
Radbruch, dalam Rechtsphilosophie (1932), membangun fondasi pemikiran hukum dengan asumsi bahwa keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan dapat berdiri sejajar dan saling melengkapi. Namun, apa yang terjadi ketika asumsi ini dihadapkan realitas hukum bukanlah entitas netral yang berada di ruang hampa kekuasaan? Apa yang terjadi saat menyadari bahwa keadilan dan kepastian, yang dimaksud Radbruch sebenarnya konstruksi sosial yang dibentuk oleh pemilik kuasa untuk mendefinisikan?
Ilusi Netralitas dalam Kepastian Hukum
Konsep kepastian hukum Radbruch, mengandaikan hukum dapat memberikan prediktabilitas dan konsistensi dalam penerapannya. Namun, gerakan Critical Legal Studies yang dimotori Duncan Kennedy dan Roberto Unger sejak dekade 1970-an, telah mendekonstruksi mitos ini dengan menunjukkan hukum tidak pernah netral. Setiap aturan hukum, adalah produk dari konfigurasi kekuasaan tertentu, dan setiap interpretasi hukum mencerminkan worldview, dari mereka yang memiliki otoritas untuk menafsirkan.
Dalam konteks Indonesia, kita dapat melihat bagaimana UU Cipta Kerja menciptakan isu kepastian hukum bagi investor, namun sekaligus mengikis kepastian hidup bagi pekerja dan lingkungan. Kepastian hukum bagi siapa? Pertanyaan ini, mengungkap stabilisasi kepentingan kelompok dominan melalui instrumen legal formal.
Mark Tushnet dalam Red, White, and Blue: A Critical Analysis of Constitutional Law (1988), menjelaskan, hukum berfungsi sebagai mekanisme legitimasi kekuasaan dengan menciptakan ilusi objektivitas. Ketika hakim mengatakan keputusannya didasarkan kepastian hukum, sosoknya sedang menyembunyikan pilihan politik yang terkandung dalam putusan tersebut. Kepastian hukum, dengan demikian, bukanlah nilai yang berdiri sendiri, melainkan topeng ideologis yang menutupi distribusi kekuasaan dan bisa saja timpang.
Keadilan sebagai Konstruksi Kultural
Radbruch mendefinisikan keadilan sebagai kesamaan perlakuan terhadap hal-hal yang sama dan ketidaksamaan perlakuan terhadap hal-hal yang berbeda. Definisi yang tampak universal, ternyata mengandung problem mendasar. Siapa yang menentukan hal yang sama dan berbeda? Standar kesamaan dan perbedaan itu sendiri, tidak dapat lepas dari konteks kultural dan struktur kekuasaan yang ada.
Teori Legal Pluralism yang dikembangkan Sally Engle Merry dan John Griffiths, menerangkan dalam satu wilayah geografis dapat berlaku beragam sistem normatif yang masing-masing memiliki konsepsi keadilan berbeda. Di Indonesia, konsepsi keadilan hukum adat Batak berbeda dengan Minangkabau, dan keduanya berbeda konsepsi keadilan dalam hukum positif, yang berbasis pada tradisi hukum kontinental Eropa.
Kasus-kasus penistaan agama yang melibatkan pembesar, memperlihatkan bagaimana tabrakan antara berbagai konsepsi keadilan ini, dapat menciptakan krisis legitimasi hukum.
Bagi sebagian masyarakat, vonis tersebut adalah penegakan keadilan berdasarkan nilai-nilai agama. Sebagian lainnya, vonis itu adalah ketidakadilan karena bertentangan dengan kebebasan berekspresi dan prinsip-prinsip hukum pidana modern. Mana yang benar?Keadilan yang mana yang harus diprioritaskan?
Boaventura de Sousa Santos dalam Toward a New Legal Common Sense (2002) menjelaskan bahwa keadilan tidak dapat dipahami sebagai konsep universal, yang dapat diterapkan secara seragam di berbagai konteks. Sebaliknya, keadilan adalah produk dari perjuangan sosial dan negosiasi kultural, yang terus-menerus berlangsung.
Upaya menyeragamkan keadilan melalui hukum formal, justru dapat menjadi bentuk kekerasan epistemik terhadap sistem-sistem pengetahuan lokal.
Kemanfaatan untuk Siapa ?
Pilar ketiga teori Radbruch, kemanfaatan, mengandaikan hukum harus memberikan manfaat bagi masyarakat. Namun, seperti halnya kepastian hukum dan keadilan, konsep kemanfaatan ini juga tidak netral. Kemanfaatan bagi siapa? Manfaat untuk kelompok mana?
Analisis ekonomi politik terhadap hukum, menunjukkan bahwa yang disebut sebagai kemanfaatan dalam hukum modern, seringkali identik efisiensi ekonomi yang menguntungkan kelas pemilik modal. Richard Posner dalam Economic Analysis of Law memang mengembangkan teori, bahwa hukum yang baik adalah hukum yang efisien secara ekonomi.
Namun, kritik dari gerakan Law and Economics, menunjukkan efisiensi ekonomi tidak selalu sejalan dengan keadilan distributif.
Dalam konteks Indonesia, regulasi Minerba yang memberikan kemudahan kepada perusahaan tambang dianggap berguna, dari perspektif pertumbuhan ekonomi, namun sekaligus merugikan masyarakat lokal yang kehilangan akses terhadap sumber daya alam dan mengalami kerusakan lingkungan. Kemanfaatan bagi pertumbuhan PDB, ternyata dapat berarti malapetaka bagi keberlanjutan ekologis dan keadilan sosial.
Menuju Hukum yang Kontekstual dan Emansipatoris
Antitesa terhadap teori Radbruch ini, bukan dimaksudkan menafikan pentingnya tatanan hukum, melainkan membuka ruang bagi pemahaman hukum yang lebih kontekstual dan emansipatoris. Daripada terjebak pencarian formula universal tentang tujuan hukum, kita perlu mengembangkan pendekatan yang mengakui kompleksitas dan kontestasi yang inheren dalam praktik hukum.
Pendekatan yang lebih produktif, adalah memahami hukum sebagai arena perjuangan sosial di mana berbagai kelompok masyarakat bernegosiasi untuk mendefinisikan makna keadilan, kepastian, dan kemanfaatan sesuai dengan konteks dan kebutuhan mereka. Ini tidak berarti relativisme total, melainkan pluralisme yang mengakui legitimasi berbagai sistem normatif sambil tetap mempertahankan komitmen terhadap nilai-nilai dasar kemanusiaan.
Santos menawarkan konsep ecology of knowledges, yang mengakui koeksistensi berbagai sistem pengetahuan hukum tanpa hierarki yang rigid. Dalam konteks Indonesia, berarti mengakui legitimasi hukum adat, hukum agama, dan hukum positif sebagai sistem-sistem yang dapat saling melengkapi daripada saling meniadakan.
Implikasi bagi Praktik Peradilan
Bagi para praktisi hukum, khususnya hakim, dekonstruksi terhadap teori Radbruch memiliki implikasi praktis yang signifikan. Pertama, hakim perlu mengembangkan kesadaran kritis terhadap asumsi-asumsi, yang terkandung dalam setiap keputusan hukum. Setiap putusan tidak hanya menerapkan aturan, tetapi juga memilih satu interpretasi keadilan di antara banyak kemungkinan interpretasi.
Kedua, hakim perlu mengembangkan sensitivitas terhadap konteks sosial dan kultural dari perkara yang ditanganinya. Ini tidak berarti mengabaikan aturan hukum, melainkan menafsirkan aturan tersebut, dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap berbagai kelompok masyarakat.
Ketiga, hakim perlu memahami bahwa legitimasi hukum tidak datang dari konsistensi formal semata, tetapi kemampuan hukum merespons kebutuhan keadilan yang berkembang dalam masyarakat. Ini menuntut keberanian, untuk melakukan terobosan hukum yang bertanggung jawab, ketika aturan yang ada terbukti tidak mampu menjawab tantangan zaman.
Penutup: Hukum sebagai Proses, Bukan Produk
Radbruch menulis teorinya dalam konteks masyarakat Jerman awal abad ke-20 yang relatif homogen. Teorinya mungkin memadai untuk konteks tersebut, namun tidak untuk masyarakat majemuk seperti Indonesia di abad ke-21. Yang kita butuhkan adalah pemahaman hukum yang dinamis, kontekstual, dan emansipatoris.
Hukum bukanlah produk jadi, yang dapat diaplikasikan secara mekanis, melainkan proses sosial yang terus berlangsung. Keadilan bukanlah konsep abstrak yang dapat didefinisikan sekali untuk selamanya, melainkan aspirasi kolektif yang terus berevolusi seiring dengan perkembangan masyarakat. Kepastian hukum bukanlah stabilitas kaku, melainkan prediktabilitas responsif terhadap perubahan sosial. Dan kemanfaatan bukanlah efisiensi yang mengabaikan keadilan distributif, melainkan manfaat yang dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.
Saatnya kita melampaui Radbruch, bukan untuk menolaknya secara total, melainkan mengembangkan pemahaman hukum yang lebih kaya dan kontekstual. Hukum yang tidak hanya mengatur, tetapi juga membebaskan. Hukum tidak hanya menciptakan kepastian, tetapi membuka kemungkinan. Hukum tidak hanya bermanfaat, tetapi juga adil. Inilah tantangan besar bagi dunia hukum Indonesia di masa depan.
Daftar Bacaan
- Boaventura de Sousa Santos, Toward a New Legal Common Sense: Law, Globalization, and Emancipation. London: Butterworths LexisNexis, 2002.
- Duncan Kennedy, A Critique of Adjudication. Cambridge: Harvard University Press, 1997.
- Griffiths, John. "What is Legal Pluralism?" Journal of Legal Pluralism 24 (1986): 1-55.
- Gustav Radbruch, Rechtsphilosophie. Leipzig: Quelle & Meyer, 1932.
- Mark. Tushnet Red, White, and Blue: A Critical Analysis of Constitutional Law. Cambridge: Harvard University Press, 1988.
- Richard A. Posner, Economic Analysis of Law. 9th ed. New York: Wolters Kluwer, 2014.
- Roberto Mangabeira Unger, The Critical Legal Studies Movement. Cambridge: Harvard University Press, 1986.
- Sally Engle Merry, "Legal Pluralism." Law & Society Review 22, no. 5 (1988): 869-896.