Jembatan Keadilan: Merekonstruksi Konsep Nusyuz Agar Sejalan dengan Prinsip Perlindungan Korban dalam Hukum Nasional

Kata yang secara harfiah berarti "pembangkangan" ini, khususnya yang disematkan kepada istri, kerap dijadikan alat untuk menjustifikasi kekerasan, baik fisik maupun psikologis
Ilustrasi keadilan restoratif. Foto : Freepik.com
Ilustrasi keadilan restoratif. Foto : Freepik.com

Di tengah maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Indonesia, muncul sebuah narasi yang sering disalahgunakan untuk membenarkan tindakan kekerasan yakni konsep nusyuz. 

Kata yang secara harfiah berarti "pembangkangan" ini, khususnya yang disematkan kepada istri, kerap dijadikan alat untuk menjustifikasi kekerasan, baik fisik maupun psikologis, oleh suami. 

Pemahaman sempit ini tidak hanya bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam, tetapi juga secara frontal berlawanan dengan kerangka hukum nasional yang berlaku

Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa pemahaman nusyuz harus direinterpretasi secara mendalam. Bukan sebagai izin untuk melakukan kekerasan, melainkan sebagai peringatan dini akan ketidakseimbangan yang perlu diselesaikan secara damai.

Dilema Klasik: Teks Agama versus Hukum Nasional

Secara etimologis, nusyuz merujuk pada sikap meninggi atau membangkang yang dapat merusak harmoni rumah tangga. Namun, narasi yang berkembang sering kali membatasi konsep ini hanya pada istri, seolah-olah hanya istri yang dapat melakukan "pembangkangan." 

Padahal, Al-Qur'an sendiri, dalam Surah An-Nisa ayat 128, secara jelas menyebutkan bahwa nusyuz juga dapat dilakukan oleh suami. Ini adalah fakta krusial yang sering luput dari perhatian. 

Suami yang lalai, tidak adil, atau bahkan melakukan kekerasan juga termasuk dalam kategori nusyuz, karena perilakunya melenceng dari kewajiban dan merusak keharmonisan.

Sayangnya, tafsir yang bias gender ini telah berakar kuat, dan kini menjadi dilema serius ketika berhadapan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). 

UU ini adalah tonggak penting dalam perlindungan korban, secara tegas mengkategorikan setiap bentuk kekerasan fisik, psikologis, seksual, dan penelantaran sebagai tindak pidana.

Di sinilah pertentangan itu muncul. Ketika korban KDRT disalahkan dengan dalih "nusyuz" atau "tidak taat," ini menunjukkan kegagalan memahami bahwa di mata hukum nasional, tidak ada alasan apa pun yang bisa membenarkan kekerasan. 

Hukum tidak mengenal pengecualian bagi kekerasan berdalih agama. Justifikasi agama tidak dapat menggugurkan tindak pidana.

Analisis Teori Hukum Nasional: Nusyuz sebagai Peringatan, Bukan Hukuman

Dalam kerangka hukum nasional, khususnya dalam konteks UU PKDRT, konsep nusyuz harus dilihat dari lensa yang berbeda. Prinsip-prinsip hukum nasional memberikan panduan yang jelas:

  1. Hukum adalah Aturan Terkuat: Dalam hierarki peraturan perundang-undangan, UU PKDRT adalah hukum positif yang harus dihormati dan ditegakkan. Tidak ada ajaran atau pemahaman agama yang dapat meniadakan kekuatan hukum ini. Ketika sebuah perbuatan, seperti kekerasan, memenuhi unsur pidana dalam UU PKDRT, maka pelaku harus diadili berdasarkan hukum tersebut.
  2. Perlindungan Korban sebagai Prinsip Utama: UU PKDRT dibangun di atas asas perlindungan korban, keadilan, dan kesetaraan gender. Ini adalah manifestasi dari prinsip hak asasi manusia yang fundamental, di mana setiap individu, terlepas dari perannya dalam keluarga, berhak atas rasa aman. Dengan demikian, gagasan bahwa istri "pantas" menerima kekerasan karena nusyuz adalah pemikiran yang melanggar hukum dan hak asasi manusia.
  3. Hukum Progresif dan Keadilan Substantif: Hukum nasional, khususnya di bidang perlindungan perempuan dan anak, terus berkembang. Analisis hukum tidak boleh terpaku pada tafsir tekstual yang kaku, tetapi harus berorientasi pada keadilan substantive, keadilan yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat. Dalam kasus KDRT, keadilan substantif berarti melindungi korban dan menghentikan kekerasan, bukan mencari pembenaran untuk menyalahkan mereka.

Oleh karena itu, interpretasi nusyuz harus direkonstruksi agar sejalan dengan hukum nasional. Konsep nusyuz tidak seharusnya menjadi alat penghakiman, tetapi sebagai sinyal bahwa ada masalah dalam hubungan yang memerlukan dialog, mediasi, dan rekonsiliasi. 

Ini sejalan dengan semangat perdamaian yang diusung oleh agama dan mediasi yang diakui dalam sistem hukum.

Rekonstruksi Pemahaman: Menjembatani Agama dan Hukum

Untuk menjembatani kesenjangan antara pemahaman agama dan hukum nasional, diperlukan pendekatan holistik. Pertama, penting untuk melakukan kontekstualisasi tafsir terhadap ayat-ayat Al-Qur'an, seperti Surah An-Nisa: 34, yang kerap disalahpahami sebagai "izin memukul." 

Para ulama kontemporer menegaskan bahwa tahapan penyelesaian konflik dalam rumah tangga dimulai dari nasihat, kemudian pemisahan ranjang, dan sama sekali bukan kekerasan fisik. 

Kata 'daraba' sendiri memiliki makna luas, dan dalam konteks ini, lebih tepat diartikan sebagai "memberi jarak" atau tindakan non kekerasan lainnya yang bertujuan memperbaiki hubungan, bukan menghukum. 

Kedua, diperlukan penegakan kesetaraan gender dengan memahami bahwa nusyuz dapat dilakukan oleh suami maupun istri. Suami yang gagal memenuhi kewajiban, bersikap tidak adil, atau kasar juga dianggap melakukan nusyuz. 

Pemahaman ini menciptakan hubungan yang lebih seimbang di mana kedua belah pihak bertanggung jawab atas keharmonisan pernikahan. 

Terakhir, harus ada integrasi kuat antara hukum dan moral, di mana konsep nusyuz diintegrasikan dengan hukum nasional. Ajaran agama berfungsi sebagai penguat moral untuk menyelesaikan konflik secara damai, bukan sebagai alat untuk membenarkan tindakan melanggar hukum.

Pada akhirnya, reinterpretasi nusyuz adalah keharusan. Kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat dibenarkan oleh alasan apa pun, termasuk alasan agama.

Keadilan, kasih sayang, dan perlindungan adalah nilai-nilai universal yang dijamin baik oleh ajaran agama maupun hukum nasional. Dengan menyatukan kedua landasan ini, masyarakat dapat membangun keluarga yang tidak hanya harmonis, tetapi juga aman dan adil bagi setiap anggotanya. 

Tantangan terbesar adalah menyebarkan pemahaman ini, agar kesadaran kolektif masyarakat bergeser dari pembenaran kekerasan menjadi komitmen untuk menciptakan rumah tangga yang berlandaskan kasih sayang dan hukum.

Penulis: M. Yanis Saputra
Editor: Tim MariNews