Putusan pemidanaan adalah hasil akhir dari suatu perkara pidana yang dihadapkan di pengadilan, apabila Terdakwa dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana dan mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya jika tidak ditemukan adanya hal-hal yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana, serta tidak tercapainya upaya perdamaian melalui pendekatan keadilan restoratif (restorative justice).
Mengacu pada Pasal 10 KUHP, hukuman pidana terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan.
Pidana pokok meliputi pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda.
Sementara pidana tambahan meliputi pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan.
Penerapan hukuman pidana tersebut berlaku terhadap perkara pidana yang diatur dalam KUHP, salah satunya perkara pencurian.
Mengutip data pada Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Kuala Simpang periode Januari hingga Agustus 2025, dari 63 (enam puluh tiga) perkara dengan klasifikasi pencurian, sejumlah 42 (empat puluh dua) diantaranya adalah perkara pencurian buah kelapa sawit dengan 30 (tiga puluh) perkara yang pelakunya sudah pernah dijatuhi hukuman pidana, baik dengan acara pemeriksaan cepat (tipiring) maupun acara biasa.
Artinya sekitar 71,43% (tujuh puluh satu koma empat puluh tiga persen) perkara dengan klasifikasi pencurian terhadap buah kelapa sawit adalah pelaku tindak pidana pencurian yang kembali mengulangi tindak pidana serupa.
Sekilas besar kerugian yang diderita hanya sejumlah Rp150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah) bahkan kurang dari itu. Namun, nominal itu hanya sebatas kerugian yang diderita korban pada saat pelaku pencurian sawit sedang tertangkap tangan melakukan aksinya, tidak terhitung pada saat pelaku mengambil buah kelapa sawit dan tidak dapat dibuktikan lagi jumlah kerugiannya.
Ketika ternyata seorang Terpidana kembali melakukan tindak pidana serupa, timbul pertanyaan apakah hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak pidana sudah benar-benar mencerminkan maksud dari pemidanaan yang memberikan efek jera bagi pelakunya, mengingat presentase perkara dengan pelaku yang kembali melakukan tindak pidana serupa.
Tentunya penerapan hukuman tersebut dapat dikaji kembali karena masih mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau bisa disebut dengan KUHP Lama, dengan alternatif penjatuhan hukuman pidana pokok hanya terbatas pada pidana penjara, denda, kurungan, atau bahkan pidana bersyarat (percobaan).
Penerapan Hukuman Pidana berdasarkan KUHP Nasional
Sementara jenis-jenis pidana berdasarkan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional), terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu pidana pokok, pidana tambahan, dan pidana yang bersifat khusus.
Pidana pokok sesuai Pasal 65 KUHP Nasional terdiri dari 5 (lima) jenis yaitu pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial.
Pidana tambahan berdasarkan Pasal 66 KUHP Nasional terdiri dari 6 (enam) jenis meliputi pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu dan/atau tagihan, pengumuman putusan hakim, pencabutan izin tertentu, dan pemenuhan kewajiban adat setempat.
Lalu berdasarkan Pasal 67 KUHP Nasional, tindak pidana yang dapat diancam dengan pidana yang bersifat khusus adalah tindak pidana yang luar biasa meliputi tindak pidana narkotika, terorisme, korupsi, dan hak asasi manusia.
Menelaah pada KUHP Nasional yang akan berlaku pada 1 Januari 2026 mendatang, terhadap perkara pencurian terdapat alternatif penjatuhan pidana selain pidana penjara atau denda, yaitu dengan pidana tutupan, pidana pengawasan, atau pidana kerja sosial.
Mengutip Penjelasan Pasal 65 KUHP Nasional dalam Buku Anotasi KUHP Nasional oleh Eddy O.S. Hiariej dan Topo Santoso, yang menjelaskan bahwa pidana tutupan, pidana pengawasan, dan pidana kerja sosial pada dasarnya merupakan suatu jenis pidana yang memperhatikan keseimbangan kepentingan antara perbuatan dan keadaan pelaku tindak pidana (daad-daderstrafrecht).
Selanjutnya dalam memilih jenis pidana, Hakim senantiasa berorientasi pada tujuan pemidanaan dengan mendahulukan atau mengutamakan jenis pidana yang lebih ringan jika hal tersebut telah memenuhi tujuan pemidanaan.
Kembali pada keadaan pengulangan tindak pidana serupa bahkan di wilayah hukum yang sama. Melalui ketentuan Pasal 23 KUHP Nasional, telah diatur bahwa terhadap seseorang yang sudah pernah dijatuhi hukuman pidana atau pengulangan (residive) dapat dijatuhi pidana yang lebih berat dari pidana sebelumnya.
Namun apakah peraturan baru tersebut akan bisa mengakomodir tujuan dari pemidanaan itu sendiri yaitu untuk memberikan efek jera bagi pelaku, serta sebagai peringatan bagi masyarakat lainnya?
Tentunya hal itu baru bisa terjawab setelah KUHP Nasional diterapkan secara keseluruhan dan diobservasi dalam jangka waktu tertentu setelah Terpidana kembali ke lingkungan masyarakat.
Barang kali bukan tentang lamanya masa pemidanaan yang mampu membuat jera pelaku tindak pidana, namun dengan diterapkannya pidana pengawasan atau pidana kerja sosial terhadap pelaku tindak pidana.
Apapun jenis pidana yang diterapkan kelak, semoga pemidanaan dengan mengacu pada ketentuan KUHP Nasional bisa mengembalikan tujuan pemidanaan yang memberikan efek jera bagi pelakunya, semoga!

