Humas Pengadilan Wajah Transparansi dan Akuntabilitas Peradilan Modern

Humas bukan sekadar pengelola berita atau dokumentasi kegiatan, melainkan jembatan yang menghubungkan pengadilan dengan masyarakat.
Ilustrasi humas. Foto ; Freepik
Ilustrasi humas. Foto ; Freepik

Selama ini pengadilan sering dipersepsikan sebagai lembaga yang kaku, formal, dan jauh dari masyarakat. Masyarakat hanya mengenal pengadilan lewat putusan, bukan melalui proses dan nilai-nilai keadilan yang hidup di dalamnya. 

Padahal, di era keterbukaan informasi saat ini, publik tidak lagi puas hanya dengan hasil akhir perkara. Mereka ingin tahu bagaimana proses hukum berjalan, sejauh mana lembaga peradilan transparan, dan apakah keadilan benar-benar ditegakkan. 

Dalam konteks inilah, peran kehumasan di lingkungan peradilan menjadi sangat vital. Humas bukan sekadar pengelola berita atau dokumentasi kegiatan, melainkan jembatan yang menghubungkan pengadilan dengan masyarakat. 

Ia berperan memastikan bahwa keadilan tidak hanya ditegakkan, tetapi juga tampak ditegakkan di mata publik.

Mengapa Kehumasan Pengadilan Penting?

Kehumasan pengadilan hadir untuk menjembatani bahasa hukum yang kerap teknis dengan kebutuhan publik untuk memahami hukum secara sederhana.
 
Humas membantu masyarakat agar tidak salah persepsi terhadap proses peradilan, sekaligus menjadi garda terdepan dalam menangkal disinformasi atau isu negatif yang dapat mencederai citra lembaga peradilan. 

Dalam banyak kasus, misinformasi mengenai proses hukum sering beredar luas di media sosial sebelum fakta sebenarnya dipahami publik. Disinilah kehumasan mengambil peran strategis meluruskan isu, menyampaikan informasi yang benar, dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.

Salah satu contoh nyata hadir dari Prof. Dr. Yanto, S.H., M.H., Hakim agung sekaligus menjadi juru bicara Mahkamah Agung, dan Dr. H. Sobandi, S.H., M.H., Kepala Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung, yang juga menjadi Plt. Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung. 

Keduanya aktif memberikan keterangan resmi kepada publik, menghadirkan perspektif hukum yang objektif, dan meluruskan berbagai isu yang berkembang di masyarakat tentang kebijakan maupun putusan pengadilan. 

Peran mereka menjadi bukti bahwa kehumasan di Mahkamah Agung bukan sekadar fungsi administratif dan yudikatif, tetapi juga bagian dari tanggung jawab moral lembaga peradilan untuk menjaga kredibilitas, marwah dan wibawa Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya.

Dasar Hukum Peran Kehumasan di Pengadilan

Fungsi kehumasan di pengadilan memiliki dasar hukum yang kuat dan jelas. Ia bukan sekadar pelengkap, tetapi bagian integral dari sistem tata kelola peradilan modern yang menuntut transparansi, akuntabilitas, dan pelayanan publik yang berkualitas. 

Secara konstitusional, Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin hak warga negara untuk memperoleh informasi. 

Amanat ini, dipertegas melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang mewajibkan badan publik, termasuk pengadilan, menyediakan informasi yang akurat dan tidak menyesatkan.

Mahkamah Agung menindaklanjutinya dengan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 1-144/KMA/SK/I/2011 tentang Pedoman Pelayanan Informasi di Pengadilan, yang mengatur pembentukan PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi) di setiap pengadilan. 

Ketentuan ini diperkuat lagi dengan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 2-144/KMA/SK/VIII/2022, yang mewajibkan pengadilan mempublikasikan putusan secara daring, memperbarui laman resmi, dan memastikan kemudahan akses informasi publik. 

Kehumasan juga sejalan dengan prinsip pelayanan publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, serta mendukung agenda Reformasi Birokrasi berdasarkan Perpres Nomor 81 Tahun 2010.
 
Transformasi digital yang menjadi tuntutan zaman, turut didorong oleh Perpres Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), yang menegaskan pentingnya digitalisasi layanan informasi di pengadilan.

Dalam konteks integritas birokrasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 90 Tahun 2021 tentang Pembangunan Zona Integritas Menuju WBK/WBBM, menempatkan kehumasan sebagai instrumen penting dalam membangun kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Namun, keterbukaan tetap memiliki batas. 

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi dan Pasal 17 Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, melarang publikasi informasi yang dapat mengganggu proses peradilan atau melanggar hak privasi. 

Penerapan etika juga menjadi pijakan penting. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang tertuang dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Nomor 047/KMA/SK/IV/2009 dan Nomor 02/PB/P.KY/04/2009 serta Kode Etik Panitera dan Jurusita, yang tertuang dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung nomor 122/KMA/SK/VII/2013 menegaskan, humas wajib menjaga independensi dan tidak memberikan pernyataan yang dapat diartikan sebagai intervensi. 

Sementara Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 menekankan, agar setiap pengadilan aktif menyebarkan informasi publik dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami masyarakat. 

Dengan demikian, peran kehumasan di pengadilan bukan hanya soal menyampaikan berita, tetapi menjaga kebenaran, membangun kepercayaan publik, dan menegakkan prinsip keterbukaan yang beretika dalam bingkai hukum yang kokoh.
Humas: Antara Transparansi dan Tanggung Jawab

Keterbukaan informasi bukan berarti membuka semua hal tanpa batas. Disinilah keseimbangan antara hak publik untuk tahu dan kewajiban Mahkamah Agung menjaga integritas proses peradilan diuji. 

Humas pengadilan harus mampu menjelaskan perkara yang menjadi perhatian publik tanpa melanggar etika peradilan. Penjelasan yang disampaikan harus faktual, proporsional, dan tidak menimbulkan tafsir hukum yang keliru. 

Dalam praktiknya, Humas sering menjadi “penjaga wibawa lembaga” ketika muncul isu atau tuduhan yang dapat merusak kepercayaan publik terhadap pengadilan. 

Konsistensi seperti yang ditunjukkan oleh Prof. Dr. Yanto, S.H., M.H., dan Dr. H. Sobandi, S.H., M.H., mencerminkan bagaimana komunikasi publik dapat dijalankan dengan penuh tanggung jawab.

Keduanya sering menegaskan, kehumasan bukan instrumen pencitraan, tetapi media edukasi hukum bagi masyarakat.

Era Digital dan Tantangan Baru Kehumasan

Transformasi digital membawa tantangan baru bagi humas pengadilan. Informasi kini bergerak cepat dan masif. Satu unggahan di media sosial bisa memengaruhi opini publik secara luas. 

Mahkamah Agung melalui Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 2-144/2022, mendorong semua pengadilan aktif di platform digital, termasuk website, media sosial, dan kanal informasi daring lainnya. 

Kehadiran Humas membuat pengadilan lebih dekat dengan masyarakat. Namun, kedekatan itu juga menuntut kehati-hatian lebih besar. 

Humas harus memastikan setiap unggahan tidak menimbulkan salah tafsir atau mengandung pelanggaran etika. 

Di sisi lain, kehadiran humas menjadi sarana efektif untuk membangun literasi hukum, memberikan edukasi kepada masyarakat dan mengurangi jarak psikologis antara masyarakat dan lembaga peradilan.

Meneguhkan Kepercayaan Publik

Kepercayaan publik adalah fondasi utama bagi lembaga peradilan. Tanpa kepercayaan dari publik, setiap putusan seadil apa pun akan selalu diragukan dan dicurigai. 

Humas pengadilan berperan penting dalam menjaga kepercayaan itu melalui komunikasi yang terbuka, jujur, dan mengedukasi. 

Kegiatan publikasi inovasi pelayanan, sosialisasi Zona Integritas, dan pemberitaan capaian pengadilan bukan semata dokumentasi, tetapi bagian dari pertanggungjawaban kinerja lembaga peradilan kepada masyarakat. 

Ketika publik melihat pengadilan bekerja dengan akuntabel, transparan, dan profesional, maka legitimasi hukum akan tumbuh dengan sendirinya.

Komunikasi adalah Bagian dari Keadilan

Kehumasan di pengadilan bukan sekadar fungsi pelengkap, melainkan roh keterbukaan dan akuntabilitas lembaga peradilan. 

Melalui peran humas, hukum dapat berbicara dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakat, tanpa kehilangan martabat dan prinsip keadilannya. 

Keterbukaan informasi di peradilan bukan ancaman, tetapi jembatan untuk membangun kepercayaan, Humas harus menjadi sumber kebenaran, bukan sekadar sumber berita.

Ketika prinsip ini dijalankan dengan konsisten, pengadilan tidak hanya menjadi tempat mencari keadilan, tetapi juga menjadi cermin keadilan itu sendiri terbuka, jujur, dan berintegritas di mata publik.