Filsafat Hukum Islam: Mencari Titik Temu antara Syariah dan Negara

Syariah tidak perlu dipaksakan sebagai sistem negara secara formal, selama nilai-nilainya dapat diwujudkan melalui regulasi yang adil dan akomodatif.
Ilustrasi hukum agama. Foto dokumentasi pa-surabaya.go.id/
Ilustrasi hukum agama. Foto dokumentasi pa-surabaya.go.id/

Ketika hukum negara berjalan sendiri dan hukum syariah hidup di ruang privat, pertanyaan besar muncul, mungkinkah keduanya berjalan bersama? Dalam peradaban modern yang majemuk dan demokratis, harmoni antara syariah serta negara bukan hanya mungkin, tetapi sangat dibutuhkan. Filsafat hukum Islam, hadir menjadi jembatan intelektual dan spiritual untuk menemukan titik temu tersebut.

Filsafat hukum Islam bukan semata kumpulan kaidah normatif, tetapi ikhtiar mendalam guna memahami kehendak Ilahi, yang membimbing kehidupan manusia. Dalam filsafat ini, hukum bukanlah beban, tetapi rahmat. Wujudnya bukan alat dominasi, melainkan sarana menciptakan keadilan, ketertiban, dan kebahagiaan. Prinsip-prinsipnya bersifat universal dan terbuka untuk kontekstualisasi.

Syariah memuat tujuan-tujuan luhur, yang dikenal sebagai maqāṣid al-syarī‘ah melingkupi dan menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, serta harta. Prinsip ini, menegaskan esensi syariah bersifat humanistik dan inklusif. Maka penerapan syariah, tidak harus identik dengan simbol-simbol formal, tetapi upaya wujudkan nilai yang menjamin kemaslahatan manusia.

Dalam konteks kenegaraan, tantangan muncul saat syariah dianggap bertentangan dengan sistem hukum positif. Padahal ditelaah lebih dalam, banyak prinsip syariah justru sejalan dengan nilai-nilai konstitusi dan hak asasi manusia. Prinsip keadilan, kesetaraan, dan perlindungan yang lemah, merupakan benang merah antara syariah dan hukum negara.

Contoh menarik terlihat dalam pengaturan peradilan agama. Di sejumlah negara, termasuk Indonesia, peradilan agama jadi ruang artikulasi hukum Islam yang selaras dengan sistem negara. Perkara seperti pernikahan, perceraian, warisan, wakaf, serta ekonomi diselesaikan dalam kerangka syariah, namun tetap berada dalam kontrol konstitusional. Hal tersebut, menunjukkan integrasi keduanya bukan utopia, tetapi realitas yang dapat dibangun dengan niat baik dan pendekatan bijak.

Filsafat hukum Islam, ajarkan hukum harus terus bergerak dinamis. Ijtihad menjadi instrumen utama dalam merespons perubahan zaman. Maka, penerapan syariah dalam negara modern, tidak cukup hanya merujuk teks agama, tetapi wajib menggali hikmah relevan dengan tantangan kekinian. Di sinilah letak keunggulan filsafat hukum Islam, fleksibel, rasional, dan tetap bersandar nilai transenden.

Hukum negara yang adil, bisa jadi mitra syariah, bukan lawannya. Negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan dan kemaslahatan, sebagai wadah ideal bagi pelaksanaan syariah yang lebih substansial, bukan sekadar simbolik. Syariah tidak perlu dipaksakan sebagai sistem negara secara formal, selama nilai-nilainya dapat diwujudkan melalui regulasi yang adil dan akomodatif.

Filsafat hukum Islam mengedepankan prinsip musyawarah, keadilan sosial, dan tanggung jawab kolektif. Nilai-nilai dimaksud, sangat kompatibel dengan sistem demokrasi modern. Dengan pendekatan ini, hukum Islam tidak berdiri sebagai kekuatan eksklusif, tetapi rahmat bagi seluruh umat manusia.

Tantangan tetap ada, terutama saat terjadi tarik-menarik antara kepentingan politik, interpretasi konservatif, dan ketakutan terhadap formalisasi agama. Namun melalui pendekatan filsafat hukum, perdebatan dapat diposisikan secara konstruktif. Fokus bukan pada bentuk, melainkan esensi, yakni apakah hukum tersebut membawa kebaikan dan menjunjung martabat manusia?

Penerapan hukum Islam yang ideal, bukan memaksakan, melainkan instrumen menyadarkan. Bukan menakutkan, tetapi mencerdaskan dan menyejukkan. Inilah syariah yang hidup dalam kerangka negara modern, membumi di masyarakat, namun bersandar nilai-nilai ilahi.

Integrasi antara syariah dan negara, tidak memerlukan penyeragaman, melainkan kesediaan untuk berdialog dalam ruang publik yang sehat. Dalam masyarakat plural, pengakuan hukum agama bukan disintegrasi, tetapi penghormatan identitas dan keyakinan yang sah. Negara justru kuat, ketika mampu mengakomodasi keragaman tersebut, secara adil dan bijaksana.

Filsafat hukum Islam, mengajarkan keadilan adalah tujuan akhir dari seluruh proses hukum. Baik syariah atau hukum negara, memiliki tanggung jawab sama, yakni memastikan yang lemah tidak tertindas, salah dibimbing, dan benar ditegakkan. Keadilan menyentuh hati, bukan sekadar menjangkau akal.

Dengan demikian, menemukan titik temu antara syariah dan negara bukan soal kompromi prinsip, tetapi menjembatani nilai. Syariah tidak kehilangan kesuciannya ketika berdampingan dengan hukum negara, justru substansi kebaikannya tetap hidup dan memberi manfaat. Negara tidak melemah karena mengakomodasi hukum agama, selama tetap berpihak pada keadilan dan kemanusiaan.

Inilah misi besar filsafat hukum Islam hari ini, yakni membangun jembatan antara langit dan bumi, wahyu dan realitas, nilai dan sistem. Sebuah misi yang tidak hanya mungkin, tetapi juga mulia. Sebab di sanalah hukum menemukan wajah sejatinya, yakni rahmatan lil ‘ālamīn.

Penulis: M. Khusnul Khuluq
Editor: Tim MariNews