Di era digital seperti sekarang ini, tidak jarang sebuah putusan pengadilan menuai kontroversi di tengah masyarakat. Media sosial sering menjadi ajang 'pengadilan rakyat', di mana publik dengan cepat membentuk opini, bahkan sebelum mengetahui keseluruhan fakta dan dasar hukum dari sebuah perkara. Lantas, ketika sebuah putusan dianggap tidak adil oleh masyarakat, apakah itu berarti hakim salah? Tidak selalu demikian.
Hakim dalam memutus perkara terikat pada fakta yang terungkap di persidangan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Namun, keadilan dalam hukum tidak selalu identik dengan perasaan publik.
Apa yang dirasa 'adil' oleh sebagian orang belum tentu sesuai dengan hukum positif.
Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif tertinggi memiliki peran penting dalam menjaga independensi hakim. MA telah mengatur pedoman etik dan kode perilaku hakim, serta memberi ruang bagi pengawasan internal agar putusan tidak menyimpang dari nilai keadilan hukum. Namun, penting juga dipahami bahwa hakim tidak boleh terpengaruh oleh tekanan publik, apalagi jika itu bertentangan dengan hukum yang berlaku.
Pendidikan publik menjadi kunci. Masyarakat perlu diedukasi bahwa keadilan tidak selalu datang dalam bentuk yang diharapkan secara emosional. Transparansi pengadilan melalui publikasi putusan dan sidang terbuka adalah langkah penting untuk menjembatani pemahaman ini.
Harapannya, dengan kolaborasi yang kuat antara pengadilan, media, dan masyarakat, kita bisa membangun ekosistem hukum yang lebih sehat-di mana hakim tetap dapat bekerja secara independen, dan masyarakat memahami bahwa keadilan adalah hasil proses, bukan sekadar viralitas.