Inkonsistensi dalam Kebijakan Investasi

Inkonsistensi hukum, baik dalam bentuk perubahan kebijakan yang cepat maupun tumpang tindih antaraturan, menimbulkan ketidakpastian yang menggerogoti kepercayaan terhadap sistem hukum itu sendiri.
Ilustrasi hukum investasi. Foto : Freepik
Ilustrasi hukum investasi. Foto : Freepik

“Law is a self-referentially closed system that reproduces its own operations by means of the distinction between legal and illegal. This does not mean that law is isolated from its environment, but that it observes it only in its own terms.”
— Niklas Luhmann (Law as a Social System).

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali memutuskan untuk menarik negaranya dari Perjanjian Paris (Paris Agreement) tahun 2015, yang mencakup kesepakatan pengelolaan krisis iklim dalam tataran global. 

Langkah tarik ulur (di tahun 2017 dan 2025) seperti yang dilakukan Trump dapat dipahami, karena secara internal disposisi Amerika Serikat (AS) terkait kesepakatan global ini memang serba sulit. Di satu sisi, Partai Demokrat memberi penekanan khusus pada internasionalisasi, sementara di sisi lain Partai Republik memiliki agenda dalam negeri yang cukup tebal (Reuters, 20 Januari 2025). 

Sederhananya, jika Partai Demokrat ingin AS bersama negara-negara lain di dunia berkomitmen soal krisis iklim, Partai Republik memfokuskan diri pada perjanjian manapun yang menguntungkan negara itu. 

Salah satu implikasinya, bila dalam kebijakan Presiden Joe Biden perkembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang menuntut suplai energi sangat besar diharapkan untuk dipenuhi oleh sumber energi terbarukan seperti tenaga angin dan surya, di bawah rejim Trump, AS akan memaksimalkan potensi minyak bumi dan batu bara, betapapun polutifnya, untuk memenuhi kebutuhan pesat raksasa-raksasa korporasi komputasi.

Persoalan maju mundur AS dalam penanggulangan krisis iklim kerap didasarkan pada beratnya upaya untuk mencapai emisi gas rumah kaca dalam tataran global sehingga batas peningkatan suhu atmosfer Bumi sebesar 1,5 derajat dapat dicapai (MIT Climate Portal, 21 Januari 2025). 

Pada 2022, AS memproduksi gas semacam ini dalam jumlah 6.343 juta metrik ton (United States Environmental Protection Agency, 2024), kira-kira setara dengan berat sepersepuluh Gunung Everest dari kaki hingga ke puncak. 

Mengurangi penggunaan materi polutan di tengah pertumbuhan ekonomi sama seperti menekan pedal gas mobil balap sejauh mungkin sembari menginjak rem dalam-dalam. Konsekuensinya, bila investor teknologi terbarukan ingin masuk ke AS, mereka mungkin akan berpikir dua kali karena setiap presiden dari partai yang berbeda memiliki kebijakan dan aturan yang berbeda-beda pula.

Inkonsistensi sebagai Bukti Kegagalan Epistemik

Cara kita mengetahui dalam filsafat hukum sering disebut sebagai epistemologi. Ketidakmampuan untuk konsisten dalam mengambil keputusan dapat diasumsikan sebagai kegagalan epistemik. 

Dari sisi legislasi, pakar filsafat hukum Jeremy Waldron mengatakan bahwa semakin compang-camping dan inkonsisten proses legislasi di sebuah negara, maka semakin rapuh kedaulatannya. 

Idealnya, bagi Waldron, tahapan deliberatif ini dilakukan saat: “the representatives of the community come together to settle solemnly and explicitly on common schemes and measures that can stand in the name of them all, and they do so in a way that openly acknowledges and respects … the inevitable differences of opinion and principle among them” (Wakil rakyat berkumpul untuk secara ikhlas dan terbuka menetapkan rancangan serta langkah bersama yang dapat diimplementasikan atas nama seluruh anggota masyarakat. Mereka melakukannya dengan cara yang secara terbuka mengakui dan menghormati … perbedaan pendapat dan prinsip yang tak terelakkan di antara mereka) (Waldron, 2012:2). 

Bila ini gagal dilakukan, sebagaimana yang kita lihat dalam komitmen dan inkosistensi cetak biru kebijakan energi AS, aturan dan perundang-undangan yang dihasilkan gagal mencerminkan kedaulatan negara itu. Dengan kata lain, ada cacat epistemik yang membahayakan upaya bersama untuk mengatasi krisis iklim dan disposisi Amerika Serikat dalam kaitannya dengan investasi energi terbarukan.

Kegagalan untuk berdaulat, dalam pemikiran Waldron, juga berarti kegagalan dalam menjunjung martabat (dignity) sebuah negara. 

Pakar hukum dari Universitas Leicester, Inggris, Stephen Riley, menegaskan bahwa “Realising human dignity in a constitutive form in social systems and normative orders requires governing them in a permissive and obligation-harmonising way, consistent with the status of individuals” (Mewujudkan martabat manusia dalam bentuk yang konstitutif di dalam sistem sosial dan tatanan normatif memerlukan pengelolaan yang bersifat permisif serta mampu mengharmoniskan kewajiban, dengan cara yang selaras dengan martabat setiap individu) (Riley, 2018:74). 

Hukum yang inkonsisten tergantung dari kepemimpinan partai politik lebih menekankan pada aspek manajerial dan birokratis, dan hukum yang demikian secara substantif kosong dan trivial. Apalagi jika prinsip dasar dalam hukum, lex specialis derogat legi generali, diterjemahkan secara terlalu sederhana dalam bentuk surat edaran yang diterbitkan kapan saja dan menegasi peraturan yang telah diundangkan sebelumnya. 

Bagi filsuf hukum Mariana Valverde, fenomena ini adalah absennya wawasan substantif dari instrumen legal yang sejatinya menjadi pengayom interaksi masyarakat seperti investasi bisnis (Valverde, 2012).

Dampak Lanjutan Sosio-Legal dan Latennya Inkompetensi

Karakter acak dari konstruksi normatif dapat berakibat pada sinisme legal, menurut sosiolog hukum Robert J. Sampson dan Dawn J. Bartusch (1998). Situasi ini terjadi ketika hukum dinilai sebagai sesuatu yang tidak memiliki legitimasi, non-responsif, dan inkompeten dalam menjamin keteraturan di masyarakat. 

Studi Project on Human Development in Chicago Neighborhoods (PHDCN – Projek tentang Pengembangan Manusia di Lingkungan Chicago) yang dilakukan keduanya didasarkan atas fakta saintifik bahwa ada himpunan data golongan (cohort) rasial tertentu yang menilai bahwa penegakan hukum tidak memiliki arti atau dampak pada mereka (Sampson, Bartusch & Bucci, 2022). 

Dari perspektif filsuf Niklas Luhman, di antara ilmu sosial dan humaniora hanya hukum yang memiliki kapabilitas “koding” dan “pemrograman” lewat dua buah term: legal dan illegal. Rekayasa sosial dapat dilakukan oleh para iuris dengan cara menghasilkan instrumen yuridis yang memprogram pola algoritmik ruang gerak masyarakat.

Bila unit informasi normatif ini mengalami gejala disfungsional, sinisme legal berkembang ke arah disturbansi otopoietik (hukum tidak bisa melangkahkan kakinya secara mandiri) dan regresi diferensiasi (ekses oversimplifikasi) (Luhman, 2004). 

Impotensi otopoietik akan membuat hukum menjadi instrumen politik, sedangkan ketidakmampuan untuk melihat kompleksitas realitas mengakibatkan hukum menjadi konformis dengan kepentingan jangka pendek elit tertentu. 

Baik Luhman maupun Sampson dan Bartusch sepakat bahwa sinisme legal sangat problematis. Persoalan ini sejalan dengan distorsi di negara-negara pasca-kolonial yang mengalami kondisi post-legal: superfisialitas hukum jauh melampaui kekuatan substantifnya. 

Sosiolog Boaventura de Sousa Santos mencoba mempergunakan konsep ini untuk menjelaskan mengapa di negara-negara bekas jajahan hukum sering terlihat memiliki kuasa yudikatif, meskipun dalam praktiknya hanya menjadi legitimator dari eksperimentasi retorika politik lembaga eksekutif (De Sousa Santos, 2002).

Homo Juridicus dan Konsistensi Konseptual

Manusia sebagai subjek hukum dapat dimaknai secara etimologis menjadi “sub”–“ jectum”: manusia “dilemparkan” (“jectum”) ke “bawah” (“sub”). Dengan kata lain, manusia harus menjadi bagian dari otoritas yang lebih tinggi, kokoh, dan stabil. 

Keterikatan manusia dalam jejaring kontraktual, menurut pakar antropologi hukum Alan Supiot (2007), membuatnya menjadi manusia hukum, homo juridicus. Bila kita membacanya secara retrospektif, maka untuk menghasilkan kepatuhan hukum warga negara, kekuasaan eksekutif, yudikatif, dan legislatif harus menunjukkan kedaulatan institusionalnya dengan tidak bersikap inkonsisten dalam mengambil keputusan untuk berbagai persoalan, tidak terkecuali investasi. 

Dalam kasus Cairn Energy v. Government of India (PCA Case No 2016-7), perusahaan energi berbasis di Inggris bernama Cairn Energy dirugikan oleh perubahan aturan pajak penghasilan (Income-Tax Act) hanya dalam tiga tahun: 2012 dan 2015. Kasus ini dibawa ke arbitrase internasional di Den Haag, dan pada putusan tertanggal 21 Desember 2020 India dinyatakan bersalah karena inkonsistensinya dan harus membayar ganti rugi sebesar 1,23 milyar dolar (JusMundi, 2025).

Dengan demikian, inkonsistensi hukum, baik dalam bentuk perubahan kebijakan yang cepat maupun tumpang tindih antaraturan, menimbulkan ketidakpastian yang menggerogoti kepercayaan terhadap sistem hukum itu sendiri. 

Ketika hukum kehilangan daya konsistensinya untuk menata harapan sosial dan ekonomi, maka ia berhenti berfungsi sebagai penjamin keteraturan, berubah menjadi cermin dari fluktuasi politik jangka pendek. Dalam kondisi demikian, para pelaku ekonomi dan masyarakat tidak lagi membaca hukum sebagai pedoman yang stabil, melainkan sebagai variabel yang tak menentu. 

Ketidakmampuan sistem hukum untuk mempertahankan rasionalitas dan kontinuitasnya memperlihatkan kegagalan dalam menjalankan peran epistemiknya: hukum tidak lagi mengenali dirinya sebagai sistem yang bertujuan menjaga keseimbangan antara kepastian dan keadilan. Akibatnya, bukan saja legitimasi hukum yang terkikis, tetapi juga martabat institusi negara yang semestinya berdiri di atas dasar rasionalitas, integritas, dan tanggung jawab normatif.

Penulis: Muhammad Afif
Editor: Tim MariNews