Hakim Dan Tuntutan Zaman: Menghadirkan Common Sense Hukum Di Tengah Arus Nalar Publik

Permasalahan muncul manakala hukum positif gagal menjawab kompleksitas zaman. Disinilah peran penting hakim sebagai katalisator.
Ilustrasi hakim. Foto ; Freepik.com
Ilustrasi hakim. Foto ; Freepik.com

Hukum seringkali terjebak dalam dikotomi yang kaku, yaitu antara legal certainty (kepastian hukum) sebagaimana yang termuat dalam teks peraturan perundang-undangan dengan keadilan substansial yang hidup dalam sanubari masyarakat. 

Pada perkembangannya, masyarakat tampaknya tidak lagi memandang pengadilan sebagai pencipta keadilan yang murni. 

Masyarakat kini memiliki nalar sendiri, atau yang disebut dengan Public Reason (Nalar publik) yang kritis, yang terus memantau apakah pengadilan mampu menghadirkan keadilan di tengah masyarakat yang semakin kompleks atau hanya sebatas mengimplementasikan prosedur yang kaku.

Permasalahan muncul manakala hukum positif gagal menjawab kompleksitas zaman. Disinilah peran penting hakim sebagai katalisator. 

Hakim senantiasa dituntut tidak hanya menjadi “corong undang-undang” (la bouche de la loi) tetapi juga menghadirkan common sense hukum, sebuah implementasi dari kearifan dan kebijaksanaan seorang hakim, agar hukum tetap relevan dan tidak kehilangan sisi kemanusiaannya.

Memahami Public Reason dan Common Sense

Public Reason bukanlah sekedar opini masyarakat yang emosional atau tekanan massa, baik yang dituangkan secara langsung maupun yang saat ini sedang marak diekspresikan melalui media elektronik (opini netizen). 

Penulis berpijak pada pemikiran John Rawls, yang pada pokoknya, melihat esensi Public Reason yaitu “people should exercise political power in relation to certain issues (e.g. when publicly discussing or voting in relation to fundamental issues of justice) only when they sincerely and reasonably believe that the reasons they offer for their political actions are sufficient and capable of reasonably being accepted by other citizens”  (orang-orang harus menggunakan kekuasaan politik terkait isu-isu tertentu, misalnya ketika publik membahas atau memberikan suara terkait isu-isu mendasar tentang keadilan, hanya ketika mereka dengan tulus dan masuk akal percaya bahwa alasan yang mereka berikan untuk tindakan politik mereka cukup dan mampu diterima secara wajar oleh warga lain). 

Dengan kata lain, John Rawls mengemukakan, public reason dimaknai sebagai penggunaan kekuasaan politik terkait isu keadilan, yang didasari pada alasan yang tulus dan dapat diterima secara wajar oleh warga lainnya.

Pada konteks hukum, public reason menuntut agar setiap putusan hakim dapat dipahami secara logis dan diterima secara moral. Manakala sebuah putusan terasa ganjil, nalar publik akan bereaksi. 

Reaksi ini adalah sinyal bahwa ada diskoneksi antara teks hukum dengan realitas sosial. 

Hakim harus mampu membaca nalar publik ini bukan sebagai ancaman terhadap independensi, melainkan sebagai salah satu sumber untuk menggali nilai-nilai keadilan yang berkembang.

Common sense atau akal sehat hukum adalah kemampuan untuk melampaui formalitas hukum demi mencapai kebenaran yang hakiki. Mengapa hal ini penting? 

Hal ini penting karena:

  1. Hukum senantiasa tertinggal dari perkembangan masyarakat. Undang-Undang bersifat statis, sedangkan dinamika masyarakat bersifat kinetis. Common sense dapat menjadi jembatan untuk mengisi kekosongan tersebut;
  2. Seringkali penerapan hukum yang terlalu kaku justru menimbulkan ketidakadilan yang absurd. Common sense dapat digunakan sebagai filter agar logika hukum tetap selaras dengan logika kemanusiaan;
  3. Setiap kasus memiliki keunikan tersendiri. Common sense memungkinkan hakim untuk mempertimbangan berbagai aspek, yaitu aspek sosiologis, psikologis, latar belakang perbuatan, bukan sebatas mencocokkan perbuatan dengan pasal.

Hal ini pun selaras dengan kewajiban hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

Menghindari Jebakan Populisme Hukum

Namun, tantangannya adalah bagaimana hakim menjaga batas agar tidak terjebak dalam populisme hukum. 

Penulis memaknai populisme hukum sebagai fenomena dimana penegakan hukum atau putusan pengadilan cenderung mengikuti opini dan emosi publik, demi memenuhi tuntutan masyarakat dengan mengabaikan prinsip-prinsip hukum yang fundamental. 

Menyikapi tantangan ini, Hakim tidak boleh sekadar menjadi “alat pemuas” dari kemarahan publik atau pengikut arus opini yang viral (trial by mob), karena hal ini akan berdampak nyata pada pengingkaran akan hak-hak Terdakwa serta prinsip due process of law. 

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, public reason bukanlah suara mayoritas yang emosional, melainkan nalar yang berbasis pada prinsip-prinsip keadilan yang universal dan dapat dipertanggungjawabkan secara logis. 

Melalui common sense, Hakim menyaring mana aspirasi publik yang benar-benar berakar pada rasa keadilan substansial, dan mana yang sekadar kebisingan sesaat. 

Oleh karena itu, Common Sense dan Public Reason tidak boleh menggerus independensi. Sebaliknya, keduanya harus menjadi alat uji bagi pertimbangan hukum. 

Dengan demikian, dalam membangun ratio decidendi sebuah putusan terhadap perkara yang ditangani, Hakim harus mampu menciptakan harmoni di antara pilar, yaitu Teks Hukum (sebagai pilar kepastian hukum), Public Reason (sebagai kompas keadilan masyarakat)¸dan Common Sense (sebagai mesin penggerak nurani dalam memutus suatu perkara), sehingga independensi hakim tidak runtuh, melainkan semakin kokoh karena Hakim memutus tidak hanya berdasarkan teks, tetapi juga berdasarkan nalar hukum yang hidup dan berintegritas. 

Inilah esensi kehadiran Hakim yang tidak hanya cakap berdasarkan hukum, tetapi juga bijaksana dalam merespon tuntutan zaman.

Penulis: Giovani
Editor: Tim MariNews