Kewenangan mengadili perkara pidana di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP dan peraturan terkait lainnya.
Secara umum, kewenangan ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu kewenangan absolut mengacu pada kewenangan mutlak suatu badan peradilan untuk memeriksa dan mengadili jenis perkara tertentu, yang tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lain.
Sedangkan kewenangan relatif mengacu pada kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara pidana berdasarkan wilayah hukumnya, lokasi kejadian tindak pidana, domisili pihak-pihak yang terlibat, atau yang ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
Ikhwal kompetensi relatif dalam perkara pidana diatur secara umum dalam Pasal 84-88 KUHAP, di mana prinsipnya berdasarkan tempat terjadinya tindak pidana (locus delicti), selain tempat terjadinya tindak pidana, kewenangan pengadilan negeri, juga dapat ditentukan oleh suatu keadaan lain yaitu, Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat terdakwa diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri itu, daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan.
KUHAP juga mengatur kewenangan relatif berdasarkan beberapa tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukum berbagai Pengadilan Negeri, maka tiap Pengadilan Negeri itu masing-masing berwenang mengadili perkara pidana tersebut.
Namun, apabila beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada sangkut pautnya dan dilakukan oleh seseorang dalam daerah hukum berbagai Pengadilan Negeri, maka dapat diadili oleh masing-masing Pengadilan Negeri dengan ketentuan dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut. Dalam keadaan lainnya, terdapat juga kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk mengadili tindak pidana yang dilakukan di luar negeri.
Selain ketentuan-ketentuan tersebut di atas, terdapat juga pengaturan kewenangan relatif berdasarkan usul ketua pengadilan negeri atau kepala`kejaksaan negeri yang bersangkutan, kemudian Mahkamah Agung mengusulkan kepada Menteri Kehakiman untuk menetapkan atau menunjuk pengadilan negeri lain daripada yang tersebut pada Pasal 84 KUHAP, guna mengadili perkara yang dimaksud.
Namun saat ini, kewenangan penetapan pindah tempat sidang ada pada lembaga Mahkamah Agung RI, dengan kriteria didasarkan pada keadaan daerah yang tidak mengizinkan suatu pengadilan negeri untuk mengadili suatu perkara. Dalam praktiknya keadaan-keadaan tersebut, berkaitan dengan faktor keamanan, dan ketertiban, bencana alam, serta adanya potensi benturan kepentingan dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara.
Lalu, bagaimana mekanisme permohonan pindah tempat sidang atas alasan-alasan tersebut?
Dengan berlakunya aplikasi Elektronik Berkas Pidana Terpadu atau disingkat E-Berpadu, Pengadilan Negeri atau Kejaksaan Negeri setempat dapat mengusulkan pindah tempat sidang secara elektronik melalui akunnya masing-masing ditujukan kepada Mahkamah Agung RI.
Permohonan tersebut, harus disertai dengan alasan yang cukup. Dalam praktiknya apabila berkaitan dengan alasan keamanan dan ketertiban, maka perlu ada suatu pernyataan dari pihak Kepolisian Resor setempat, Kejaksaan Negeri setempat, pemerintah daerah atau Forum Komunikasi Pimpinan Daerah.
Alasan yang cukup berkaitan dengan situasi keamanan dan ketertiban di daerah Pengadilan Negeri tersebut, sehingga tidak kondusif untuk menggelar persidangan.
Permohonan pindah tempat sidang, dapat dimohonkan pada dua pilihan, pertama dalam hal perkara sudah terdaftar, yaitu permohonan perpindahan tempat sidang untuk perkara yang sudah terdaftar/teregister di suatu pengadilan dan sudah mendapatkan nomor perkara.
Kedua dalam hal perkara belum terdaftar, yaitu permohonan perpindahan tempat sidang, untuk perkara yang sama sekali belum terdaftar/teregister di suatu pengadilan.
Selanjutnya, Pengadilan Negeri melalui akun Panitera Muda Pidana atau kejaksaan melalui akunnya, bermohon kepada Mahkamah Agung disertai dengan mengisi kolom nama pengadilan asal dan nama Pengadilan Negeri yang dituju tersebut.
Adapun kewenangan menyetujui atau menolak permohonan pindah tempat sidang dimiliki oleh Panitera Muda Tingkat Kasasi/MA, sesuai dengan jenis pidana permohonannya. Selanjutnya, permohonan tersebut dapat disetujui, ditolak atau perlu dilakukan perbaikan.
Masing-masing penetapan dimaksud, akan diberitahukan kepada pengadilan asal, pengadilan yang dituju dan pihak terkait lainnya.
Referensi
- Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;
- Buku Panduan Sistem Informasi Pengadilan E-BERPADU dan SIPP Update Agustus 2023 Tim-IT Development MA RI;
- https://www.hukumonline.com/klinik/a/pemindahan-tempat-persidangan-lt54732977ad385/