Kekerasan dalam Rumah Tangga sebagai Alasan Perceraian

Kekerasan psikologis dan kekerasan ekonomi memiliki dampak destruktif yang bersifat ekuivalen terhadap keutuhan institusi perkawinan.
Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga. Foto pixabay.com
Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga. Foto pixabay.com

Kerangka Hukum KDRT dalam Perceraia

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) secara normatif diakomodasi dalam sistem hukum positif Indonesia sebagai ground yang sah untuk mengajukan permohonan perceraian melalui mekanisme judicial, termasuk dalam yurisdiksi Peradilan Agama. Relasi hukum ini, merefleksikan interdependensi antara rezim hukum keluarga dan hukum pidana dalam kerangka perlindungan hukum terhadap hak-hak korban.

Secara eksplisit, Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 juncto Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan, tindakan “penganiayaan berat” yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pasangan nikahnya merupakan salah satu legal ground untuk mengajukan gugatan perceraian.

Secara paralel, Pasal 116 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga memasukkan “penganiayaan berat yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pihak lainnya” sebagai salah satu alasan sah untuk perceraian. Ketentuan ini, mempertegas keselarasan antara norma yang termuat dalam PP No. 9 Tahun 1975, UU No. 1 Tahun 1974, dan KHI, sekaligus memastikan bahwa perlindungan terhadap korban KDRT memiliki basis hukum yang konsisten di berbagai instrumen hukum keluarga Islam.

Dalam perkembangan hukum positif, makna normatif dari istilah “penganiayaan berat” mengalami perluasan penafsiran yang selaras dengan pengaturan substantif dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).

Undang-undang tersebut, memberikan definisi yang luas dan menyeluruh, mencakup berbagai bentuk kekerasan, baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, maupun penelantaran rumah tangga, termasuk kekerasan ekonomi yang diakui sebagai bagian penting dari perlindungan hukum terhadap korban.

Spektrum Kekerasan dan Relevansi dengan Perceraian

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) secara imperatif menetapkan larangan normatif terhadap segala bentuk perbuatan kekerasan dalam lingkup domestik. Secara limitatif, ketentuan tersebut mendefinisikan: (1) kekerasan fisik sebagai setiap perbuatan yang menimbulkan dampak fisik berupa rasa sakit atau luka badan; (2) kekerasan psikis yang mencakup tindakan degradasi martabat berupa penghinaan, ancaman, atau intimidasi yang berimplikasi pada timbulnya penderitaan psikologis; (3) kekerasan seksual yang meliputi segala bentuk koersi atau pemaksaan dalam hubungan seksual; serta (4) penelantaran rumah tangga yang berupa pengabaian kewajiban pemenuhan kebutuhan dasar, termasuk namun tidak terbatas pada nafkah dan kebutuhan esensial lainnya.

Pengakuan yuridis terhadap pluralitas bentuk kekerasan domestik tersebut membawa konsekuensi hukum langsung dalam konteks penyelenggaraan proses perceraian. Walaupun dalam pemahaman sosiologis masyarakat masih terdapat reduksi makna KDRT yang terbatas pada dimensi kekerasan fisik secara sempit, realitas praktik peradilan justru mengkonstatasi bahwa kekerasan psikologis dan kekerasan ekonomi memiliki dampak destruktif yang bersifat ekuivalen terhadap keutuhan institusi perkawinan.

Oleh karena itu, secara normatif kedua bentuk kekerasan nonfisik tersebut telah memenuhi kualifikasi sebagai dasar hukum (legal ground) yang sah untuk mengajukan gugatan perceraian.

Penyempurnaan Rumusan Hukum Mahkamah Agung RI

Dalam kerangka regulasi yudisial pra-2023, Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pedoman Kamar Agama menetapkan bahwa gugatan perceraian atas dasar perselisihan dan pertengkaran berkelanjutan hanya dapat dikabulkan apabila terpenuhi dua kumulatif kondisi: (1) terbuktinya adanya perselisihan dan pertengkaran secara kontinu antara suami-istri, dan (2) telah terjadinya pisah ranah (separate dwelling) minimal selama enam bulan.

Namun, melalui SEMA Nomor 3 Tahun 2023 tentang Pedoman Kamar Agama Tahun 2023 angka 1, terjadi penyempurnaan formulasi normatif dengan penambahan klausa eksklusif:
"...diikuti dengan telah berpisah tempat tinggal paling singkat enam bulan, kecuali ditemukan fakta hukum adanya tergugat/penggugat melakukan kekerasan dalam rumah tangga."

Perubahan paradigmatik ini, secara tegas menempatkan KDRT sebagai alasan hukum independen yang dapat menjadi dasar perceraian tanpa terikat pada persyaratan temporal pisah ranah selama enam bulan. Asas fundamental yang mendasari perubahan ini adalah prinsip accelerated legal protection (perlindungan hukum dipercepat) bagi korban, mengingat keberlanjutan kohabitasi dalam situasi kekerasan berpotensi menimbulkan imminent danger (bahaya segera) terhadap integritas fisik dan stabilitas psikologis korban.

Pembuktian KDRT dalam Perkara Perceraian

Dalam hukum acara perdata di peradilan agama, alat bukti sah diatur secara limitatif dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 RBg, dan Pasal 1866 KUH Perdata, meliputi bukti tertulis, saksi, persangkaan hukum, pengakuan, dan sumpah.

Visum et repertum dalam hal ini dikualifikasikan sebagai bukti surat dengan kekuatan formil berdasarkan Pasal 184 HIR dan Pasal 187 RBg. Dokumen medis ini dikualifikasikan sebagai bagian dari alat bukti surat yang memiliki kekuatan pembuktian formil, di mana penyusunannya harus dilakukan oleh tenaga medis yang berwenang (medisch expert) guna mengkonstatasi adanya tindakan kekerasan fisik beserta akibat-akibat medis yang timbul.

Namun demikian, konstruksi pembuktian dalam perkara kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tidak boleh bersifat eksklusif pada bukti fisik yang termanifestasi melalui visum et repertum. Hakim tidak sepatutnya terpaku pada keberadaan atau ketiadaan visum, mengingat secara yuridis banyak bentuk kekerasan-khususnya kekerasan psikologis dan kekerasan ekonomi-bersifat nonfisik (non-physical) sehingga tidak meninggalkan jejak fisik (physical traces) yang dapat diverifikasi secara medis. Kondisi ini meniscayakan perlunya metode pembuktian alternatif yang lebih komprehensif dan adaptif terhadap sifat tindakannya.

Ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) secara tegas mengakomodasi kebutuhan tersebut dengan menetapkan, proses pembuktian dapat menggunakan seluruh alat bukti yang sah (lawful evidence) menurut ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk di dalamnya bukti elektronik dan keterangan saksi.

Pengaturan ini merefleksikan pengakuan legislatif terhadap kompleksitas pembuktian dalam kasus-kasus KDRT yang seringkali bersifat subtil dan tidak kasat mata, serta menegaskan perlunya penilaian hakim yang berorientasi pada perlindungan korban.

Pendekatan Luwes dan Perlindungan Korban

Penerapan pendekatan fleksibel dalam sistem pembuktian merupakan suatu keniscayaan yuridis guna menjamin perlindungan efektif terhadap korban KDRT. Berbagai bentuk bukti elektronik seperti audio recording, text message, surat elektronik, dokumentasi fotografi, maupun keterangan ahli psikologi dapat dipertimbangkan sebagai dasar pembentukan keyakinan hakim dalam memutus perkara.

Dalam implementasinya, hakim juga terikat pada prinsip-prinsip Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, yang antara lain mewajibkan pengadilan menjamin tercapainya keadilan substantif, melindungi martabat perempuan, serta mengidentifikasi potensi perlakuan diskriminatif. Ketentuan ini relevan dalam perkara perceraian berbasis KDRT, karena mengarahkan hakim untuk menggunakan pendekatan berperspektif korban (victim-centered approach) dan menghindari praktik pembuktian yang justru membahayakan keselamatan korban.

Kendala-kendala yang dihadapi korban meliputi keterbatasan ekonomi dalam memperoleh visum et repertum, kesulitan aksesibilitas terhadap fasilitas kesehatan, serta tekanan psikologis yang kerap dilakukan oleh pelaku sebagai bentuk pengendalian terhadap korban. Pergeseran paradigma pembuktian ke arah pendekatan yang lebih inklusif mencerminkan penerapan prinsip substantive justice, yang menitikberatkan orientasinya pada optimalisasi efektivitas perlindungan hukum bagi korban serta langkah-langkah preventif untuk memutus mata rantai kekerasan. Fokus tersebut ditempatkan di atas kepentingan pemenuhan aspek formal-prosedural semata dalam konstruksi pembuktian.

Analisis Yuridis dan Rekomendasi Strategis

Secara normatif, KDRT merupakan dasar hukum yang sah untuk perceraian dalam hukum positif Indonesia. Makna “penganiayaan berat” yang semula terbatas kini diperluas melalui UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, mencakup kekerasan fisik, psikis, seksual, penelantaran rumah tangga, dan kekerasan ekonomi. Perluasan ini memperkuat landasan perlindungan hukum bagi korban serta mendorong pergeseran orientasi peradilan dari pendekatan formalistik menuju respons yang adaptif terhadap kerentanan korban.

SEMA Nomor 3 Tahun 2023 menandai tonggak penting dengan menempatkan KDRT sebagai alasan perceraian mandiri tanpa syarat pisah ranah enam bulan, selaras dengan prinsip accelerated legal protection untuk mencegah imminent danger. Dalam pembuktian, Pasal 55 UU PKDRT mengatur penggunaan seluruh alat bukti sah, termasuk bukti elektronik dan keterangan saksi, sehingga hakim tidak boleh bergantung semata pada visum et repertum.

Berdasarkan konstruksi hukum tersebut, terdapat setidaknya ada dua rekomendasi yang penulis tawarkan. Pertama, hakim di lingkungan peradilan perlu menerapkan flexible evidentiary approach (pendekatan pembuktian yang fleksibel) dengan membuka ruang seluas-luasnya bagi pembuktian nonfisik, mengingat banyak bentuk KDRT tidak meninggalkan jejak medis.

Kedua, Mahkamah Agung RI perlu mengeluarkan pedoman teknis yang mempertegas metode penilaian alat bukti nonfisik dalam perkara perceraian berbasis KDRT, dengan mengadopsi prinsip victim-centered justice (keadilan yang berorientasi pada korban).

Penerapan kedua langkah tersebut, diharapkan dapat menjamin efektivitas perlindungan hukum serta menegakkan keadilan substantif bagi para pencari keadilan khususnya mereka yang menjadi korban KDRT.
 

Penulis: Rifqi Qowiyul Iman
Editor: Tim MariNews