Dalam ajaran hukum Islam, seorang qadhi itu tugasnya jelas dia bukan raja yang harus dimuliakan dengan harta benda dan kemewahan.
Justru sebaliknya, mereka penjaga ruh dan jiwa keadilan yang harus bersahaja, menjauh dari sifat sombong dan gaya hidup yang melampaui kewajaran.
Kesederhanaan bukan hanya pilihan pribadi, tetapi sebagai kode etik moral yang melekat pada jabatan hakim.
Ini adalah pondasi di mana martabat qadhi (hakim) harus dijaga agar tidak bergaya hidup mewah dan sederhana untuk meyakinkan kepercayaan umat, qadhi benar-benar adil dan dapat dipercaya.
Seorang hakim harus menjadi teladan, bukan justru sibuk dengan kemewahan dan gemerlap hidupnya.
Begitu dia tampil sederhana, orang akan yakin, putusannya murni, tidak ada pengaruh apapun.
Itulah cara paling ideal membangun kredibilitas lewat moralitas yang membumi, bukan memamerkan harta kekayaan yang dimilikinya.
Kesederhanaan sebagai Etika Kekuasaan Hakim
Khalifah Umar bin Khattab telah memberikan warningnya sebagai pemimpin, beliau memastikan qadhi (hakimnya) diberi kecukupan agar mereka tidak mudah tergoda dengan harta orang lain.
Pesan beliau kepada Abu Musa Al-Asy’ari menjadi hakim harus jujur, moralnya baik, dan hatinya bersih ketiak memutus perkara.
Jadi, integritas hakim itu bukan hanya dari aturan ketat, tetapi dari cara hidupnya yang sederhana karena jika gaya hidup hakim tampak berlebihan, persepsi publik terhadap keadilan pun mudah terganggu.
Imam al-Māwardī dan Imam al-Ghazālī menegaskan bahwa hakim adalah figur publik, yang harus menjaga image, hindari menerima hadiah, dan perilakunya tidak meninbulkan kecurigaan.
Karena, masyarakat menilai adil atau tidaknya pengadilan itu dari tingkah laku hakimnya, bukan hanya dari hasil putusan.
Imam Al-Ghazālī bahkan menegaskan kekuasaan itu ujian paling halus.
Jika hakim hidup dalam kemewahan, maka kehilangan hati dan pikiran yang jernih, padahal hati yang jernih itu benteng utama menegakkan keadilan.
Keteladanan Qadh (Hakim) Dalam Menjaga Benteng Integritas
Jika kita melihat kembali teladan orang-orang bijak era klasik, mereka mengajarkan kita satu hal krusial yaitu hidup sederhana itu bukan tanda bahwa kita tidak mampu atau lemah, justru sebaliknya, fondasi terkuat untuk menjaga siapa diri kita.
Seorang Qadhi sosok yang memegang keadilan ketika ia memilih hidup bersahaja, ia secara alami menjadi manusia yang merdeka.
Karena ia tidak mempunyai harga untuk bisa dibayar. Godaan suap (risywah) lainnya tidak mampu meruntuhkan integritasnya.
Ia tidak perlu cemas kehilangan kemewahan, sehingga saat memutus perkara, hatinya benar-benar jernih.
Inilah fungsi paling manusiawi dari kesederhanaan ia menjadi filter etik di dalam jiwanya. Kesederhanaan melindungi batin kita dari sifat serakah, memastikan, setiap kekuasaan yang kita pegang digunakan untuk melayani orang lain, bukan untuk merusak diri sendiri.
Relevansi bagi Peradilan Modern
Integritas di tubuh peradilan kita bukan hanya ada dalam pasal dalam kode etik tetapi merupakan denyut jantung yang memberi makna pada setiap palu keadilan yang diketuk.
Di tengah dinamika dunia modern, detak jantung itu kini dijaga oleh benteng yang paling kokoh yakni nilai Kesederhanaan.
Ketua Mahkamah Agung, Prof. Dr. H. Sunarto, SH, MH, selalu berpesan dalam setiap pembinaan agar hakim dan seluruh aparat peradilan hidup sederhana, jauh dari kilauan kemewahan.
Menurut beliau, tugas di pengadilan adalah amanah suci, sebuah panggilan luhur, bukan untuk mencari keuntungan dan fasilitas pribadi serta menjauhi pelayanan bersifat transaksional yang akan mengurangi kepercayaan publik.
Pesan luhur ini diterjemahkan menjadi tindakan nyata, menolak segala bentuk pemujaan terhadap kemewahan yang berlebihan, seperti ketika beliau melakukan kunjungan dinas ke daerah, beliau tidak perlu sambutan yang berlebihan, tidak perlu penjemputan khusus, tidak memberi oleh-oleh serta menghilangkan budaya mentraktir.
Ini adalah cara nyata untuk menanamkan integritas, kemandirian sebagaimana tertuang dalam delapan nilai utama Mahkamah Agung dan kebijaksanaan di dalam setiap langkah MA.
Inilah jembatan yang menyambungkan kearifan etika qadhi klasik, hakim yang bertumpu pada kesucian hati dengan tuntutan integritas hakim modern di tengah godaan zaman.
Penutup
Sebagai penutup dalam tulisan ini ingin menegaskan, keadilan sejati bukan tentang gedungnya yang mewah atau jabatan yang tinggi. Kekuatan utamanya justru datang dari tempat yang paling sederhana dan pribadi hati para hakim dan aparat peradilan.
Keadilan sejati datang ketika hati kita jujur mungkin, bahkan melampaui lembaran-lembaran hukum yang kaku.
Ketika seorang penegak hakim dan aparat peradilan merenung dan bertafakur sejenak dan kejernihan hatinya menjadi kompas utama, maka putusan yang lahir bukan hanya dari pasal- pasal tapi lebih adil dan manusiawi.
Sikap yang jernih, rendah hati, dan fokus total pada kebenaran murni itulah yang perlahan-lahan menumbuhkan kembali akar kepercayaan masyarakat.
Kita harus ingat, kepercayaan itu bukan hadiah, ia adalah sesuatu rasa yang harus disiram setiap hari dengan kesederhanaan tindakan dan keteladanan nyata di mata publik.
Wibawa peradilan yang sejati itu bukan terletak kantornya yang megah, kendaraanya yang mewah, peralatannya yang canggih, hakim dan aparat peradilannya yang berpenampilan mewah, melainkan saat mereka merasa dihormati sebagai manusia seutuhnya.
Wibawa datang ketika kita yakin, sepenuh hati, bahwa di balik meja sidang itu duduk seorang hakim dan aparat yang tulus berhati bersih, siap berjuang demi kebenaran dan keadilan yang bermartabat.
Sumber bacaan
Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, I‘lām al-Muwaqqi‘īn ‘an Rabb al-‘Ālamīn, Dār al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, 1991 Risalah Umar bin Khattab tentang etika dan kecukupan hidup qāḍī.
Al-Māwardī, Al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah, Dār al-Fikr, 1996 Larangan hadiah dan kewajiban menjaga wibawa hakim.
Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Dār al-Ma‘rifah, 2005 Kekuasaan sebagai ujian dan bahaya kemewahan bagi nurani.
Mahkamah Agung RI, Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), 2009.
Mahkamah Agung RI, Delapan Nilai Utama Mahkamah Agung, 2020.
MARINews: Arahan dan pidato pembinaan Ketua Mahkamah Agung RI, Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H., sebagaimana dimuat dalam MARINews Mahkamah Agung RI dan dokumen resmi Mahkamah Agung RI dalam setiap pembinaan (2025).




