“A field is a network, or a configuration, of objective relations between positions.”
Pierre Bourdieu’s (The Logic of Practice).
Setiap negara di dunia umumnya punya tiga fragmen sejarah yang mengasah perkembangan hukumnya tahap demi tahap. Di bagian pertama, adat yang menjadi elemen fundamental yang mengatur hubungan vertikal dan horizontal. Selanjutnya, agama-agama besar (seperti Islam, Kristen, Buddha, Hindu) menjadi aspek formatif berikutnya.
Di Eropa Barat, misalnya, kita bisa melihat Swedia awal mulanya dibangun dengan mitologi Nordik (agama asli yang beriringan dengan adat) untuk selanjutnya diestafetkan oleh Kristianitas. Baik hukum adat nordik maupun hukum Kristen pelan-pelan saling beririsan menciptakan gabungan atau benturan. Di tahapan ketiga, ada hukum modern, yang umumnya berbasis filsafat Barat, yang berkarakter sekular. Persoalan religius dan etnik biasanya bergerak dari res publica (ruang publik) ke res privata (ruang-ruang pribadi).
Sosiolog Max Weber dan Pierre Bourdieu punya pendekatan yang berbeda. Masyarakat yang terbentuk, bagi Weber, akan mengalami pengentalan nilai (value spheres). Pejalan-pejalan ini akan menjadi kutub-kutub yang bisa terpisah, namun juga dapat berbenturan (Weber, 1922).
Bila kita mempergunakan analogi sekelompok orang di sebuah gedung di dalam satu pesta, maka setelah proses interaksi kentalan semacam ini dapat dilihat. Sebaliknya, Bourdieu berpendapat, masyarakat sebenarnya tak berbeda dengan untaian medan (field) yang saling berinteraksi dan bahkan tumpang tindih (Bourdieu, 1990).
Bila Weber berpendapat kelompok-kelompok nilai bersifat otonom, maka bagi, Bourdieu medan-medan sosial sifatnya semiotonomi. Kembali ke contoh sosialisasi di pesta, pengelompokan pengunjung sifatnya tidak permanen, ada saja undangan yang bergerak ke kubu-kubu yang berbeda.
Dimensi-Dimensi Konstruksi Validitas
Boleh jadi sebenarnya Weber dan Bourdieu berbicara tentang fenomena yang sama dengan sudut pandang yang berbeda. Dalam mobilitas tinggi, gambaran yang diajukan Bourdieu lebih tepat. Sebaliknya, mobilitas rendah akan membuat pejalan-pejalan (spheres) ala Weber menjadi statis yang lembam (inert).
Dalam filsafat hukum, ini berarti hukum bisa saja mengental di titik-titik nodular modern, agama, atau adat; sebaliknya, interaksi ketiganya bisa bersifat cair-beririsan dan bertumpang-tindih. Pakar hukum Jerman Werner Gebhardt (2013) mengajukan sebuah model yang diberi nama Geltungskulpturen atau “konstruksi validitas”.
Sederhananya, bangunan teoretik ini tak ubahnya sebuah studio patung saat dua atau lebih pematung berada dan bekerja di ruangan yang sama. Pematung A dan B, misalnya, memiliki kata sepakat di satu sisi, namun kata negasi di sisi lain. Karya yang mereka kerjakan pun saling dipengaruhi: A meniru B atau A berusaha menolak cara berkarya B, dan sebaliknya.
Dalam konstruksi validitas, akan selalu ada dua atau lebih versi berbeda yang saling mempengaruhi atau menjauhi (negasi). Dalam hubungannya dengan hukum, akan ada konstruksi bentuk hukum adat, agama, dan modern yang harus tercipta di ruang publik yang sama sebagai konsekuensi dari pilihan bangsa ini sebagai negara demokratis.
Dinamika ketiganya terjadi karena ada empat dimensi: simbolik, normatif, ritual, dan organisasional (Koenig, 2023). Sebagai ilustrasi, mari kita amati fenomenon mudik yang terjadi saat Hari Raya Idulfitri di Indonesia. Pertama, ada berbagai simbol yang hadir bersamaan: simbol agama (yang ada di masjid) dan budaya (misalnya dalam bentuk ketupat). Kedua, ada aturan tidak tertulis yang terkait dengan prosesi sungkem pada orang tua dan saling mengunjungi kerabat.
Ketiga, ada elemen kekeluargaan yang harus muncul dalam perayaan. Contohnya dapat kita lihat dari keluarga besar yang makan atau pergi ke tempat wisata bersama-sama. Terakhir, dimensi organisasional, ada aspek manajerial yang harus diterima dalam kaitannya dengan siapa yang memasak, membawa hidangan, mengatur tata letak ruang.
Jumlah pemudik di Indonesia yang mencapai 146,48 juta orang (lebih dari setengah penduduk negara) menunjukkan pentingnya hari raya ini sebagai bagian instrumen normatif yang mengatur kehidupan orang Indonesia (Antara, 10 Maret 2025). Keempat elemen ini bukan hanya ada di dalam agama dan budaya (adat-istiadat), tetapi juga ada di dalam hukum modern. Kembali ke ilustrasi, perayaan Idulfitri menjadi kalender nasional dan negara memberikan aturan pada perusahaan, misalnya, untuk memberi hari libur bagi karyawan mereka.
Leburan serta Pejalan Kutub dan Medan Sosial
Hukum, agama, dan adat berperan sebagai analogi fungsi (functional analogues), yang secara kelembagaan jelas berbeda tetapi menjalankan fungsi yang mirip. Yang pertama adalah sebagai instrumen integrasi dan kohesi sosial. Dalam masyarakat homogen, peran agama dan adat cukup dominan.
Sebaliknya, saat negara bersifat heterogen, peran hukum modern masuk menggantikan atau setidaknya menjadi lebih dominan dari sebelumnya. Kedua, fungsi identitas diberikan baik oleh hukum, agama, dan adat. Homogenitas memberi ruang pada kepercayaan atau etnisitas yang sifatnya personal atau biologis. Sebaliknya, heterogenitas memberi ruang bagi label kewarganegaraan dalam skala nasional (Durkheim, 1912).
Fungsi yang ketiga adalah tentang makna dan peran. Dalam adat atau agama, manusia dimaknai secara kosmik (dalam relasi dengan lingkungan) dan spiritual (dalam hubungan dengan pencipta). Hukum modern sebagai bagian dari ilmu normologis tidak sampai pada penemuan makna diri yang mendalam (Weber, 1917).
Namun demikian, status subjek hukum (legal personhood) hanya dapat dihadirkan oleh negara. Fungsi yang keempat adalah komunikasi dan mediasi. Penyelesaian konflik, sengketa, atau tindak kejahatan pada awalnya diselesaikan secara adat dengan penekanan pada keadilan restoratif, kemudian bergerak ke karakter retributif dalam agama dan hukum modern. Dalam adat ada yang boleh dan pantang, dalam agama ada yang sakral dan profan, sedangkan hukum secara positivistik menarik garis tegas antara yang legal dan ilegal. Sejalan dengan teori sistem Niklas Luhmann, selalu ada kode komunikasi (communication code) yang dipertukarkan dalam interaksi sosial (Luhmann, 1995).
Seiring dengan peran negara yang semakin hegemonik (berpengaruh), adat dan agama di mayoritas negara maju masuk dalam fase “tersapih” (Entzauberung-disenchantment) (Weber, 2017). Sosiolog Peter Berger lebih lanjut mengatakan bahwa aspek kekuasaan (power) perlahan tetapi pasti bergerak ke domain hukum modern sebagai instrumen sah (legitimate) dalam sebuah negara yang diselenggarakan oleh rakyat (res publica), sedangkan agama, dan juga adat, beralih ke wilayah privat sebagai spektrum keyakinan personal (Berger, 1967).
Negara-negara seperti Amerika Serikat (AS) dan Inggris bergerak cukup jauh. Seturut Amandemen Pertama (First Amandement), Amerika memilih bersikap netral dan tidak memberikan status apapun terhadap agama manapun. Prancis memperkenalkan kebijakan laïcité yang mengatur tata cara berperilaku di ruang publik, seperti misalnya cara berpakaian yang dipisahkan dari atribut keagamaan.
Titik Temu Konstruksi Validitas
Sejarah telah menunjukkan bahwa upaya untuk memutlakkan yang satu dan menganvaskan lainnya (win-lose) akan berakibat pada perkembangan regresif. Mencari titik temu antara berbagai jenis hukum pun bukan persoalan sederhana. Satu contoh yang dapat dijadikan catatan untuk pekerjaan rumah para iuris adalah kasus Bhe v Magistrate, Khayelitsha (2004) yang terjadi di Afrika Selatan.
Di sini, secara adat hak waris didasarkan pada sistem primogenitur dari pihak laki-laki. Bhe, sebagai perempuan tidak berhak mendapatkan harta peninggalan Mgolombane, suaminya. Kondisi ini membuat Bhe dan kedua anak perempuannya kehilangan tempat tinggal. Hakim Pius Langa dalam putusan mengatakan bahwa “the primogeniture rule as applied to inheritance in customary law is inconsistent with the constitutional guarantee of equality” (Aturan primogenitur yang diterapkan pada warisan dalam hukum adat tidak sesuai dengan jaminan kesetaraan dalam konstitusi) (Constitutional Court of South Africa, 2004).
Pendekatan interkultural pun menjadi penting. Menciptakan wilayah-wilayah terbatas (ghetto) untuk tatanan multikultural masih belum memadai, terutama bila isu yang diangkat adalah mendirikan negara dalam negara (Hallaq, 2013). Contoh dari fenomena ini adalah terorisme transnasional (Laqueur, 2011). Hukum perlu memberi ruang normatif pada modernitas, agama, dan adat lewat titik-titik dialogis yang dibangun dari dalam-bukan dicangkokkan dari luar. Geltungskulpturen (konstruksi validitas) hanya bisa bekerja selama ada sisi kompatibilitas.
Penafsiran dari menara gading (misalnya dunia akademis) hanya akan mengulangi kesalahan pendekatan pasca-kolonial yang menakar semuanya dari kacamata Barat. Pemahaman untuk mencapai titik kesepakatan hanya bisa jika bertumbuh secara alami.
Dengan demikian, gagasan tentang konstruksi validitas memperlihatkan bahwa hubungan antara hukum modern, agama, dan adat tidak bersifat kaku, melainkan seperti para pematung yang berkarya dalam studio yang sama: saling menginspirasi, bertolak belakang, atau bernegosiasi demi menghasilkan karya bersama dalam ruang publik.
Pendekatan ini menunjukkan perlunya dialog antarsistem normatif dengan memahami dimensi simbolik, normatif, ritual, dan organisasional yang saling melengkapi. Ketika ketiga bentuk hukum tersebut dibiarkan tumbuh dan berinteraksi secara alami, masyarakat dapat menciptakan kesepakatan dan harmoni sosial secara lebih inklusif, dibandingkan jika salah satunya dipaksakan mendominasi yang lain. Melalui proses yang dinamis inilah, keadilan dan kohesi sosial dapat diwujudkan tanpa harus kehilangan identitas budaya atau spiritual yang telah terbentuk secara historis.