Putusan Kasasi Nomor 12 K/Ag/JN/2020 tanggal 16 November 2020 menjadi salah satu putusan yang dipublikasi oleh Mahkamah Agung dalam kategori kompilasi kaidah hukum.
Putusan kasasi tersebut telah berkekuatan hukum tetap yang diperiksa dan diputus oleh Dr. H. Amran Suadi, S.H., M.H., M.M. selaku Hakim Ketua dengan para Hakim Anggota yakni, Dr. H. Purwosusilo, S.H., M.H., dan Drs. H. Busra, S.H., M.H.
Ringkasan Posisi Kasus
Penuntut umum telah mendakwa terdakwa dengan dakwaan alternatif atas perbuatannya yang melakukan pemerkosaan terhadap anak, yaitu kesatu, Pasal 50 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat atau kedua, Pasal 34 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
Atas perbuatannya tersebut, penuntut umum kemudian menuntut terdakwa dengan menjatuhkan pidana/’uqubat penjara sebanyak 180 bulan.
Selanjutnya, Mahkamah Syar’iyah Kutacane melalui Putusan Nomor 7/JN/2020/MS.Kc, menghukum dan menjatuhkan uqubat ta’zir kepada terdakwa dengan ‘uqubat penjara selama 180 bulan karena telah terbukti melakukan jarimah pemerkosaan terhadap Anak sebagaimana dalam dakwaan kesatu.
Mahkamah Syar’iyah Aceh Batalkan Putusan Pengadilan Tingkat Pertama
Usai diputus oleh pengadilan tingkat pertama, terdakwa kemudian mengajukan upaya hukum banding. Mahkamah Syar’iyah Aceh selaku Pengadilan Tingkat Banding membatalkan Putusan Mahkamah Syar’iyah Kutacane, karena tak sependapat dengan ‘uqubat yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama terhadap terdakwa.
Judex facti tingkat banding melalui Putusan Nomor 18/JN/2020/MS.Aceh tersebut kemudian mengadili sendiri dengan menghukum dan menjatuhkan ‘uqubat ta’zir kepada terdakwa berupa ‘uqubat cambuk sebanyak 200 kali.
Majelis Hakim banding berpendapat, kehadiran qanun jinayat di Aceh merupakan tuntutan masyarakat Aceh yang berorientasi kepada keadilan dengan mengedepankan sanksi/uqubat yang bersifat spesifik bernuansa keislaman, sehingga membedakan dari sanksi yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Perbedaan tersebut, nilai Majelis Hakim, terlihat dari penentuan urutan sanksi/uqubat yang mendahulukan hukuman cambuk. Oleh sebab itu, penjatuhan uqubat cambuk terhadap terdakwa merupakan suatu keniscayaan dan alternatif yang harus mendapat prioritas.
Mahkamah Syar’iyah Aceh menegaskan, penerapan ‘uqubat cambuk merupakan lembaga hukum yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk melakukan perubahan dan perbaikan dirinya. Sebab, setelah seseorang menjalani uqubat cambuk, maka seketika itu pula seseorang dapat memulai melakukan perubahan dan perbaikan dirinya ke arah yang lebih baik.
Hukuman penjara, menurut Majelis Hakim, dilihat dari aspek sosial apabila dijatuhkan kepada Terdakwa belum tentu akan dapat membuat perubahan dan perbaikan bagi terdakwa meskipun secara berkala mendapat siraman rohani di lembaga pemasyarakatan tersebut.
“Mahkamah Syar'iyah Aceh berpendapat bahwa ‘uqubat yang tepat dijatuhkan terhadap pembanding/terdakwa adalah ‘uqubat cambuk,” tegas Majelis Hakim melalui pertimbangan Putusan Nomor 18/JN/2020/MS.Aceh.
Mahkamah Agung Mengadili Sendiri
Pada 16 November 2020, Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 12 K/Ag/JN/2020 membatalkan Putusan Mahkamah Syar’iyah Aceh karena telah salah menerapkan hukum dalam memberikan hukuman kepada terdakwa.
Judex juris berpendapat, judex facti tidak mempertimbangkan aspek keadilan bagi anak korban yang masih berumur kurang lebih tujuh tahun, mengingat kondisi anak korban saat ini yang mengalami tekanan psikologis yang berat (traumatic).
Mahkamah Agung menyatakan, oleh karena korban dalam perkara tersebut adalah anak, maka jenis ‘uqubat yang dijatuhkan kepada terdakwa haruslah hukuman yang berprespektif pada kepentingan terbaik bagi anak.
Pelaku jarimah pemerkosaan terhadap anak, nilai Majelis Hakim Kasasi, merupakan predator terhadap anak dan bahkan dalam perkara tersebut anak korban mengalami traumatik mental/fisik dan luka fisik.
“Mahkamah Agung menilai, ‘uqubat cambuk bagi terdakwa dirasa tidak tepat serta dikhawatirkan jika terdakwa dicambuk dan segera bebas akan menambah beban psikologis anak korban bila bertemu kembali dengan terdakwa serta bukan tidak mungkin terdakwa akan mengulangi perbuatannya,” tegas judex juris.
Atas dasar itu, tambah Majelis Hakim Kasasi, jenis ‘uqubat yang tepat bagi terdakwa dan berperspektif pada kepentingan terbaik anak adalah ‘uqubat penjara. Dengan ‘uqubat penjara tersebut, dimaksudkan agar memberikan efek jera kepada terdakwa sekaligus sebagai proses tadabbur dan jail healing bagi terdakwa selama menjalani ‘uqubat dalam penjara.
Mahkamah Agung turut memperhatikan kondisi ketika terdakwa selesai melaksanakan ‘uqubat dan keluar dari penjara, diharapkan anak sudah besar dan dalam keadaan pulih rasa traumatiknya.
Terdakwa kemudian dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan jarimah pemerkosaan terhadap anak sebagaimana diatur dalam Pasal 50 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat oleh Majelis Hakim Kasasi.
“Menghukum terdakwa dengan ‘uqubat penjara selama 180 bulan, dikurangi dengan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa.” tegas Majelis Hakim Kasasi melalui pertimbangan putusannya.
Kaidah Hukum
Berdasarkan penjelasan yang telah penulis uraikan di atas, kaidah hukum yang dapat dipetik dari Putusan Nomor 12 K/Ag/JN/2020 yakni, demi kepentingan psikologis anak korban, penjatuhan pidana cambuk dalam perkara pemerkosaan terhadap anak diganti dengan pidana penjara.
Dengan adanya publikasi mengenai kaidah hukum tersebut, semoga dapat menambah khazanah pengetahuan dan menjadikan prinsip kepentingan terbaik bagi anak sebagai pertimbangan utama dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang melibatkan anak.