“So much being, so much seeming. Untruth belongs to the most primordial essence of truth as the hiddenness of being, i.e. to the inner possibility of truth.” – Martin Heidegger (The Essence of Truth: On Plato's Cave Allegory and Theaetetus).
Dalam mitologi Yunani, kebenaran (Aletheia), pengelabuan (Apate), dan tipu daya (Dolos) dikenal sebagai personifikasi moral atau daimones yang menggambarkan kekuatan etis dalam tatanan kosmis.
Menurut mitos, Aletheia sering disebut sebagai putri Zeus, raja para dewa, sedangkan Apate dan Dolos (putri dan putra dari dewi Nyx, penguasa malam) merupakan sosok yang merepresentasikan pengelabuan dan tipu daya.
Dalam beberapa sumber alegoris, Apate sering disebut sebagai sosok opositoris dari Aletheia, sedangkan Dolos digambarkan sebagai pembuat tiruan yang mencoba memelintir kebenaran.
Kelindan dari ketiganya merepresentasikan dialektika antara penyingkapan dan penyelubungan yang menjadi ciri utama mitos-mitos Yunani Klasik.
Nama Aletheia sendiri berakar dari kata lethe (pengabaian) dan dari prefiks negatif a-, yang berarti “ketersingkapan”. Dalam tradisi filsafat dan puisi Yunani, istilah ini kemudian berkembang menjadi simbol dari usaha manusia untuk menyingkap kenyataan dari balik tabir ketidaktahuan dan tipu daya (Hard, 2004).
Cerita mitik dan etik yang diwariskan turun temurun dari para pujangga ini berusaha memberikan sebuah pesan tentang betapa sulitnya menyingkap kebenaran.
Dalam gugus pemikiran filsuf Jerman Martin Heidegger, aletheia (atau Unverborgenheit dalam bahasa Jerman) lebih tepat disebut sebagai tindakan dan bukan keadaan.
Secara harfiah, konsep aletheia lebih tepat diterjemahkan sebagai ketersingkapan. Proses menyingkap, dalam cara berpikir Heidegger adalah sebuah proses aktif dan progresif: sebuah upaya yang tidak akan pernah utuh dan selesai. Gagasan Heidegger ini pada dasarnya mengkritik pemikiran Plato tentang ide kebenaran (veritas) yang tepat dan meyakinkan (orthotes dan homoiosis).
Bagi Heidegger, realitas bersifat licin dan selalu berusaha untuk mengelak (lanthanein). Sederhananya, kebenaran tidak akan pernah sepenuhnya kita raih dan genggam, karena selalu ada fragmen dari klaim manusia akan kebenaran yang sebenarnya keliru (Heidegger, 1988 [1927]).
Meminjam mitos Yunani tentang Aletheia, selalu ada Apate dan Dolos yang berusaha untuk mengelabui atau mencegah kita menemukan kebenaran sejati.
Barang Bukti sebagai Instrumen Legal untuk Menyingkapkan Kebenaran
Mendapatkan dan mengelola barang bukti bukanlah perkara sederhana dalam filsafat hukum bila kita kaitkan dengan konsep aletheia atau ketersingkapan.
Dari sisi episitemik, pakar hukum Jules Holroyd dan Federico Picinali melihat persoalan ini sebagai masalah integritas, yang mereka bagi ke dalam tiga poin besar: integrity as a standard of conduct (integritas sebagai pakem tata cara bertindak), integrity as a guide for institutional response (integritas sebagai panduan institusi dalam memberikan respons), dan integrity as integration (integritas sebagai integrasi) (Holroyd & Picinali, 2021:84).
Integritas sebagai pakem tata cara bertindak menuntut agar setiap aparat hukum berperilaku jujur, adil, dan sesuai prosedur, sebab penyimpangan sekecil apa pun dalam memperoleh bukti akan mencederai legitimasi moral negara.
Integritas sebagai panduan institusi menegaskan bahwa bila terjadi pelanggaran, lembaga hukum harus menunjukkan tanggung jawab moral dengan langkah korektif, seperti menolak atau mengecualikan barang bukti yang diperoleh secara tidak sah.
Sedangkan integritas sebagai integrasi menekankan pentingnya kesatuan etis dalam seluruh tahapan proses hukum, karena kewenangan negara untuk menghukum hanya sah apabila dijalankan dalam tatanan yang konsisten dengan prinsip-prinsip integritas.
Persoalan menyingkapkan kebenaran sebuah perkara lewat pemeriksaan alat bukti tidak dapat dilakukan tanpa dimensi etik.
Seturut gagasan Immanuel Kant, tujuan (ends) tidak boleh mengorbankan proses (means); sebuah pakem etika yang dikenal dengan istilah imperatif kategoris. Bagi Kant, tujuan yang etik tidak mungkin dicapai dengan cara yang tidak etis (Kant, 2015).
Dalam sebuah inspeksi mendadak ke kelab malam, misalnya, adalah sebuah pelanggaran prinsip integritas dan merupakan tindakan yang tidak etis bila aparat penegak hukum menjebak pengunjung dengan diam-diam memasukkan narkotika ke saku mereka. Alat bukti cacat semacam ini merusak legitimasi lembaga dan proses penegakan hukum.
Dari sisi etika, tindakan memalsukan alat bukti menegasi hakikat fungsi penegakan hukum, sebab prinsip etis yang diberikan Kant menegaskan bahwa setiap tahapan proses, dari penyelidikan hingga persidangan, harus sejalan dengan imperatif kategoris.
Filsuf hukum Ho Hock Lai menegaskan hal serupa: “one will have to struggle with the grave injustice of framing an innocent person, acting only if forced by overwhelming reasons and never just on a preponderance of utility” (Siapapun akan melakukan tindakan tidak adil akut bila memerangkap orang yang tidak bersalah, dan karenanya siapapun hanya boleh bertindak jika didasarkan atas alasan yang kuat, bukan semata-mata karena pertimbangan manfaat yang lebih menguntungkan) (Ho, 2008:193).
Pembuktian Aletheic dan Etik
Menghilangkan barang bukti secara filsafat moral pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan mendapatkan pengakuan lewat penyiksaan (torture).
Pakar kriminologi Kuo-hsing Hsieh mengatakan: “The police never have the authority to violate the law, only the incentive. The principal contribution of the confession exclusionary rule is simply to reduce that incentive. Despite official commitments to the prohibition against police torture, torture is a widespread practice in China” (Polisi tidak pernah memiliki kewenangan untuk melanggar hukum, melainkan hanya memiliki insentif untuk melakukannya. Kontribusi utama dari aturan pengecualian terhadap pengakuan semata-mata adalah untuk mengurangi insentif tersebut. Meskipun terdapat komitmen resmi terhadap larangan penyiksaan oleh aparat kepolisian, praktik penyiksaan masih meluas di Tiongkok) (Hsieh, 2014:117).
Selanjutnya Hsieh mencatat bahwa praktik seperti ini dilakukan dalam metode investigasi: “Nevertheless, in practice, for some police officers the use of illegal investigation methods, excessive force, psychological trickery and high-pressure tactics is accepted as a necessary evil in Chinese criminal investigations” (Namun demikian, dalam praktiknya, bagi sebagian aparat kepolisian, penggunaan metode penyelidikan yang melanggar hukum, kekerasan berlebihan, tipu daya psikologis, serta taktik tekanan tinggi dianggap sebagai kejahatan yang perlu dalam proses penyidikan pidana di Tiongkok) (Hsieh, 2014:118).
Praktik mendapatkan pengakuan secara cacat prosedural seperti yang diungkapkan oleh Hsieh bertolak belakang dengan prinsip aletheik (aletheic) yang diangkat oleh Heidegger. Marwah penegakan hukum untuk menyingkapkan kebenaran (a-lethe) justru dinegasi oleh praktik tersebut. Bahkan kelalaian dalam mengelola sampel darah dapat menjadi sangat genting, karena bisa menyebabkan kekeliruan fatal dalam putusan di pengadilan (Federal Judicial Center, 2000:512).
Di sini, fondasi aletheia dicederai oleh elemen apate dan dolos, dan risiko terbesarnya adalah hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap upaya penegakan hukum. Ini berpengaruh pada prinsip integritas ketiga yang dikatakan oleh Holroyd dan Picinali, integritas sebagai integrasi.
Proses penggerebekan oleh aparat yang hanya didasarkan pada intuisi atau probabilitas statistik pun tidak dapat dibenarkan, karena ada kemungkinan fabrikasi data (Derksen & Meijsing, 2009:58-60).
Sekali lagi, prinsip aletheia menuntut keteguhan dalam bertindak, karena kebenaran aletheik tidak pernah sederhana. Selalu ada lapisan demi lapisan data dan informasi yang perlu dicermati, digali, dan dikupas terus menerus.
Menyingkapkan dan Berusaha untuk Menemukan Kebenaran
Dalam kasus Dunaway v. New York, 442 U.S. 200 (1979), Irving Jerome Dunaway diduga melakukan perampokan dan percobaan pembunuhan di Rochester, New York, Amerika Serikat hanya karena polisi mendapatkan selentingan informasi dari seorang narapidana tentang keterlibatan Dunway. Tanpa bukti apapun, ia pun dibawa ke kantor polisi untuk diinterogasi.
Dari proses interogasi ini, polisi mendapatkan pengakuan tertulis yang menyatakan bahwa Dunway memang terlibat dalam aksi kejahatan yang dituduhkan kepadanya. Kasus ini kemudian sampai ke Mahkamah Agung yang memutuskan bahwa prosedur yang dilakukan oleh pihak kepolisian cacat dan melanggar Amandemen Keempat dari konstitusi di negara itu.
Mahkamah Agung juga menolak pengakuan yang diajukan oleh kepolisian karena bukti tersebut dianggap diperoleh secara ilegal (Justia Supreme Court Centre, 2025). Kasus ini juga dapat dijadikan preseden lanjutan tentang penghilangan alat bukti, yang meskipun terlihat berbeda, namun dampaknya masih berada di koridor pencederaan yang serupa.
Kebenaran hukum bukanlah hasil dari penemuan yang instan, melainkan buah dari proses panjang yang menuntut kejujuran, ketelitian, dan integritas.
Dalam setiap upaya menyingkap fakta, hukum dihadapkan pada ketegangan abadi antara aletheia dan kekuatan-kekuatan apate serta dolos yang berupaya menutupinya. Ketika prosedur dilanggar, bukti dimanipulasi, atau pengakuan dipaksakan, maka bukan hanya legitimasi hukum yang tercemar, tetapi juga makna etis dari kebenaran itu sendiri.
Karena itu, menegakkan hukum berarti menjaga kesetiaan terhadap proses penyingkapan yang jujur, sebuah tanggung jawab epistemik dan moral yang tidak boleh dikompromikan oleh alasan pragmatis.
Kebenaran hukum sejati selalu bersifat aletheik: ia menuntut keterbukaan, keberanian untuk menyingkap yang tersembunyi, dan keteguhan untuk mempertahankan integritas proses hukum agar tidak terseret ke dalam kabut manipulasi, distorsi, dan kepentingan yang menyesatkan.