Kaidah Hukum: Aspek Kepentingan Terbaik Anak dalam Sengketa Harta Bersama

Mayoritas sengketa harta bersama di Pengadilan Agama diputuskan pembagiannya secara normatif, masing-masing ½ bagian sesuai Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam.
Gedung Mahkamah Agung. Foto dokumentasi Humas MA
Gedung Mahkamah Agung. Foto dokumentasi Humas MA

Gugatan pembagian harta bersama yang objeknya terbukti satu-satunya rumah tempat tinggal anak dapat dikabulkan. Akan tetapi, pembagiannya dilaksanakan setelah anak tersebut dewasa (berusia 21 tahun) atau sudah menikah.

Mayoritas sengketa harta bersama di Pengadilan Agama diputuskan pembagiannya secara normatif, masing-masing ½ bagian sesuai Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam.

Dalam kasus-kasus tertentu, pembagiannya disesuaikan dengan besaran kontribusi masing-masing pihak dalam perolehan harta bersama tersebut.

Kemudian, secara teori dan praktik, dalam pemeriksaan sengketa, majelis hakim biasanya akan fokus memeriksa beberapa aspek, yaitu waktu perolehan harta bersama—apakah sebelum perkawinan, dalam perkawinan, atau setelah perkawinan. Kemudian, asal perolehan harta bersama—apakah harta bawaan salah satu pihak, atau pemberian orang tua melalui hibah, wasiat, atau waris, dan seterusnya. Selain itu, hakim juga menilai ada atau tidak adanya perjanjian perkawinan (pisah harta) atas harta tersebut, serta memperhatikan aspek keadilan distributif dalam menentukan besaran pembagiannya.

Namun, dalam perkembangan hukum terkini, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan progresif yang keluar dari kebiasaan praktik pemeriksaan aspek hukum harta bersama. Mahkamah Agung melihat aspek lain yang harus diperhitungkan, yaitu kepentingan terbaik bagi anak.

Melalui Putusan Nomor 159 K/Ag/2018, Mahkamah Agung RI memperkenalkan kaidah hukum baru bahwa penting untuk memperhatikan kepentingan terbaik anak, khususnya apabila rumah satu-satunya tempat tinggal anak digugat dalam sengketa harta bersama oleh orang tuanya.

Duduk Perkara dan Riwayat Putusan

Putusan Kasasi Nomor 159 K/Ag/2018 berawal dari seorang istri (penggugat) yang mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya (tergugat) di Pengadilan Agama Ambon. Gugatan itu digabungkan dengan permohonan hak asuh (hadhanah) atas dua anak mereka yang masih kecil, masing-masing berusia 4 dan 7 tahun. Selain itu, ia juga menggugat pembagian harta bersama berupa satu rumah permanen berukuran 6 x 12 m².

Pada tingkat pertama, Pengadilan Agama Ambon melalui Putusan Nomor 205/Pdt.G/2016/PA.Ab tertanggal 28 November 2016 mengabulkan perceraian dengan menjatuhkan talak satu ba’in sughra tergugat kepada penggugat. Tergugat diwajibkan memberikan nafkah kepada anak-anaknya sebesar Rp1.500.000,00 setiap bulan. Hak hadhanah atau pengasuhan anak diberikan kepada penggugat, dan rumah tersebut ditetapkan sebagai harta bersama yang wajib dibagi rata masing-masing ½ bagian.

Pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi Agama Ambon melalui Putusan Nomor 1/Pdt.G/2017/PTA.AB tanggal 2 Februari 2017 menguatkan putusan tingkat pertama. Perceraian dikabulkan, hak asuh anak tetap di tangan penggugat, dan rumah dibagi rata. Namun, PTA Ambon menghapus kewajiban tergugat membayar nafkah anak.

Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 159 K/Ag/2018 tanggal 28 Maret 2018 melakukan koreksi. MA tetap mengabulkan perceraian, menetapkan hak asuh anak kepada penggugat, serta mengembalikan kewajiban nafkah anak Rp1.500.000,00 per bulan dengan kenaikan 10% tiap tahun. Namun, MA berbeda pendapat terkait harta bersama. Gugatan rumah dinyatakan tidak dapat diterima karena rumah merupakan satu-satunya tempat tinggal anak. Jika tetap dibagi, manfaat rumah bagi anak akan hilang karena berpotensi dijual atau dilelang dalam eksekusi.

Upaya hukum luar biasa melalui peninjauan kembali juga ditolak. Majelis hakim tetap memperkuat putusan kasasi tersebut melalui Putusan PK Nomor 6 PK/Ag/2019.

Penerapan Prinsip The Best Interest of The Child dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 159 K/Ag/2018

Putusan tingkat pertama dan banding menunjukkan corak legalistik-positivistik, menekankan kepatuhan normatif dengan membagi harta sesuai Pasal 97 KHI jo. Pasal 128 KUHPerdata jo. Pasal 37 UU Nomor 1 Tahun 1974.

Sebaliknya, putusan kasasi menekankan kemanfaatan dan keadilan berimbang. Majelis hakim berani keluar dari pakem normatif demi keadilan substantif dan progresif, yakni mengutamakan kepentingan anak pasca perceraian.

Prinsip The Best Interest of The Child merupakan prinsip fundamental dalam hukum perlindungan anak, yang diakui secara internasional melalui Konvensi Hak Anak (CRC) dan diratifikasi Indonesia melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990. Prinsip ini mengharuskan semua keputusan yang menyangkut anak menjadikan kepentingan terbaik anak sebagai pertimbangan utama.

Mahkamah Agung menilai pembagian rumah sebagai harta bersama berpotensi mengganggu stabilitas dan kesejahteraan anak. Dengan menunda pembagian hingga anak dewasa, MA memastikan anak tetap menikmati rumah tersebut selama masa tumbuh kembang.

Putusan MA juga selaras dengan Pasal 51 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang menegaskan tanggung jawab kedua orang tua untuk memperhatikan kepentingan terbaik anak pasca perceraian. Demikian pula Pasal 52 ayat (2) yang menjamin hak anak atas perlindungan dari orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara, termasuk pemenuhan kebutuhan dasar seperti tempat tinggal.

Penyempurnaan Kaidah Hukum melalui SEMA Nomor 1 Tahun 2022

Putusan kasasi tidak merinci batas usia dewasa sebagai parameter pembagian harta. Apakah 18 tahun, 19 tahun, atau 21 tahun. Dalam amar putusan hanya disebut usia 21 tahun untuk nafkah anak. Hal ini menimbulkan ambiguitas.

Untuk memberi kepastian hukum, Mahkamah Agung menerbitkan SEMA Nomor 1 Tahun 2022. Aturan ini menegaskan, gugatan harta bersama atas rumah satu-satunya tempat tinggal anak tetap dapat dikabulkan, tetapi pembagiannya dilaksanakan setelah anak berusia 21 tahun atau menikah.

SEMA ini berbeda dengan putusan kasasi yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima. Dengan SEMA, status hukum objek rumah jelas sebagai harta bersama, hanya eksekusi pembagiannya yang ditunda. Hal ini mencegah pihak berperkara mengajukan gugatan ulang di kemudian hari.