Dalam dunia yang penuh ketegangan, antara kepastian hukum dan rasa keadilan, imajinasi spiritual jadi jalan alternatif, menyelami kedalaman makna hukum. Seperti doa yang lahir dari hati yang tulus, hukum idealnya tumbuh berdasarkan kesadaran batin untuk menjaga kebaikan, bukan sekadar melaksanakan aturan formal belaka.
Doa adalah ekspresi jiwa paling jujur, melampaui bahasa dan menembus langit dengan ketulusan. Demikian pula hukum, bilamana dimaknai, bukan sekadar instrumen, melainkan pancaran batin yang merindukan tatanan hidup lebih baik, maka hukum akan menjadi sarana pengabdian, bukan dominasi.
Dalam pandangan ini, menegakkan hukum bukan hanya soal prosedur, tetapi juga pengabdian spiritual. Setiap keputusan mencerminkan kondisi batin yang jernih, bening, dan sadar akan tanggung jawab, sebagai bagian dari keutuhan ciptaan.
Saat hakim memutus perkara dengan mempertimbangkan nurani dan rasa keadilan yang hidup, keputusan menjadi doa yang hidup. Wujudnya tidak hanya menyelesaikan konflik, tetapi merawat martabat manusia yang terluka.
Hukum berdimensi doa, dapat dilihat dalam putusan-putusan yang melampaui teks hukum demi menyelamatkan korban kekerasan atau pihak-pihak yang secara struktural lemah. Di situlah hukum tidak lagi dingin, tetapi menghangatkan. Hukum tidak hanya mengadili, tetapi juga menyembuhkan.
Imajinasi spiritual menuntut penegak hukum, senantiasa hadir secara utuh dan tidak hanya melalui logika, tetapi dengan jiwa. Setiap langkah, kata, dan putusan, adalah bagian dari liturgi keadilan yang sakral.
Ketika hukum kehilangan spiritualitasnya, maka mudah dikendalikan oleh hasrat duniawi seperti kekuasaan, uang, dan ego. Hukum yang tidak dinaungi doa, jadi kering, kasar, dan mematikan rasa kemanusiaan.
Memaknai hukum sebagai doa, artinya mengembalikan hukum ke fitrahnya, yakni sebagai penjaga kehidupan, bukan penghancur harapan. Sebagai penjaga kebenaran, bukan pelayan kekuasaan. Sebagai jalan kasih, bukan senjata balas dendam.
Dalam keheningan malam, doa-doa terucap tanpa sorotan kamera dan gemuruh tepuk tangan. Demikian pula banyak putusan adil, lahir dalam ruang yang sepi, tetapi menyebar bagai cahaya yang menyentuh banyak kehidupan. Di situlah hukum sebagai doa, meski tidak terdengar, namun terasa.
Masyarakat sadar dimensi spiritual hukum, menghormati lembaga peradilan sebagai rumah kebijaksanaan. Mereka tidak melihat hukum sebagai ancaman, melainkan tempat perlindungan, sebagaimana merasa aman dalam pelukan doa.
Hukum yang bernapas dengan doa, tidak hanya berbicara benar dan salah, tetapi juga tentang maaf, pengampunan, dan pertobatan. Wujudnya memberi ruang bagi perubahan, dan tidak membekukan manusia dalam kesalahan masa lalu.
Di tengah derasnya arus modernitas, yang menggiring teknokrasi kaku, imajinasi spiritual menjadi kompas yang menyelamatkan arah. Ia tidak menolak kemajuan, tetapi memastikan kemajuan tidak mengorbankan kemanusiaan.
Setiap lembar hukum, bilamana disertai ketulusan jiwa, akan jadi naskah pengabdian kepada Sang Pencipta. Wujudnya bukan sekadar teks, melainkan ayat kehidupan yang menyejukkan dan mengangkat derajat manusia.
Penegakan hukum yang digerakkan semangat doa, tidak akan pernah menyisakan dendam. Bentuknya meninggalkan kedamaian, menyalakan harapan, dan menyatukan yang tercerai. Dikarenakan dalam doa, tidak ada kemenangan egois, yang ada hanyalah kerelaan untuk menghadirkan kebaikan.
Dengan demikian, hukum yang ideal tidak hanya berbicara dalam pasal-pasal, tetapi juga batin yang jernih. Hukum sebagai doa, harapan bahwa di tengah kerasnya dunia, masih ada ruang untuk kebijaksanaan dan belas kasih. Hukum dimaksud, bukan sekadar aturan, namun perwujudan cinta yang paling tinggi pada kehidupan.