Hari Antikorupsi Sedunia: Saatnya Insan Peradilan Menundukkan Hati

Amanah peradilan berlapis makna. Di permukaan, ia tertulis dalam konstitusi, undang-undang, sumpah jabatan, dan kode etik
Di balik senyum dan doa keluarga yang tenang, ada ayah dan ibu yang menolak korupsi, bersyukur atas rezeki dari gaji dan tunjangan yang halal. Cukup dan penuh berkah, karena tidak ada satu rupiah pun yang mengundang murka Allah. Foto : Ilustrasi oleh penu
Di balik senyum dan doa keluarga yang tenang, ada ayah dan ibu yang menolak korupsi, bersyukur atas rezeki dari gaji dan tunjangan yang halal. Cukup dan penuh berkah, karena tidak ada satu rupiah pun yang mengundang murka Allah. Foto : Ilustrasi oleh penu

Hari Antikorupsi Sedunia yang jatuh setiap tanggal 9 Desember bukan sekadar penanda waktu di kalender atau alasan untuk memasang spanduk dan slogan di dinding kantor. 

Bagi insan peradilan, khususnya mereka yang diberi amanah berada di puncak sistem peradilan dan menjadi harapan terakhir rakyat, hari ini sejatinya merupakan undangan halus untuk bercermin ke dalam hati. 

Bukan bercermin pada pangkat, toga, atau kursi jabatan, melainkan pada hakikat diri sebagai hamba Allah yang kelak berdiri sendiri di hadapan-Nya, mempertanggungjawabkan setiap putusan, setiap tanda tangan, dan setiap keputusan yang pernah diambil atas nama hukum.

Amanah peradilan berlapis makna. Di permukaan, ia tertulis dalam konstitusi, undang-undang, sumpah jabatan, dan kode etik. Namun di lapisan terdalam, ia adalah ikatan rohani antara manusia dan Tuhannya. 

Ketika seorang hakim, panitera, atau aparatur peradilan mengucap sumpah atas nama Allah, saat itu ia sejatinya sedang menandatangani perjanjian yang kelak akan dibuka kembali pada hari ketika semua rahasia diungkap. 

Pertanyaannya sederhana namun menohok: apakah setiap perkara yang kita sentuh selama ini mendekatkan kita kepada ridha-Nya, atau justru menambah berat timbangan hisab kita?

Nafsu terhadap harta, kehormatan, dan kenyamanan adalah bagian dari fitrah manusia. Tidak ada yang salah dengan keinginan hidup layak, ingin keluarga sejahtera, dan ingin dihormati karena jabatan. 

Harta bahkan dapat menjadi perhiasan kehidupan, sarana untuk menolong sesama dan menegakkan kebaikan. Namun, bahaya muncul ketika harta dan jabatan tidak lagi diposisikan sebagai alat, tetapi dijadikan tujuan tertinggi. 

Di titik itu, tangan yang seharusnya digunakan untuk menandatangani keadilan bisa mulai tergoda menandatangani kecurangan; hati yang seharusnya peka terhadap jeritan rakyat menjadi lebih peka terhadap amplop, janji, dan titipan; dan kepala yang seharusnya tunduk pada wahyu dan nurani bisa tiba-tiba tunduk pada bisikan duniawi. 

Nafsu tidak dapat dimatikan, tetapi ia harus diarahkan dan dikendalikan oleh nilai-nilai yang hidup di dalam batin.

Dalam perspektif Islam, yang diyakini mayoritas insan peradilan di negeri ini, harta adalah titipan, jabatan adalah ujian, dan keadilan adalah perintah langsung dari Allah. 

Setiap rupiah yang memasuki kantong akan ditanya dari mana ia diperoleh dan kemana ia dibelanjakan. Setiap putusan akan ditanya apakah ditegakkan dengan jujur atau diperjualbelikan demi kepentingan sesaat. Tidak ada berkas yang terlalu kecil untuk luput dari perhatian-Nya, sebagaimana tidak ada peristiwa dalam ruang sidang yang benar-benar tersembunyi dari catatan malaikat. 

Di dunia, mungkin tidak semua pelanggaran tertangkap sistem pengawasan; tetapi di hadapan Tuhan, tidak ada satu pun jejak yang hilang. Di sinilah takut dosa menjadi benteng terakhir seorang insan peradilan: ketika sistem tidak melihat, ketika atasan tidak tahu, ketika rekan sejawat diam, hanya rasa takut kepada Allah yang sanggup membuat seseorang berkata dalam hati, 

“Saya bisa, tapi saya tidak mau. Saya takut dosa.”

Korupsi hampir selalu tumbuh di lingkungan yang membiarkan budaya pembiaran. Bermula dari kebiasaan kecil yang ditoleransi, candaan yang menormalisasi pungli, kalimat-kalimat seperti “sudah biasa”, “semua juga begitu”, hingga pada akhirnya kita tidak lagi merasa aneh melihat pelanggaran kecil yang lama-lama membesar. 

Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia seharusnya menjadi momentum untuk mengubah budaya dari akar: menghidupkan rasa malu berbuat curang, bukan sekadar malu ketika tertangkap; menghidupkan budaya saling menjaga, bukan saling menjerumuskan; serta menempatkan integritas sebagai standar kehormatan, bukan sekadar seberapa besar harta dan fasilitas yang dimiliki. 

Di lingkungan yang sehat, yang paling dihormati bukanlah yang mobilnya paling mewah, melainkan yang paling lurus akhlaknya dan paling adil putusannya.

Etika profesi di dunia peradilan bukan hiasan pelengkap; ia adalah nafas dari profesi itu sendiri. Kewenangan besar untuk memutus hak, kehormatan, bahkan kebebasan orang lain menuntut kualitas moral yang tinggi. 

Integritas bukan slogan tahunan, tetapi keputusan yang diambil berulang kali dalam hal-hal kecil: menolak titipan pesan, mengabaikan upaya intervensi, menuliskan putusan apa adanya berdasarkan fakta dan hukum meskipun pihak yang kuat tidak menyukainya, dan memilih gaya hidup yang proporsional agar tidak menjerat diri sendiri dalam pusaran kebutuhan semu. 

Tanpa etika, kecakapan hukum dapat berubah menjadi senjata yang membahayakan banyak orang; dengan etika, ilmu hukum menjadi jalan pengabdian yang mulia.

Menjadi bagian dari lembaga peradilan tertinggi di negeri ini adalah sebuah nikmat besar: nikmat dipercaya, nikmat diberi ilmu, nikmat diberi kesempatan menegakkan keadilan. Syukur atas nikmat itu tidak cukup diekspresikan dengan kata-kata, tetapi terutama dengan menjaga setiap rupiah tetap halal, menjaga setiap keputusan tetap bersih, dan menolak mencampur rezeki yang sah dengan yang syubhat apalagi yang jelas haram. 

Korupsi mungkin tampak memperbanyak harta, tetapi ia menggerogoti ketenangan jiwa, mengundang kegelisahan, dan dapat merusak kesehatan jasmani–rohani karena hidup terus-menerus dalam kecemasan. 

Sebaliknya, integritas membawa kelegaan batin, doa yang terasa lebih jernih, dan keberkahan yang mungkin tidak selalu tampak pada angka, tetapi terasa pada ketenangan keluarga, kesehatan, dan rasa cukup di hati.

Kita juga perlu menyadari bahwa korupsi bukan semata dosa individu; ia adalah penyakit yang merusak struktur bangsa. Uang yang seharusnya untuk pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat bocor ke kantong-kantong pribadi. Rakyat kecil perlahan kehilangan kepercayaan, generasi muda menjadi sinis dan bertanya-tanya, “Untuk apa jujur, jika hukum bisa dibeli?” 

Di titik inilah peran insan peradilan menjadi sangat menentukan: setiap putusan yang adil mengirim pesan bahwa masih ada harapan, setiap proses yang bersih menguatkan keyakinan bahwa hukum masih bisa menjadi tempat berlindung, dan setiap sikap menolak suap adalah pondasi yang menguatkan bangunan negara hukum. 

Sebaliknya, setiap tindakan koruptif di tubuh peradilan adalah retakan serius di fondasi keadilan yang kita bangun bersama.

Di momen peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia ini, mari sejenak menundukkan kepala bukan karena kalah, tetapi karena ingin mendengar lebih jelas suara hati dan panggilan Ilahi. 

Untuk seluruh insan peradilan, hakim, panitera, pejabat struktural dan fungsional, serta seluruh aparatur, ini saat yang tepat untuk memperbarui niat: ingin jujur bukan karena takut sanksi, tetapi karena takut dosa; ingin berintegritas bukan semata demi citra lembaga, tetapi demi keselamatan diri di hadapan Tuhan; ingin meninggalkan dunia dengan wajah tenang karena pernah menjaga amanah keadilan sebaik-baiknya. 

Palu sidang suatu hari akan berhenti diketuk, masa jabatan akan berakhir, nama akan hilang dari struktur organisasi. Tetapi di sisi Allah, air mata orang yang pernah dizalimi atau dibela, napas lega mereka yang mendapat putusan adil, serta hak-hak yang pernah diselamatkan tidak akan pernah hilang dari catatan. 

Semoga Hari Anti Korupsi Sedunia ini menjadi hari tobat batin, hari pembaruan niat, dan hari lahirnya kembali insan peradilan yang lebih takut dosa, lebih mencintai kejujuran, dan lebih yakin bahwa keberkahan jauh lebih indah daripada kekayaan yang tercemar oleh korupsi.\

*) Artikel ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi. 

Penulis: Unggul Senoadji
Editor: Tim MariNews