Fenomena Teroris Yudisial (Judicial Terrorism)

Artikel ini ditulis bersamaan dengan adanya kabar duka, peristiwa tertembaknya Panitera PN Atambua (Marthen Benu) saat eksekusi) pada Jumat, 5 Desember 2025
Ilustrasi Judicial terrorism, Foto : Ilustrasi dibuat oleh AI
Ilustrasi Judicial terrorism, Foto : Ilustrasi dibuat oleh AI

“Teror sekecil apa pun terhadap Penegak Hukum adalah bayangan gelap bagi negara hukum.”

Memaknai Teroris Yudisial

Istilah Teroris Yudisial bukan istilah resmi dalam literatur Hukum Indonesia, begitu juga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tidak ditemukan.

Istilah tersebut hanya bersifat neologisme atau pemikiran/kritik kepada orang atau sekelompok orang yang berusaha mengancam, mengintimidasi atau menakut nakuti terhadap orang atau Lembaga yang melakukan kegiatan dibidang yudikatif (hukum) dengan tujuan untuk mempengaruhi putusan hakim.

Jadi Teroris Yudisial adalah metafora untuk semua bentuk tekanan, ancaman, dan intimidasi baik offline maupun di dunia digital yang sengaja diarahkan ke para hakim. 

Tujuannya cuma satu merusak ketenangan batin dan independensi mereka saat bekerja. 

Setiap kali hakim diancam, itu sama dengan mengancam marwah pengadilan dan prinsip kemandirian peradilan (judicial independence) yang merupakan pilar utama negara hukum kita, jadi harus kita jaga bersama.

Menurut Prof. Cesare P. Ripa .Ahli etika kehakiman internasional Italy, bahwa teroris yudisial (judicial terrorism) adalah serangan fisik, pembakaran rumah, ancaman pembunuhan, cyberbullying, hingga tekanan politik yang ekstrem yang tujuan akhirnya hanya satu membuat hakim takut untuk memutus dengan adil. 

Apa yang disampaikan Ripa itu kini benar-benar terasa getarannya di Indonesia. 

Beberapa hakim Indonesia mengalami ancaman nyata, yang bukan hanya mengusik keamanan pribadi, tetapi juga menguji keberanian peradilan. 

Sederet data teror yudisial yang pernah dialami oleh sang pengadil antara lain Hakim Sunarso yang tiba-tiba diserang pakai ikat pinggang pas lagi di ruang sidang PN Jakarta Pusat tahun 2019, selesai membaca putusan. 

Lalu, ada kasus yang lebih parah lagi Gusnahari, hakim Pengadilan Agama Batam, sampai jadi korban penusukan di bulan Maret 2025. 

Bahkan, ancaman itu pernah sampai ke level akan dibunuh, seperti yang dialami Hakim Yusran dari PA Jakarta Pusat tahun 2012. 

Dia diancam ditembak mati oleh orang yang mengaku dari pasukan elite militer setelah selesai memutus perkara. 

“Ini menunjukkan bahwa tugas kehakiman bukan sekadar profesi, melainkan pengabdian yang penuh risiko, termasuk risiko terhadap keselamatan pribadi.”

Setiap kali mereka ketuk palu. yang diduga berkaitan dengan tugas yudisialnya. 

Temaziduhu Harefa, Panitera Pengadilan Negeri Sibolga, dianiaya saat melaksanakan eksekusi pada (7/11). 

Panitera Pengadilan Negeri (PN) Atambua Marthen Benu menjadi korban terkena tembakan senapan angin pada bagian kepalanya dari pihak yang tidak bertanggung jawab saat melakukan eksekusi jumat (05/12/25) 

Semua itu bukan sekadar insiden terpisah. 

Data Komisi Yudisial tahun 2024-2025 mencatat, 31 kasus Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim (PMKH) angka yang menunjukkan, ancaman terhadap hakim bukan lagi bayangan, tetapi kenyataan pahit di lapangan.

Hakim Tipikor Paling Rentan Terkena Teror Yudisial

Menjadi hakim sangat berat tantangan dan resikonya, mereka sudah sering dihadapkan pada ancaman kekerasan yang membuat merinding, dan jelas betul, ini bisa membuat mereka tidak tenang dan tak bebas memutus perkara. 

Ancaman yang datang juga bukan hanya main-main; ada teror psikis yang membuat stres seperti diteror, diintimidasi, dikuntit, ditekan massa terorganisir, sampai keluarga mereka pun ikut diincar. 

Belum lagi ancaman fisiknya, yang parah mulai dari dianiaya, diserang, rumahnya dirusak, bahkan sampai ada upaya pembunuhan semua kejadian ini membuat pikiran hakim menjadi tidak tenang dan dihantui rasa takut saat bekerja, meskipun negara telah mempunyai aturannya dalam UU tentang Kekuasaan Kehakiman.

Namun, hingga sekarang, belum ada mekanisme perlindungan khusus yang jelas, seperti pengamanan pribadi yang melekat.

Pola Pola Teroris Yudisial Era Digital

Di era media sosial, teror terhadap hakim tidak selalu hadir dalam bentuk kekerasan fisik. 

Para pelaku kini bergerak lebih halus, lebih gelap, dan lebih sulit dilacak. Mereka tidak perlu melempar bom, cukup melemparkan narasi kebencian yang dirancang untuk mengguncang mental dan independensi hakim. 

Fenomena ini dikenal sebagai cyber judicial terrorism, bentuk baru teror yang menyasar psikologis dan reputasi sang pengadil. Di era digital, teroris yudisial tidak lagi membawa senjata,tetapi membawa narasi.

Mereka menyerang dari balik layar, menggoreng opini, menembakkan hoaks, dan menebar ketakutan melalui dunia maya. 

Inilah wajah baru ancaman terhadap hakim ancaman yang halus tapi menghunjam, dan merusak seperti Doxing tindakan menyebarkan data pribadi hakim alamat rumah, nomor telepon, foto keluarga,bahkan sekolah anak ke ruang publik. 

Tujuannya jelas membangun rasa takut. Ini serangan yang menusuk hati setiap hakim karena privasi keluarga ikut dipertaruhkan. 

Saat informasi pribadi tersebar, ancaman tidak lagi abstrak ia menjadi nyata dan dekat, Hoaks juga dapat dijadikan senjata paling murah tetapi paling mematikan.

Mereka membuat narasi seolah hakim menerima suap, hakim tidak adil, hakim berpihak kepada kelompok tertentu, atau hakim melanggar etik. Padahal semuanya rekayasa.

Hoaks dirancang untuk menggerogoti marwah peradilan, menekan psikologi hakim, dan memengaruhi opini publik sebelum putusan keluar. Padahal hakim tidak boleh diintervensi oleh riuh rendah publik.

Palu Hakim di Tengah Bisingnya Media Sosial

Kita sering lupa bahwa di balik jubah kebesaran dan palu sidang itu, seorang hakim adalah manusia biasa. 

Mereka mempunyai rasa takut dan mempunyai keluarga. Namun hari ini, ruang sidang yang seharusnya hening dan sakral, dipaksa gaduh oleh teriakan-teriakan dari layar ponsel. 

Hakim tidak lagi hanya menghadapi fakta hukum, tapi juga "Teror Digital" yang menyerang mental mereka. 

Berikut adalah tiga wajah teror tersebut yang kini terasa sangat manusiawi namun mengerikan yaitu Jebakan Framing Ketika Potongan Cerita Mengalahkan Fakta.

Bayangkan seorang hakim sedang berpikir keras di ruang sidang, tapi kemudian videonya dipotong hanya beberapa detik, diberi musik tegang, dan diberi takarir (caption) provokatif: "Lihat, hakim ini tidak adil!" 

Inilah framing. Sebuah seni memelintir fakta demi menggiring opini. Bukan serangan fisik, tapi serangan jiwa Hakim tidak dipukul, tapi integritasnya "dibunuh" pelan-pelan lewat opini publik yang dimanipulasi.

Efeknya hakim jadi merasa diawasi oleh jutaan mata yang siap menghujat, membuat mereka ragu untuk memutuskan apa yang benar karena takut diamuk massa online.

Ketika opini publik digiring untuk memojokkan hakim, ruang sidang kehilangan keheningan yang sacral suara hukum pun beresiko tenggelam dalam riuh sorak algoritma.

Di titik ini, judicial terrorism mengambil bentuk baru teror digital yang merusak independensi dan keberanian hakim melalui manipulasi persepsi.

Maka, tugas peradilan dan masyarakat adalah sama menjaga agar kebenaran tidak dibentuk oleh narasi viral, melainkan oleh hati yang jernih dan hukum yang hidup dalam keadilan.

Hantu Digital: Ancaman dari Kegelapan

Sebelumnya, teror mungkin berupa surat kaleng. Sekarang, teror itu datang dari notifikasi ponsel di tengah malam.

Pelaku tanpa wajah Mereka bersembunyi di balik akun anonim, VPN, dan foto profil telur.

Pesan yang mencekam mulai dari kalimat halus seperti "Hati-hati ya Pak Hakim..." hingga kiriman foto rumah pribadi sang hakim.

Dampak psikologis rasa aman terganggu sekarang menjadi hakim itu membuat was-was. 

Tidak hanya soal kasus di pengadilan, tapi sampai ke urusan tidur malam.

Jadi, para hakim ini sudah tak bisa lagi tidur nyenyak, plus konsentrasi mereka hancur lebur. Kenapa?

Karena mereka terus memikirkan keselamatan diri dan keluarga. Ancaman buat mereka itu sudah tidak dulu lagi yang cuma datang secara fisik (misalnya diteror di jalan atau di rumah).

Sekarang, yang membuat ngeri itu serangan psikis mental mereka yang diincar. Dan yang menjadi medan perangnya?

Ruang digital, alias media sosial, chat, atau internet. Intinya, digital itu sekarang telah menjadi lapangan teror baru buat mereka.

Massive Hate Speech: Menggoreng Nama Hakim untuk Menekan Putusan

Pernahkah kita membayangkan rasanya bangun tidur dan menemukan ribuan notifikasi berisi caci maki? 

Inilah yang disebut "menggoreng" nama baik. 

Ilusi kemarahan seringkali serangan ini digerakkan oleh bot atau kelompok terorganisir untuk menciptakan kesan seolah-olah seluruh Indonesia marah pada sang hakim. 

Tujuannya membuat hakim merasa sendirian, kecil, dan terisolasi.

Ketika mentalnya jatuh ("down"), diharapkan putusannya akan berubah mengikuti kemauan massa, bukan kemauan hukum.

Sebagai masyarakat, tugas kita sederhana namun berat menjadi filter, bukan corong. 

Jangan biarkan jempol kita ikut menjadi bagian dari teror ini. 

Kita harus sadar bahwa keadilan sejati tidak ditentukan oleh seberapa banyak like atau share di media sosial, melainkan oleh hati nurani yang jernih di ruang sidang yang tenang.

Mari kembalikan hening itu, agar hakim bisa mendengar suara keadilan dengan jelas.

Penutup

Dalam tulisan ini penulis ingin menyampaikan kepada pelaksana yudisial khususnya para hakim bahwa pentingnya kewaspadaan dalam menjalankan tugas yudisialnya untuk tetap tegas dan menjaga integritasnya meskipun ada anancana atau terror apalagi diera digital ini, teroris yudisial tidak lagi membawa senjata, tetapi membawa narasi. 

Mereka menyerang dari balik layar, menggoreng opini, menembakkan hoaks, dan menebar ketakutan melalui dunia maya. 

Inilah wajah baru ancaman terhadap hakim, ancaman yang halus tapi menghunjam, sunyi tapi merusak.

Sumber

Alben C. Lentey, “Perlindungan terhadap Hakim…,” Lex Crimen 4, no. 8 (2015): 14.
KBBI Daring. (2024). Entri “teroris” dan “yudisial”..
UUN /48 /2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Komisi Yudisial RI, LT PMKH 2024/2025.
Prof. Cesare P. Ripa, pandangan tentang judicial terrorism (dikutip dalam berbagai kajian etika kehakiman internasional).
Tim Dandapala (5 desember 2025) Breaking News Panitera PN Atambua terkena tembakan senapan angin saat eksekusi.
Data kasus kekerasan terhadap hakim dan peristiwa ancaman yudisial (berdasarkan pemberitaan dan catatan resmi institusi peradilan).

Penulis: Aman
Editor: Tim MariNews