Ada sebuah kisah perjalanan Nabi yang terus relevan di setiap zaman, suatu kisah tentang manusia yang berdiri sendirian di hadapan tirani, dengan hanya bersenjata suara kebenaran dalam dirinya. Nama Nabi tersebut, adalah Musa A.S.
Ia menentang Firaun yang pada waktu itu merupakan simbol kekuasaan. Musa A.S datang tanpa pasukan, dan tanpa peralatan persenjataan, hanya dengan tekad bahwa yang benar harus diucapkan, walaupun itu artinya diucapkan dihadapan Firaun sekalipun.
Saat, Nabi Musa merasa takut, ia berdoa “Ya Tuhanku, Lapangkanlah dadaku, mudahkanlah urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka mengerti perkataanku” (Q.S Taha Ayat 25 sampai 28)
Hari ini, ribuan tahun setelah tongkat Musa membelah lautan, kisah Musa A.S senyatanya masih hidup di dalam ruang-ruang sidang, di balik toga dan ketukan palu.
Selasa (4/11), publik dikejutkan oleh kabar rumah seorang Hakim di Pengadilan Negeri Medan, Khamazaro Waruwu diduga dibakar oleh orang tidak dikenal.
Kasus ini, muncul berbarengan dengan perkara korupsi yang menarik perhatian publik dan melibatkan sejumlah nama besar, sedang ditanganinya.
Dugaan publik menguat terhadap pembakaran itu, bukan sekadar tindak kriminal biasa, melainkan pesan intimidasi terhadap independensi hakim.
Menurut keterangan pers dari Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia, bagian ruangan yang terbakar adalah kamar utama, dimana terdapat semua dokumen penting serta barang-barang berharga.
Akibat kebakaran tersebut, semua penyimpanan dokumen serta barang berharga terbakar, dan tinggal baju di badan yang tertinggal.
Di negeri ini, para Hakim bukan hanya menegakan hukum, tapi juga harus menanggung murka dari pihak yang tidak puas, kalah, curiga, dan tatapan sinis mereka yang menonton.
Kita sendiri, sering lupa bahwa Hakim bukanlah robot di balik meja hijau. Ia juga manusia yang memiliki rasa khawatir.
Namun, sistem menuntut mereka untuk dilarang bicara di luar berkas perkara, dan tidak boleh terpengaruh meski dituduh macam-macam di media.
Memberikan keadilan berdasarkan pembuktian itu tugasnya, namun rasa aman bukan jaminannya. Musa A.S pun begitu, sosoknya tidak dijanjikan kemenangan dan keamanan yang cepat.
Tugasnya hanya menyampaikan kebenaran, walupun pada akhirnya ditolak oleh penguasa saat itu.
Di zaman ini, musuh keadilan tidak selalu berbentuk Firaun, wajah tirani bisa muncul dari mana saja, dari tekanan kekuasaan, opini publik, linimasa yang manghakimi sebelum sidang selesai atau bahkan dari api yang membakar rumah.
Dalam kisahnya, Musa A.S pernah berdiri di tepi Laut Merah dan diantara dua ketakutan, laut di depan dan pasukan Firaun di belakang. Ketakutan disekelilingnya sama besar dengan keyakinanya.
Namun Musa A.S tetap melangkah maju dengan keyakinanya bahwa Allah S.W.T (Tuhan Masa Esa), akan menuntunnya.
Lalu Allah SWT berfirman “Pukullah laut dengan tongkatmu itu, maka, terbelahlah (laut itu) dan setiap belahan seperti gunung yang sangat besar.” (Q.S Asy-Syu’ara : 63)
Kisah itu bukan hanya sekedar mukjizat nabi Musa A.S, melainkan simbol bahwa keajaiban datang setelah langkah keberanian diambil. Begitu juga dengan hukum, ia baru bermakna ketika ditegakan, bahkan saat semua orang ingin berhenti dan tidak mempercayainya lagi.
Rumah bisa dibakar, tapi gagasan tentang keadilan tidak boleh dipadamkan.
Hal ini, dikarenakan keadilan bukan hanya sekedar pasal dalam Undang-Undang, melainkan keyakinan bahwa kebenaran masih pantas untuk diperjuangkan.
Setiap Hakim yang duduk tegak di dalam ruang sidang, di tengah tekanan dan ancaman, sesungguhnya sedang meneladani Musa, berbicara lewat putusannya dihadapan kekuasaan, sambil berdoa agar di dalam hatinya tetap lapang.
Sama seperti tongkat Musa A.S yang tetap menjadi simbol keberanian melawan tirani, palu Hakim pun seharusnya tetap berdentum diatas meja, bukan dibawah tekanan.
Keadilan dapat saja tidak membuat aman bagi sang pengadil, namun tanpa keadilan suatu bangsa tidak akan pernah punya arah.
Dan seperti Musa A.S, Para Hakim harus terus berjalan, dengan dada yang dilapangkan, pikiran yang dijernihkan, dan tekad bergelora, meski dunia di sekitarnya terbakar.


