Demo Anarkis: Demokrasi yang Tersandera

Bila semua pihak, baik massa maupun aparat, taat pada aturan main, sebuah demo justru bisa menjadi tontonan menarik sekaligus pendidikan politik
Ilustrasi demonstrasi. Foto ; Freepik.com
Ilustrasi demonstrasi. Foto ; Freepik.com

Di sebuah negara demokrasi, demonstrasi merupakan salah satu instrumen sah untuk menyalurkan aspirasi rakyat. 

Konstitusi kita bahkan mengakuinya sebagai hak fundamental. Maka, demo sejatinya adalah ekspresi dari kebebasan sekaligus cermin kedewasaan politik. 

Bila semua pihak, baik massa maupun aparat, taat pada aturan main, sebuah demo justru bisa menjadi tontonan menarik sekaligus pendidikan politik gratis bagi masyarakat.

Namun, kenyataan di lapangan sering kali jauh dari ideal. Tidak sedikit demo yang berubah menjadi anarkis, penuh kerusakan, bahkan menelan korban jiwa. 

Alih-alih mengantarkan aspirasi menuju perubahan, yang muncul justru wajah lain: kekerasan, premanisme, dan penghancuran fasilitas publik yang sejatinya dibangun dengan keringat rakyat sendiri. 

Ironis, di negeri yang semakin banyak orang pintar dan berpikiran maju, aksi-aksi seperti ini justru kerap terulang.

Inilah paradoks besar demokrasi kita. Demo yang mestinya sarana beradab untuk menyampaikan suara, malah bergeser menjadi panggung destruksi.

Sejumlah pihak mungkin berdalih bahwa kerusuhan adalah bagian dari “resiko” perjuangan. Tetapi benarkah harus demikian? 

Bukankah peradaban maju justru ditandai dengan kemampuan menyampaikan kritik tanpa merusak, menyuarakan aspirasi tanpa melukai, dan memperjuangkan hak tanpa menginjak hak orang lain?

Sebagaimana ditegaskan oleh Miriam Budiardjo, demokrasi pada hakikatnya adalah sistem yang memberi ruang bagi partisipasi politik rakyat secara luas, namun partisipasi itu harus dijalankan dengan kesadaran dan tanggung jawab. 

Tanpa disiplin dan etika politik, kebebasan justru dapat berubah menjadi ancaman bagi demokrasi itu sendiri.

Kita perlu bercermin. Demokrasi tidak identik dengan kebebasan tanpa batas. Ia membutuhkan disiplin, etika, dan tanggung jawab. Tanpa itu, demokrasi hanya akan menjadi tameng bagi perilaku barbar. 

Bila kita terus membiarkan wajah anarkis menghiasi demo, maka demokrasi yang kita banggakan sesungguhnya sedang tersandera oleh mereka yang tidak paham hakikat kebebasan.

Sudah saatnya semua pihak—baik pengunjuk rasa, aparat, maupun pemerintah—merefleksikan kembali makna demo. Ia bukan ajang uji nyali atau pelampiasan emosi. 

Demo adalah panggung politik rakyat. Dan panggung itu hanya akan bermakna jika diisi dengan sikap yang beradab. Jika tidak, maka benar adanya: demokrasi kita hanyalah ilusi, sementara kerusakan yang ditinggalkan nyata terasa.