Saat ini, arah pemidanaan dalam sistem hukum Indonesia telah bergeser dari yang awalnya menitikberatkan pada penghukuman bagi pelaku tindak pidana, menjadi pemaafan bagi pelaku tindak pidana melalui pendekatan keadilan restoratif (restorative justice).
Tujuan pemidanaan bukan sebagai upaya pembalasan terhadap perbuatan yang dilakukan pelaku, melainkan pemidanaan menjadi upaya terakhir dalam menyelesaikan persoalan (ultimum remedium).
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional), telah dikenal beberapa alternatif pemidanaan. Di antaranya, pada pidana pokok yang tercantum dalam Pasal 65, terdiri atas pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial.
Dari jenis-jenis pidana tersebut, terlihat adanya pergeseran pemidanaan yang tidak melulu pada perampasan kemerdekaan seseorang. Saat ini, pemidanaan lebih mengarah pada upaya perbaikan terhadap pelaku tindak pidana dengan cara yang lebih humanis. Dari jenis-jenis pidana pokok yang diatur dalam KUHP Nasional, terdapat beberapa alternatif pemidanaan yang mengadopsi konsep keadilan restoratif, di antaranya pidana pengawasan. Pidana tersebut serupa dengan pidana bersyarat yang diatur dalam Pasal 75 dan Pasal 76 KUHP Nasional.
Dalam penjelasan Pasal 75 KUHP Nasional, pidana pengawasan merupakan pembinaan di luar lembaga atau di luar penjara, yang serupa dengan pidana penjara bersyarat dalam Wetboek van Strafrecht. Pidana ini merupakan alternatif dari pidana penjara dan tidak ditujukan untuk tindak pidana yang berat sifatnya.
Selain itu, Mahkamah Agung dalam menyikapi perkembangan hukum terbaru yang banyak mengadopsi konsep keadilan restoratif juga telah mengeluarkan pedoman tentang mengadili perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif, sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perma Nomor 1 Tahun 2024).
Dalam aturan tersebut dijelaskan mengenai istilah keadilan restoratif, yakni pendekatan dalam penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan dengan melibatkan para pihak, baik korban, keluarga korban, terdakwa/anak, keluarga terdakwa/anak, dan/atau pihak lain yang terkait, dengan proses dan tujuan yang mengupayakan pemulihan, bukan hanya pembalasan.
Keadilan restoratif menitikberatkan pada kepentingan semua pihak, baik pelaku tindak pidana maupun korban tindak pidana, dengan tujuan pemulihan kepada keadaan semula.
Namun, jauh sebelum berlakunya Perma Nomor 1 Tahun 2024 tersebut, dalam perkara yang melibatkan anak, implementasi penyelesaian perkara dengan pendekatan keadilan restoratif telah lama diadopsi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), yang dicerminkan dengan adanya proses diversi dalam penyelesaian perkara anak.
Lebih lanjut, selain diversi, dalam pemberian sanksi pidana bagi anak, UU SPPA juga mengadopsi konsep keadilan restoratif. Misalnya, dalam hal anak belum berumur 12 (dua belas) tahun, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk menyerahkan kembali kepada orang tua, mengikutsertakan dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS (Pasal 21 UU SPPA).
Sedangkan untuk anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun, hanya dapat dikenakan tindakan (Pasal 69 UU SPPA). Lebih lanjut, apabila mengacu pada UU SPPA, sanksi pidana bagi anak diatur dalam Pasal 71, di antaranya:
- pidana peringatan;
- pidana dengan syarat, yang terdiri dari: pembinaan di luar lembaga; pelayanan masyarakat; pengawasan;
- pelatihan kerja;
- pembinaan dalam lembaga;
- penjara.
Dari berbagai jenis pidana tersebut, terlihat ada beberapa alternatif pemidanaan yang mengakomodasi kepentingan anak sebagai pelaku tindak pidana. Dalam aturan ini juga terlihat bahwa pidana penjara ditempatkan sebagai alternatif terakhir. Sehingga pendekatan keadilan restoratif dalam perkara anak dimungkinkan dalam penjatuhan pidana, dengan prinsip utama mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak.
Pidana Sebagai Syarat dalam Undang-Undangan SPPA Sebagai Salah Satu Bentuk Penerapan Pidana dengan Konsep Pendekakatan Keadilan Restoratif
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan salah satu terobosan bagi hukum tanah air. Dalam undang-undang ini, banyak nilai keadilan restoratif yang diadopsi dengan tujuan kepentingan terbaik bagi anak.
Dalam konsideransnya dapat terlihat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi latar belakang, pertimbangan, dan alasan mengapa undang-undang tersebut perlu dibuat.
Poin utama dalam konsiderans Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menyebutkan bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Oleh karena itu, untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan.
Lebih lanjut, pada poin 3 konsiderans, disebutkan bahwa Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), yang mengatur prinsip perlindungan hukum terhadap anak, mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
Anak berhadapan dengan hukum sendiri, dalam ketentuan umum Pasal 1 angka 2 UU SPPA, merupakan anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Dalam tulisan ini, Penulis menyoroti alternatif pidana bagi anak berkonflik dengan hukum dalam bentuk pidana dengan syarat.
Terkait bentuk pidana dengan syarat, dalam Pasal 73 UU SPPA disebutkan bahwa pidana dengan syarat dijatuhkan oleh Hakim dalam hal pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun. Kemudian dalam putusan pengadilan, mengenai pidana dengan syarat ditentukan syarat umum dan syarat khusus.
Syarat umum adalah anak tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa pidana dengan syarat. Sedangkan syarat khusus adalah melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan anak. Masa pidana dengan syarat khusus lebih lama daripada dengan syarat umum, dengan ketentuan pidana dengan syarat paling lama 3 (tiga) tahun.
Selama menjalani masa pidana dengan syarat, Penuntut Umum melakukan pengawasan, dan Pembimbing Kemasyarakatan melakukan pembimbingan agar anak menempati persyaratan yang telah ditetapkan.
Berdasarkan uraian Pasal 73 UU SPPA, setidaknya ada 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan jika Hakim akan menjatuhkan pidana dengan syarat, yakni:
- pidana dengan syarat dijatuhkan oleh Hakim dalam hal pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun;
- pidana dengan syarat tidak boleh dijatuhkan melebihi jangka waktu 3 (tiga) tahun, yang merupakan pidana percobaan;
- dalam pidana dengan syarat ada 2 (dua) syarat yang harus dipenuhi, yaitu syarat umum dan syarat khusus, dengan ketentuan bahwa masa pidana syarat khusus lebih lama dari syarat umum.
Lebih lanjut, ketentuan pelaksanaan pidana dengan syarat diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2022 tentang Bentuk dan Tata Cara Pelaksanaan Pidana dan Tindakan terhadap Anak (PP Nomor 58 Tahun 2022).
Pada aturan ini, pidana dengan syarat diatur dalam Paragraf 3 Pasal 8, yang isinya kurang lebih sama dengan Pasal 73 UU SPPA. Namun, dalam penjelasan Pasal 8 ayat (1) disebutkan bahwa pidana dengan syarat merupakan pidana yang harus dijalankan dalam masa percobaan selain syarat umum dan syarat khusus.
Artinya, dalam penjatuhan pidana dengan syarat harus ada syarat umum dan syarat khusus, dengan ketentuan bahwa keduanya merupakan hal di luar pidana dengan syarat itu sendiri. Hal ini sesuai dengan Pasal 71 UU SPPA, yang menyebutkan bahwa pidana dengan syarat terdiri dari beberapa bentuk, di antaranya: pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan.
Pidana dengan syarat dalam bentuk pembinaan di luar lembaga dapat berupa:
- mengikuti program pembimbingan dan penyuluhan yang dilakukan oleh pejabat pembina;
- mengikuti terapi di rumah sakit jiwa; atau
- mengikuti terapi akibat penyalahgunaan alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.
Bentuk kedua pidana dengan syarat adalah pelayanan masyarakat, yang dimaksudkan untuk mendidik anak dengan meningkatkan kepeduliannya pada kegiatan masyarakat yang positif. Pidana pelayanan masyarakat dijatuhkan paling singkat 7 (tujuh) jam dan paling lama 120 (seratus dua puluh) jam.
Dalam penjelasan Pasal 15 PP Nomor 58 Tahun 2022, pelayanan masyarakat sedapat mungkin disesuaikan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak serta bertujuan merehabilitasi anak, memberikan efek jera, dan menimbulkan rasa empati. Contohnya menemani lansia di panti jompo, melakukan tugas administrasi ringan di kelurahan/kecamatan, membersihkan rumah ibadah, atau mengajarkan keahlian yang bersifat positif kepada anak-anak lain.
Bentuk ketiga dari pidana dengan syarat adalah pidana pengawasan. Bentuk ini ditentukan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun. Dalam hal anak dijatuhi pidana pengawasan, anak ditempatkan di bawah pengawasan Penuntut Umum dan dibimbing oleh Pembimbing Kemasyarakatan di tempat tinggal anak.
Dari ketiga bentuk pidana dengan syarat tersebut, Hakim diperkenankan memilih bentuk pidana yang tepat dengan tetap mempertimbangkan kondisi anak dan asas kemanfaatannya. Namun, ketiganya memiliki kesamaan, yakni memberikan ruang bagi anak untuk tetap dapat beraktivitas normal sembari melakukan aktivitas yang bermanfaat bagi dirinya.
Penerapan Pidana dengan Syarat dalam Putusan Hakim
Penjatuhan pidana dengan syarat dalam putusan hakim saat mengadili perkara anak belakangan ini dirasa menjadi pilihan yang tepat. Jenis pidana ini memberikan ruang bagi anak untuk tetap berkegiatan secara normal, baik di sekolah maupun dalam kegiatan sosial, sembari menjalani pidana yang dijatuhkan Hakim.
Namun, dalam penulisan amar putusan, diperlukan keseragaman dalam menerjemahkan maksud Undang-Undang SPPA yang mengatur pidana dengan syarat sebagai pidana percobaan bagi anak. Hal ini perlu menjadi perhatian bersama mengenai bagaimana seharusnya implementasi pidana dengan syarat diterapkan dalam amar putusan Hakim.
Penutup
Pidana dengan syarat adalah alternatif pemidanaan yang cukup tepat bagi Hakim dalam menjatuhkan putusan perkara anak, karena tujuan pemidanaannya berpedoman pada konsep keadilan restoratif. Pidana ini lebih menitikberatkan pada perbaikan ke arah positif bagi anak dibandingkan menghukum dengan pidana penjara.
Namun, dalam penerapannya, Hakim belum memiliki keseragaman mengenai implementasi pidana dengan syarat sebagaimana diatur Pasal 73 UU SPPA terkait masa percobaan. Perbedaan tafsir ini masih terlihat dalam amar putusan Hakim.
Karena itu, diperlukan pengkajian bersama mengenai penerapan pidana dengan syarat dalam amar putusan Hakim, agar proses eksekusi yang dilakukan Penuntut Umum dapat berjalan baik, serta masyarakat dapat dengan mudah memahami maksud pidana tersebut.