Simfoni Keadilan Sang Penentu dan Irisan Konsep Sosok Ideal dalam Panggung Peradilan

Peran ini tidak pernah sebatas penerapan kaidah normatif, melainkan sebuah pertarungan eksistensial antara idealitas dan realitas
Ilustrasi hakim. Foto : Freepik
Ilustrasi hakim. Foto : Freepik

Dalam panggung peradilan, Hakim berdiri sebagai arsitek keadilan, sosok yang memanggul tanggung jawab untuk menafsirkan teks hukum yang beku dan menjadikannya sebuah keputusan yang hidup, berdenyut, dan adil bagi manusia. 

Peran ini tidak pernah sebatas penerapan kaidah normatif, melainkan sebuah pertarungan eksistensial antara idealitas dan realitas, antara kehendak bebas dan semangat kebenaran. 

Dalam konteks ini, figur Hakim ideal selalu menarik untuk ditelaah melalui lensa filosofis, khususnya ketika dihadapkan pada gagasan-gagasan tentang manusia unggul, seperti Übermensch dari Friedrich Nietzsche, Insan Kamil dari Muhammad Iqbal, dan Manusia Karismatik dari Max Weber. 

Sosok-sosok ideal ini, meskipun berakar dari tradisi pemikiran yang berbeda, menawarkan dimensi yang bernas untuk memahami kualitas transendental yang harus dimiliki seorang Hakim dalam tujuannya memberikan keadilan yang sejati.

Hakim dan Kehendak Kuasa : Dialektika Hukum dan Übermensch Nietzsche

Friedrich Nietzsche, melalui konsepnya tentang Übermensch (Manusia Unggul), menantang nilai-nilai moralitas tradisional yang ia anggap sebagai moralitas budak, menuntut manusia untuk melampaui dirinya sendiri dan menciptakan nilai-nilai baru. 

Übermensch adalah manifestasi dari kehendak untuk berkuasa (Wille zur Macht), bukan dalam arti dominasi fisik semata, melainkan sebagai dorongan mendasar untuk pertumbuhan, penciptaan, dan penentuan diri.

Dalam ruang sidang, seorang Hakim yang merefleksikan spirit Übermensch akan menjadi seorang pencipta hukum, berani melakukan judicial activism, berani melakukan rule breaking dan rule making ketika berhadapan dengan nihilisme hukum, keadaan dimana aturan tekstual gagal memberikan jawaban yang adil. 

Hakim semacam ini tidak akan tunduk pada interpretasi legal-positivistik yang kaku (moralitas budak), yang hanya melihat hukum sebagai perintah tertulis. 

Sebaliknya, ia akan menggunakan kehendaknya untuk berkuasa (Wille zur Macht) dalam menafsirkan dan menerapkan hukum demi menciptakan keadilan substantif yang lebih tinggi. 

Ia berani mengambil risiko untuk melampaui preseden atau teks hukum yang usang demi menegakkan kebenaran. 

Kualitas ini menempatkan Hakim tidak hanya sebagai pelayan, tetapi sebagai penentu keadilan yang bertanggung jawab penuh atas penciptaan nilai dalam setiap putusannya. 

Ia adalah individu yang telah "mengatakan ya" (amor fati) pada kesulitan dan penderitaan dalam pengambilan keputusan, menjadikannya sebuah seni penentuan yang otentik.

Penyeimbang Kosmis : Insan Kamil Iqbal dan Integritas Moral Hakim

Berbeda dari semangat nihilistik Nietzsche, Muhammad Iqbal, seorang filsuf dan penyair muslim, menawarkan konsep Insan Kamil (Manusia Sempurna), yang berakar pada tradisi spiritual dan etika Islam. 

Insan Kamil adalah figur yang mencapai kesadaran diri tertinggi (khudi), mengintegrasikan unsur materi dan spiritual, dan menjadi wakil Tuhan di dunia. 

Kualitas utamanya adalah penguasaan diri dan kepatuhan pada prinsip-prinsip etika universal, yang memungkinkan individu untuk menjadi "pelayan Tuhan" dan menegakkan keadilan Ilahiah.

Dalam konteks peran Hakim, sosok Insan Kamil menyumbangkan dimensi integritas moral yang tak tergoyahkan. 

Hakim yang berjiwa Insan Kamil tidak hanya berfokus pada logika hukum positif, tetapi juga pada dimensi moral-etik dari setiap perkara. Ia adalah sosok yang memiliki kesadaran diri (khudi) yang kuat, yang melindunginya dari godaan korupsi, bias, dan kepentingan pribadi.
 
Putusannya bukan sekadar hasil dari silogisme hukum, melainkan refleksi dari hati nurani yang terhubung dengan kebenaran kosmis yang lebih besar. 

Ia adalah penyeimbang, mampu menahan diri dari kehendak semu yang dapat memperbudaknya dan memastikan bahwa hukum berfungsi untuk mengangkat martabat kemanusiaan, bukan menindasnya. 

Kualitas ini menekankan bahwa keberanian seorang Hakim harus selalu didampingi oleh kebijaksanaan etis yang mendalam.

Legitimasi dan Kepercayaan: Manusia Karismatik Max Weber

Max Weber memperkenalkan konsep otoritas karismatik dan Manusia Karismatik dalam teorinya tentang tipologi dominasi. 

Karismatik adalah sosok yang memiliki kualitas luar biasa, yang dianggap suci, heroik, atau teladan, dan atas dasar itu, ia menuntut ketaatan dari pengikutnya. 

Legitimasi karismatik ini berdiri di samping legitimasi tradisional dan rasional-legal.

Dalam lingkungan hukum yang beroperasi berdasarkan legitimasi rasional-legal (hukum tertulis), seorang Hakim ideal perlu memiliki sentuhan karisma. 

Hakim karismatik adalah individu yang melalui kekuatan kepribadian, kejernihan argumentasi, dan ketegasan etis, mampu menghasilkan putusan yang diterima secara luas, tidak hanya karena putusan itu sah secara hukum, tetapi juga karena putusan itu dirasakan adil. 

Karisma seorang Hakim diterjemahkan menjadi kepercayaan publik, yang merupakan fondasi esensial bagi tegaknya supremasi hukum. 

Tanpa kepercayaan ini, sistem peradilan hanya akan menjadi struktur birokratis yang hampa. Karisma ini memampukan Hakim untuk memimpin perubahan dalam penafsiran hukum dan mendorong evolusi keadilan dalam masyarakat.

Sintesis Sosok Ideal dalam Diri Hakim

Dari Nietzschean Übermensch, seorang Hakim harus menyerap keberanian untuk melampaui teks demi keadilan substantif, menolak kepatuhan semu, dan memimpin kehendak dirinya untuk menciptakan putusan yang otentik.

Dari Insan Kamil Iqbal, ia harus menginternalisasi integritas moral dan spiritual yang mendalam, memastikan bahwa "kehendak untuk berkuasa" diarahkan pada pengabdian keadilan yang luhur, bukan pada ego atau kepentingan duniawi. 

Dari Manusia Karismatik Weber, ia harus memancarkan otoritas moral yang membuat putusannya berwibawa dan dapat dipercaya oleh masyarakat, mengikat legitimasi hukum (rasional-legal) dengan legitimasi etis yang diperoleh dari penerimaan publik.

Keadilan sebagai Karya Seni

Pada akhirnya, peran Hakim adalah sebuah bentuk karya seni yang menuntut lebih dari sekadar keahlian teknis. Ia menuntut sebuah karakter transenden yang mampu menghadapi ambiguitas moral dan kompleksitas manusia.
 
Hukum yang hidup dan berkembang membutuhkan figur-figur yang siap memikul beban ketidakpastian ini, menciptakan jalur keadilan di mana sebelumnya hanya ada kekosongan atau kebekuan. 

Pengayaan peran Hakim dengan menilik sosok ideal dari berbagai tradisi filsafat, dari keberanian individualistik Nietzsche hingga keteguhan etis Iqbal, serta wibawa publik Weber menggarisbawahi pentingnya sosok manusia di balik toga yang mereka kenakan. 

Keadilan sejati, dalam tatanan duniawi, selalu bergantung pada kualitas sosok penentunya.

Keadilan sejati tidak hanya terletak pada legalitas, tetapi pada keputusan yang diambil oleh seorang individu yang telah melampaui keterbatasan manusia biasa, yakni seorang Übermensch dengan hati seorang Insan Kamil, yang putusannya membawa karisma kebenaran.

Daftar Referensi

Iqbal, Muhammad. (1930). The Reconstruction of Religious Thought in Islam. London: Oxford University Press.
Nietzsche, Friedrich. (2006). Thus Spoke Zarathustra: A Book for All and None. (A. Del Caro, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
Weber, Max. (1968). Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology. G. Roth & C. Wittich, Eds. Berkeley: University of California Press.
Posner, Richard A. (1990). The Problems of Jurisprudence. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Merryman, John Henry. (2007). The Civil Law Tradition: An Introduction to the Legal Systems of Western Europe and Latin America. Stanford: Stanford University Press.