KUHP Nasional (UU No. 1 Tahun 2023) merupakan tonggak pembaharuan hukum pidana Indonesia yang menggantikan Wetboek van Strafrecht peninggalan kolonial.
Salah satu semangat utama KUHP baru adalah menegakkan prinsip perlindungan hak asasi manusia, keadilan restoratif, dan kepastian hukum. Namun, implementasi KUHP 2023 tidak dapat dilepaskan dari sistem acara pidana yang diatur dalam KUHAP.
Oleh karena itu, pembaruan KUHP harus diiringi pembaruan KUHAP yang menghadirkan Hakim Komisaris sebagai judicial control sejak tahap penyidikan.(KUHP 2023)
Hakim Komisaris dan Due Process of Law
Hakim Komisaris merupakan lembaga yang pernah diusulkan dalam RUU KUHAP yang ditempatkan di setiap Lembaga Pemasyarakat atau Rutan yang direkrut dari hakim yang bertugas di Pengadilan Tingkat Pertama atau dari Dosen Hukum Pidana untuk mengawasi tindakan paksa aparat penegak hukum, seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan.
Keberadaan Hakim Komisaris dimaksudkan untuk menjamin asas due process of law, yakni proses hukum yang adil dan sesuai dengan hak konstitusional warga negara.
Sejalan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, Hakim Komisaris menjadi instrumen untuk mencegah penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum(Pasal 28Dayat (1) UUD 1945)
Relevansi dengan KUHP 2023
Dalam KUHP baru 2023, sistem pemidanaan diubah cukup signifikan. Pidana pengawasan dan pidana kerja sosial dijadikan sebagai pidana pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 65.
KUHP baru ini membuka ruang untuk penerapan pidana alternatif khususnya pidana pengawasan, pidana kerja sosial atau pidana denda sebagai pengganti pidana penjara, atau dengan kata lain pidana penjara sedapat mungkin tidak dijatuhkan bilamana ditemukan keadaan seperti yang diatur dalam pasal 70 ayat (1) huruf ”a” sampai dengan huruf ”o”, contohnya dalam huruf ”o ”: tindak pidana terjadi karena kealpaan.
Tanpa mekanisme pengawasan yudisial, penerapan pasal-pasal ini berpotensi menimbulkan over-kriminalisasi dan penyalahgunaan oleh aparat. Hakim Komisaris menjadi filter yudisial yang menilai apakah tindakan aparat telah sesuai dengan prinsip proporsionalitas, akuntabilitas, dan keadilan (Nawawi Arief 2018 :142).
Komparasi dengan Sistem Hukum Lain
Konsep Hakim Komisaris bukanlah hal baru, melainkan praktik yang lazim dalam sistem hukum modern. Di Belanda dikenal dengan istilah Rechter-Commissaris yang mengawasi penyidikan, memutuskan sah atau tidaknya tindakan penahanan, penggeledahan, dan penyitaan (A.Nollkaemper2010:78).
Di Jerman menggunakan Ermittlungsrichter (investigating judge) yang berfungsi sebagai pengawas penyidikan untuk menjamin perlindungan hak tersangka (Thomas Weigend 1992:82).
Di Italia terdapat Giudice per le Indagini Preliminari (hakim untuk penyidikan awal) yang memutuskan kelayakan penggunaan tindakan paksa (Mario Chiavario 2014 :112)
Ketiga negara tersebut menempatkan hakim pengawas sebagai bagian dari checks and balances dalam sistem peradilan pidana. Dengan mengadopsi model ini, Indonesia tidak hanya memperkuat penegakan hukum tetapi juga menyesuaikan dengan standar internasional, terutama prinsip-prinsip dalam ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) yang telah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005.
Hakim Komisaris, Pidana Alternatif, dan Judicial Pardon
KUHP 2023 memperkenalkan beberapa pidana yang bersifat alternatif terhadap pidana penjara, seperti pidana denda, pidana pengawasan, pidana kerja sosial, hingga pidana pengumuman putusan hakim.
Konsep ini lahir dari kebutuhan untuk mengurangi overcrowding lapas sekaligus menghadirkan pidana yang lebih proporsional dan restoratif (Muladi&DwidjaPriyatno2023:65).
Dalam konteks ini, Hakim Komisaris berperan penting karena mengawasi kelayakan penerapan pidana alternatif sejak tahap penyidikan, terutama apakah syarat-syarat diversi atau restorative justice sudah terpenuhi.
Selain itu, Hakim Komisaris juga mengontrol keputusan aparat agar tidak secara otomatis membawa kasus ke meja hijau jika masih memungkinkan penyelesaian melalui pidana non-penjara.
KUHP 2023 juga mengenalkan konsep judicial pardon (pengampunan yudisial atau pemaafan hakim), yakni kewenangan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana meskipun terdakwa terbukti bersalah, sepanjang ada alasan kemanusiaan, proporsionalitas, dan kepentingan keadilan.
Judicial pardon diatur dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP 2023 sebagai inovasi penting dalam hukum pidana Indonesia. Hakim Komisaris dapat menjadi penyaring awal untuk memastikan apakah sebuah perkara pantas diproses atau layak dipertimbangkan untuk judicial pardon di tingkat pengadilan.
Kesimpulan
Urgensitas Hakim Komisaris dalam penegakan KUHP 2023 sangatlah penting sekali karena: 1) Menjadi penjaga due process of law sejak tahap penyidikan; 2) Mengawasi dan membatasi penggunaan tindakan paksa aparat; 3) Memberikan perlindungan HAM sesuai UUD 1945 dan ICCPR; 4) Mendukung implementasi keadilan restoratif sebagaimana semangat KUHP 2023; 5) Menyelaraskan sistem peradilan pidana Indonesia dengan standar internasional; 6) Mendukung penerapan pidana alternatif dan judicial pardon yang lebih manusiawi dan proporsional. Menyelaraskan sistem peradilan pidana Indonesia dengan standar internasional.
Dengan demikian, pembentukan Hakim Komisaris bukan sekadar pelengkap RUU KUHAP, tetapi merupakan syarat mutlak bagi tegaknya sistem hukum yang adil, akuntabel, dan modern dalam konteks berlakunya KUHP baru. Semoga bermanfaat.
Daftar pustaka
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Jakarta: Kencana, 2018).
Andries van A. Nollkaemper, Dutch Criminal Procedure (Leiden: Brill, 2010).
Thomas Weigend, “The Investigating Judge in German Criminal Procedure,” Criminal Law Forum, Vol. 3, No. 1 (1992).
Mario Chiavario, Italian Criminal Justice System (Milan: Giuffrè Editore, 2014).
Muladi & Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana dan Pidana dalam KUHP Baru (Bandung: Refika Aditama, 2023).
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).