Sistem perpajakan Indonesia mengalami perkembangan signifikan dengan semakin strategisnya peran Pengadilan Pajak dalam menyelesaikan sengketa antara wajib pajak dan otoritas fiskal. Pengadilan Pajak kini menjadi benteng terakhir bagi wajib pajak yang memiliki kepentingan hukum yang belum terpenuhi atas keputusan Direktorat Jenderal Pajak, termasuk dalam kasus-kasus Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang kerap menimbulkan kontroversi.
Salah satu kasus yang mencuat adalah sengketa PBB di Kabupaten Pati yang melibatkan puluhan ribu wajib pajak. Situasi ini memperlihatkan kompleksitas penetapan nilai PBB yang diduga tidak sesuai dengan kondisi riil properti, mengakibatkan beban pajak yang tidak proporsional bagi masyarakat. Fenomena serupa terjadi di berbagai daerah, menunjukkan pentingnya mekanisme penyelesaian permasalahan pajak yang adil dan efektif.
Prosedur penyelesaian sengketa pajak mengikuti hierarki administratif yang jelas. Wajib pajak yang keberatan terhadap penetapan pajak harus terlebih dahulu mengajukan keberatan kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam jangka waktu tiga bulan sejak diterimanya Surat Ketetapan Pajak. Jika keberatan ditolak atau tidak mendapat tanggapan dalam waktu yang ditentukan, Wajib Pajak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak sebagai upaya hukum lanjutan.
Ada stigma negatif pada masyarakat bahwa Pengadilan Pajak merupakan instansi yang berada di bawah pembinaan Departemen Keuangan, namun dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XXI/2023, Pengadilan Pajak sekarang berpindah dari naungan Departemen Keuangan ke Mahkamah Agung. Perubahan ini merupakan terobosan revolusioner yang mengakhiri potensi konflik kepentingan yang selama ini membayangi lembaga peradilan pajak.
Putusan tersebut penting oleh karena sebagian besar perkara menempatkan Kementerian Keuangan sebagai salah satu pihak yang bersengketa pada Pengadilan Pajak. Tidak tertutup kemungkinan adanya potensi konflik kepentingan serta menimbulkan keraguan terhadap objektivitas putusan, mengingat hakim pajak pada dasarnya berada dalam struktur yang sama dengan pihak yang digugat.
Dengan beralihnya pembinaan Pengadilan Pajak ke Mahkamah Agung, Pengadilan Pajak kini memiliki independensi penuh baik secara institusional, administratif, maupun finansial. Perubahan ini diharapkan meningkatkan kualitas putusan dan menguatkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan pajak. Hakim pajak kini dapat memutus perkara tanpa tekanan atau intervensi dari pihak eksekutif.
Independensi Pengadilan Pajak menjadi kunci dalam menciptakan sistem perpajakan yang berkeadilan. Wajib pajak memiliki jaminan lebih kuat bahwa sengketa mereka akan diadili secara objektif dan imparsial. Hal ini pada akhirnya akan mendorong voluntary compliance dan memperkuat fondasi sistem perpajakan Indonesia yang lebih demokratis dan akuntabel.