Putusan Restoratif PN Pontianak: Keadilan yang Memulihkan dalam Kasus K-GYM

Kesepakatan antara terdakwa dan keluarga korban lahir secara konsensual, dilaksanakan dalam suasana terbuka, jujur, dan tanpa adanya tekanan dari pihak manapun.
Restorative justice di PN Pontianak. dok. Humas PN Pontianak
Restorative justice di PN Pontianak. dok. Humas PN Pontianak

MARINews, Pontianak — Siang itu, tepatnya hari Selasa tanggal 18 Juni 2024, terik matahari Pontianak terasa menyengat, seakan membakar atap-atap rumah di sepanjang jalan. 

Di lantai 2,5 K-GYM, suara mesin treadmill berderu kencang, berpadu samar dengan alunan musik senam dari lantai bawah. Di sana, Fathiya Nur Eka Rahma, 24 tahun, tampak antusias mencoba fasilitas yang ada di K-Gym untuk pertama kalinya, ditemani sang pacar, Andi, serta adiknya, Tio, yang setia mendampingi.

Awalnya semua tampak biasa. Fathiya mencoba treadmill, berlari pelan, sambil sesekali bercanda dengan adiknya. 

Namun, sekitar pukul 13.30, suasana berubah tragis. Dalam hitungan detik, tubuh Fathiya terhempas ke belakang, melewati jendela kaca yang terbuka tanpa teralis. Jeritan terdengar. Semua orang panik. Fathiya jatuh dari ketinggian dan seketika tak bernyawa.    

Dokter forensik kemudian memastikan bahwa ada luka robek di kepala, fraktur tulang belakang, dan memar di sekujur tubuh. Semua sesuai dengan trauma akibat jatuh keras dari lantai atas. 

Tak lama, polisi menetapkan Suyadi alias Ahian, pemilik K-GYM, sebagai tersangka. Ia didakwa melanggar Pasal 359 KUHP yaitu karena kealpaannya menyebabkan orang lain mati.

Persidangan pun digelar di Pengadilan Negeri Pontianak. Jaksa dengan lantang menuntut Suyadi alias Ahian, 2 tahun 6 bulan penjara. 

"Terdakwa lalai. Ia tidak memasang pengaman di jendela. Treadmill hanya berjarak 60 cm dari kaca yang bisa dibuka siapa saja. Itu jelas kelalaian yang fatal," kata jaksa di hadapan majelis hakim. 

Kuasa hukum Suyadi tak tinggal diam. 

"Ini murni kecelakaan, bukan kejahatan. Jendela dibuka oleh pengguna lain, bukan oleh terdakwa. Tidak ada niat jahat sedikit pun. Terdakwa sudah kooperatif, bahkan ikut membawa korban ke rumah sakit," ujarnya membela. 

Suyadi sendiri, dalam beberapa kali kesempatan, menunduk diam. Sesekali ia berkata lirih, "Saya menyesal… Saya benar-benar tidak pernah mengira ini bisa terjadi."

Hari-hari persidangan penuh ketegangan. Saksi-saksi dipanggil, ahli dihadirkan, bukti ditunjukkan. Namun, di balik semua itu, ada satu momen yang mengubah arah perkara, yaitu adanya “perdamaian”. 

Di ruang sidang, keluarga korban yang sejak awal menuntut keadilan, akhirnya membuka hati. Mereka menerima permintaan maaf Suyadi. 

"Kami kehilangan anak kami. Itu luka yang tidak bisa hilang. Tapi kami tidak ingin dendam. Kami memaafkan," kata ayah korban dengan suara bergetar. 

Tangis pecah. Suyadi tak kuasa menahan air matanya. Ia menyalami keluarga korban, menunduk dalam-dalam. 

"Ini semua adalah musibah buat kita semua, Saya mohon maaf. Saya akan bertanggung jawab, memperbaiki semuanya," ujarnya.

Perdamaian tersebut dicatat secara resmi dalam berita acara persidangan, sehingga memiliki kekuatan hukum mengikat dan dapat dipertimbangkan sebagai bagian dari proses pembuktian. 

Kesepakatan antara terdakwa dan keluarga korban lahir secara konsensual, dilaksanakan dalam suasana terbuka, jujur, dan tanpa adanya tekanan dari pihak manapun. 

Hal ini selaras dengan amanat Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Selasa, 12 Agustus 2025, ruang sidang penuh sesak. Publik menunggu putusan pengadilan, apakah Suyadi akan dipenjara? 

Ketua majelis hakim membuka berkas putusan. Suaranya tenang, tapi setiap kalimat menusuk. 

"Terdakwa terbukti bersalah karena kealpaannya menyebabkan orang lain mati."

Namun, kalimat berikutnya membuat ruang sidang terdiam, "Menjatuhkan pidana penjara selama 1 tahun… menetapkan pidana tersebut tidak perlu dijalankan, kecuali apabila dalam masa percobaan 6 bulan terdakwa kembali melakukan tindak pidana." 

Palu diketukkan. Suyadi resmi divonis penjara bersyarat. Ia bebas dari tahanan hari itu juga. Hakim menjelaskan alasannya: 

"Pidana bukan semata untuk menghukum, tetapi juga memulihkan. Keadilan restoratif adalah jalan tengah yang lebih adil."

Bagi keluarga korban, vonis itu diterima dengan lapang dada. 

"Kami sudah memaafkan. Yang penting, jangan sampai kejadian ini terulang," kata ibu korban pelan. 

Bagi Suyadi, putusan ini adalah kesempatan kedua. Setelah sidang, ia berjanji memperbaiki fasilitas gym yang dimilikinya, termasuk memasang teralis di semua jendela. 

"Saya ingin memastikan tempat ini aman. Saya tak ingin ada korban lagi," katanya.

Putusan ini meninggalkan pesan besar bahwa keselamatan publik tidak boleh diabaikan. Bangunan gym bukan sekadar ruang olahraga, tapi juga tanggung jawab hukum. 

Lebih jauh, kasus ini menjadi bukti bahwa hukum pidana di Indonesia kini bergerak ke arah baru. Restorative justice memberi ruang bagi keadilan yang lebih manusiawi, menyeimbangkan kepastian hukum dengan pemulihan sosial. 

Di balik tragedi, ada pelajaran. Di balik palu hakim, ada air mata. 

Putusan K-GYM mengingatkan kita bahwa "Keadilan sejati bukan hanya soal siapa yang salah dan siapa yang dihukum, melainkan bagaimana luka bisa dirawat, hubungan dipulihkan, dan masyarakat tetap terlindungi".

Penulis: Urif Syarifudin
Editor: Tim MariNews