Arti Putusan Tuntutan Penuntut Umum/Penuntutan Penuntut Umum Tidak Dapat Diterima

Idealnya Mahkamah Agung memformulasikan penerapan putusan penuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, dalam suatu surat edaran ataupun Pembaharuan Buku II sebagaimana kewenangan Mahkamah Agung.
Ilustrasi putusan hakim. Foto istockphoto.com
Ilustrasi putusan hakim. Foto istockphoto.com

Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP/periode Maret 2025), akan laksanakan dengan sistem peradilan pidana terpadu atas dasar prinsip diferensiasi fungsional, yang menekankan fungsi penyidikan Polri, penuntutan Jaksa, pengadilan pada hakim dan advokat yang memberikan jasa hukum dalam rangka mendudukan peristiwa pidana secara proporsional dan profesional, serta pembimbing kemasyarakatan yang melaksanakan fungsi pembinaan terhadap narapidana dan terpidana. 

Peradilan pidana yang dimulai dari proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan pada sidang pengadilan, tentunya semua proses bermuara pada akhir sebuah putusan hakim/putusan pengadilan.

Putusan hakim berdasarkan Pasal 1 Angka 11 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yakni pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan, bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. 

Sedangkan berdasarkan Pasal 1 Angka 15 RUU KUHAP, adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa putusan pemidanaan, putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum, atau putusan pemaafan hakim. 

Berdasarkan pengaturan tersebut, ada beberapa jenis putusan dan adanya sedikit perbedaan dalam RUU KUHAP. Perbedaannya berupa adanya putusan pemaafan hakim, di mana suatu hal baru dalam praktik peradilan pidana di Indonesia.

Pada 2 uraian peraturan di atas, menunjukkan adanya beberapa bentuk putusan dalam praktik peradilan pidana yakni antara lain, putusan pemidanaan, putusan bebas (vrijspraak), putusan lepas dari segala tuntutan (ontslag van alle rechtsvervolging), dan putusan pemaafan hakim. Pengaturan putusan tersebut dijabarkan sebagai berikut:

1. Putusan pemidanaan 

Menurut Pasal 193 ayat (1) KUHAP, bilamana pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Sedangkan Pasal 230 ayat (1) RUU KUHAP menjelaskan, bilamana hakim berpendapat dalam hasil pemeriksaan di sidang, tindak pidana yang didakwakan terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa dipidana.

2. Putusan bebas (Vrijspraak)

Pasal 191 ayat (1) KUHAP menjelaskan, jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.

Sedangkan dalam Pasal 230 ayat (2) RUU KUHAP, menerangkan jika hakim berpendapat bahwa hasil pemeriksaan di sidang, tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.

3. Putusan lepas dari segala tuntutan (ontslag van alle rechtsvervolging)

Adapun Pasal 191 ayat (2) KUHAP menguraikan, jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.

Adapun Pasal 230 ayat (3) RUU KUHAP menjelaskan, jika hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi ada dasar peniadaan pidana, terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.

4. Putusan pemaafan Hakim

Menurut Pasal 1 Angka (16) RUU KUHAP, pemaafan hakum adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang menyatakan terdakwa terbukti bersalah, tetapi karena ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana, serta yang terjadi kemudian, maka hakim tidak menjatuhkan pidana atau tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.

Dari pengaturan beberapa jenis putusan dalam praktik pidana di atas, hanya putusan pemaafan hakimlah yang menjadi hal baru dalam RUU KUHAP, akan tetapi praktiknya ditemukan beberapa putusan dengan amar yang sebelumnya belum diatur dalam KUHAP lama ataupun tidak muncul dalam RUU KUHAP yakni, putusan tuntutan penuntut umum dapat diterima/penuntutan penuntut umum tidak dapat diterima.

Namun apakah maksud dari amar putusan tersebut? Dan apakah putusan tersebut termasuk dalam putusan lepas dari segala tuntutan?

Arti Putusan dengan Amar Tuntutan Penuntut Umum/Penuntutan Penuntut Umum Tidak Dapat Diterima

Penulis dalam beberapa kesempatan membaca, mempelajari beberapa putusan dan mengalami sendiri perkara yang amar putusannya memuat tuntutan penuntut umum/penuntutan penuntut umum tidak dapat diterima. 

Sebelum mempelajari dan mengalami sendiri, tentunya timbul pertanyaan berkaitan dengan putusan tersebut, karena terkualifikasi putusan yang belum/tidak diatur dalam KUHAP ataupun RUU KUHAP periode Maret 2025.

Setelah mempelajari beberapa putusan yang dibaca dan dibuat, penulis mendapatkan sedikit pemahaman amar tersebut, di mana erat kaitannya dengan formalitas perkara dalam proses penuntutan oleh penuntut umum, sejak penuntut umum mendapatkan SPDP dari penyidik.

Penuntut umum dalam penyidikan dapat memberikan petunjuk, bilamana perkara  masih belum lengkap, sebagaimana Pasal 110 KUHAP dan Pasal 26 RUU KUHAP. Hal tersebut, berbeda dengan putusan lepas dari segala tuntutan, karena putusan lepas dari segala tuntutan memiliki arti Hakim meyakini perbuatan terdakwa terbukti, tetapi bukan merupakan suatu perbuatan pidana atau ada alasan peniadaan pidana (contoh pembelaan paksa), maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan.

Beberapa perkara yang telah penulis rangkum, karena memiliki amar putusan tuntutan penuntut umum/penuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, sebagai berikut:

1. Perkara dengan terdakwa tidak didampingi penasihat hukum

Dalam beberapa perkara yang sudah menjadi Yurisprudensi MA, apabila penyidikan maupun penuntutan tersangka/terdakwa tidak didampingi penasihat hukum, sehingga berkaitan dokumen administrasi seperti berita acara penyidikan batal demi hukum dan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima. (Putusan Nomor 1565 K/Pid1991, Putusan Nomor 367 K/Pid/1998, dan Putusan Nomor 545 K/Pid.Sus/2011).

2. Perkara terdakwa tidak ditahan dan kabur/tidak hadir di persidangan

Dalam perkara yang terdakwa tidak ditahan, akan tetapi saat persidangan penuntut umum tidak mampu menghadirkan Terdakwa di persidangan, tanpa alasan sah. Maka penulis mendapatkan beberapa putusan, yang menyatakan penuntutan tidak dapat diterima, antara lain Putusan PN Kayu Agung Nomor: 485/Pid.Sus/2013/PN.KAG dan Putusan penulis di PN Tolitoli Nomor Nomor 33/Pid.Sus/2025/PN Tli. Putusan tersebut, bersumber SEMA Nomor 1 Tahun 1981 tentang Terdakwa Dari Semula Tidak Dapat Dihadapkan Di Persidangan.

4. Perkara yang saksi korban (pengadu) tidak hadir dipersidangan tanpa alasan yang sah

Dalam perkara artis NM di PN Serang, dengan Putusan Nomor 853/Pid.Sus/2022/PN Srg, menyatakan, penuntutan tidak dapat diterima, dengan diiringi perintah kepada panitera mengembalikan berkas kepada penuntut umum, karena saksi korban (pengadu) tidak dapat dihadirkan di persidangan oleh penuntut umum.

5. Perkara pencemaran nama baik yang pelapornya bukan korban

Perkara lain yang pernah penulis alami sendiri, yakni Putusan Nomor 77/Pid.Sus/2020/PN Tli menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, yang dikuatkan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah dalam perkara Nomor 89/PID.SUS/2020/PT PAL dan kasasi dalam Putusan Nomor 35 K/Pid.Sus/2022.

6. Perkara ne bis in idem, perkara yang ada alasan pengecualian penuntutan pidana

Beberapa perkara lain yang penulis pernah pelajari dengan amar putusan penuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, antara lain perkara ne bis in idem dalam nomor perkara Nomor 490 K/Pid/2017, perkara yang memiliki alasan pengecualian penuntutan pidana dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1166 K/Pid.Sus/2016, yang mana hakim berpendapat terdakwa terbukti melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika, namun tidak dapat dituntut karena ada alasan pengecualian penuntutan pidana, sebagaimana Pasal 55 Ayat (2) jo Pasal 128 Ayat (3) UU Narkotika jo SEMA Nomor 4 Tahun 2010, sebagaimana diubah SEMA  Nomor 3 Tahun 2011.

Dari jabaran perkara-perkara tersebut, menunjukkan secara jelas putusan dengan amar tuntutan/penuntutan tidak dapat diterima, adalah suatu putusan yang berbeda dengan apa yang telah diatur dalam KUHAP atau RUU KUHAP. Amar putusan demikian, baru dikukuhkan dalam rumusan pleno kamar pidana, sesuai SEMA Nomor 2 Tahun 2019 yang menyatakan, dalam hal perkara pidana kadaluwarsa atau terdapat keadaan ne bis in idem, maka putusan hakim berbunyi penuntutan penuntut umum tidak dapat diterima. 

Meskipun perumusan amar tersebut, telah diatur dalam rapat pleno kamar, namun perumusan tersebut masih hanya terbatas pada keadaan daluwarsa dan ne bis in idem, sehingga dalam perkara lain beberapa hakim, masih menerapkan pendapat berbeda baik itu bunyi amar putusan yang masih ditulis antara tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau penuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, dan juga penerapan perintah kepada panitera untuk mengembalikan perkara atau tidak memerintahkan pengembalian perkara tersebut. 

Kekosongan pengaturan terhadap hal-hal tersebutlah, yang seharusnya dapat dirumuskan oleh pemerintah melalui RUU KUHAP atau Mahkamah Agung dalam rapat pleno kamar atau perubahan Buku II Mahkamah Agung, sehingga tidak terdapat perbedaan pendapat dalam mengadili perkara-perkara tersebut.

Kesimpulan

Setelah mempelajari dan mengalami sendiri beberapa putusan dengan amar putusan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima/penuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, ada beberapa alasan amar putusan tersebut muncul, namun yang erat kaitannya adalah formalitas perkara tidak terpenuhi, seperti bantuan hukum terhadap tersangka/terdakwa, delik aduan yang tidak dilaporkan oleh korban, hingga tidak hadirnya terdakwa ke persidangan. 

Penulis juga mendapati masih adanya perbedaan pendapat, diantara Hakim dalam penulisan amar putusan tersebut dan penerapan perintah pengembalian berkas masih, karena belum diatur baik dalam KUHAP maupun RUU KUHAP. 

Berkaitan kekosongan hukum tersebut, idealnya Mahkamah Agung memformulasikan penerapan putusan penuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, dalam suatu surat edaran ataupun Pembaharuan Buku II sebagaimana kewenangan Mahkamah Agung dalam fungsi mengatur, yang diamanatkan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.