Kisah Tragis Seorang Hakim dalam Perantauan

Hari ini, seorang hakim, YM Zaenal Arif, Hakim Pengadilan Negeri Palembang, berpulang ke rahmatullah di kamar kost tempat beliau tinggal.
YM Zaenal Arif, Hakim Pengadilan Negeri Palembang. Foto : Dokumentasi Pribad
YM Zaenal Arif, Hakim Pengadilan Negeri Palembang. Foto : Dokumentasi Pribad

Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Kabar duka kembali menyelimuti keluarga besar peradilan Indonesia.

Hari ini, seorang hakim, YM Zaenal Arif, Hakim Pengadilan Negeri Palembang, berpulang ke rahmatullah di kamar kost tempat beliau tinggal.

Kabar itu terasa menyesakkan. Bagi sebagian orang, mungkin ini sekadar berita duka. Namun bagi saya, almarhum bukan sekadar rekan sejawat. Ia adalah adik dari Panitera di Pengadilan Negeri Indramayu, tempat saya pernah bertugas. 

Kami beberapa kali berjumpa dalam pelatihan dan forum silaturahmi. Sosoknya ramah, tenang, dan rendah hati.

Di tengah kesibukan menjalankan tugas negara, profesi hakim memang sering kali menuntut pengorbanan yang sunyi.

Banyak hakim harus meninggalkan keluarga dan bertugas di daerah perantauan, tinggal di rumah kontrakan atau kamar kos sederhana, sembari memikul beban tanggung jawab yang berat: menegakkan hukum, menjaga integritas, dan melayani masyarakat dengan adil.

Pengabdian dalam diam, tanpa panggung, tanpa keluh.

Kisah almarhum YM Zaenal Arif bukan yang pertama.

Pada September 2024, publik juga dikejutkan oleh berita seorang hakim Pengadilan Agama Purwodadi yang ditemukan meninggal dunia di kamar kos setelah beberapa hari tak terlihat.

Hasil pemeriksaan menunjukkan korban terpeleset di kamar mandi dan kepalanya terbentur dinding.

Kisah ini kembali membuka mata banyak pihak tentang kesendirian para hakim yang bertugas jauh dari keluarga.

Beberapa bulan sebelumnya, pada 5 November 2023, kabar serupa datang dari Batam. YM Nanang Herjunanto, Hakim Pengadilan Negeri Batam, ditemukan meninggal dunia di kamar hotel tempatnya menginap dalam rangka tugas kedinasan.

Menurut laporan resmi, almarhum wafat akibat serangan jantung, dengan riwayat hipertensi dan kolesterol.

Ia dikenal sebagai pribadi disiplin, penuh dedikasi, dan bersahaja. Beliau wafat dalam pengabdian, di tengah tugas, jauh dari keluarga dan keramaian dunia.

Sementara itu, pada 2 Februari 2021, kabar duka datang dari Semarang. YM Cicut Sutiarso, Ketua Pengadilan Tinggi Semarang, meninggal dunia secara mendadak di rumah dinasnya.

Beliau tinggal seorang diri karena keluarga berada di luar kota. Sosoknya dikenal tegas namun hangat, pemimpin yang disegani oleh jajaran peradilan Jawa Tengah.

Kepergiannya menegaskan kenyataan bahwa bahkan pada jenjang tertinggi, seorang hakim tetap harus siap hidup dalam kesunyian tugas.

Lebih jauh ke belakang, pada 4 Maret 2019, peristiwa serupa terjadi di Makassar. YM Eko Purwanto, Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Makassar, ditemukan meninggal dunia di kamar kos tempat beliau tinggal.

Berita ini dikonfirmasi oleh kepolisian setempat dan diberitakan oleh berbagai media nasional.

Meski telah berpangkat tinggi, beliau memilih tinggal di kos sederhana demi efisiensi dan kedekatan dengan tempat tugas, simbol nyata kesederhanaan dan tanggung jawab seorang abdi hukum yang tulus.

Dan masih banyak kisah tragis lain yang tak tertulis, namun membekas di ingatan seluruh hakim Indonesia.

Kisah-kisah sunyi dari mereka yang mengabdikan hidupnya untuk menegakkan keadilan, sering kali jauh dari keluarga, tanpa sorotan, tanpa kemewahan

Kesadaran atas kenyataan itu bahkan sampai ke telinga kepala negara.

Dalam Sidang Istimewa Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI pada 19 Februari 2025, Presiden Prabowo Subianto dengan tegas menyampaikan keprihatinannya:

“Saya juga dapat laporan banyak hakim kita tidak punya rumah dinas. Banyak hakim kita masih kos, ini tidak boleh terjadi. Ada Menteri Keuangan nggak di sini?”

Beliau juga menegaskan:

“Rakyat kita, apalagi yang paling lemah dan paling miskin, tempat terakhir mereka mencari keadilan adalah kepada para hakim. Kualitas hidup hakim-hakim kita harus yang terbaik.”

Pernyataan Presiden ini menjadi penegasan moral negara bahwa kualitas hidup dan kesejahteraan hakim bukan semata urusan administratif, melainkan bagian dari martabat peradilan itu sendiri.

Data dari Komisi Yudisial (KY) juga menunjukkan bahwa dari survei terhadap 567 hakim di seluruh Indonesia, mayoritas menyatakan penghasilan yang diterima masih belum mencukupi kebutuhan hidup secara layak, terutama bagi mereka yang bertugas jauh dari keluarga.

Kondisi ini bukan hanya berdampak pada kesejahteraan pribadi, tetapi juga pada keseimbangan psikologis dan profesionalisme dalam menjalankan tugas.

Meski demikian, ada harapan yang tumbuh. Mahkamah Agung RI bersama pemerintah telah merancang program kenaikan penghasilan hakim hingga sekitar 280%, disertai pembangunan rumah dinas hakim di berbagai daerah.

Langkah ini menunjukkan komitmen nyata negara untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi beban hidup hakim di perantauan.

Namun, implementasinya tentu memerlukan waktu, konsistensi, dan pengawasan agar benar-benar dirasakan hingga ke pelosok.

Profesi hakim, sejatinya, bukan hanya pekerjaan, tetapi pengabdian yang penuh pengorbanan.

Mereka tidak hanya memikul beban hukum, tetapi juga beban batin, kesepian, tekanan moral, dan tanggung jawab yang kadang tak sebanding dengan kesejahteraan yang diterima.

Karena itu, kisah-kisah ini seharusnya menjadi cermin bagi kita semua: bahwa di balik toga dan palu sidang, ada manusia-manusia yang berjuang menjaga martabat hukum dengan segala keterbatasan.

Sudah sepatutnya perhatian terhadap aspek kemanusiaan dan kesejahteraan hakim menjadi bagian integral dari reformasi peradilan.

Sebab, kesejahteraan hakim adalah bagian dari martabat peradilan itu sendiri.

Dari Beijing saya mengucapkan Selamat jalan, para sahabat dan kolega tercinta.

Semoga Allah SWT menerima seluruh amal ibadahmu, mengampuni segala khilaf, dan menempatkanmu di tempat terbaik di sisi-Nya.

Al-Fatihah.

Penulis: Sobandi
Editor: Tim MariNews