Yurisprudensi MA: Legal Standing Perempuan Menggugat Pembagian Harta Waris yang Setara dengan Laki-Laki (Kajian Hukum Adat)

Pendekatan ini menunjukkan evolusi pemikiran hukum Indonesia yang semakin progresif dan responsif terhadap tuntutan keadilan gender.
Ilustrasi yurisprudensi MA. Foto facebook.com/YMRI.co.id/
Ilustrasi yurisprudensi MA. Foto facebook.com/YMRI.co.id/

Yurisprudensi:

179 K/SIP/1961 dikuatkan dalam 3/Yur/Pdt/2018

Kaidah Hukum:

Atas dasar persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, perempuan mempunyai hak atas warisan orang tuanya atau suaminya sehingga mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan gugatan untuk memperoleh warisan dan mendapatkan warisan dengan bagian (porsi) yang sama dengan laki-laki.

Duduk Perkara:

Yurisprudensi 3/Yur/Pdt/2018 mengkompilasikan berbagai perkara waris adat yang menyinggung sengketa waris yang diajukan gugatan oleh ahli waris perempuan. 
Salah satu contoh adalah perkara nomor 583/Pdt.G/2011/Pn.Jkt.Sel, dimana Dr. T.D. Pardede sebagai pewaris meninggalkan warisan bagi para ahli warisnya yaitu sembilan anaknya dengan perimbangan porsi anak laki-laki dua kali dari anak perempuan (2:1), melalui surat wasiatnya.

Ahli waris perempuan menggugat untuk memohon agar porsi waris dari laki-laki dan perempuan selama masih anak kandung untuk mendapatkan bagian yang sama rata yaitu 1:1. 

Dalam putusan perkara nomor 583/Pdt.G/2011/Pn.Jkt.Sel ditemukan bahwa benar seharusnya pembagian waris sesuai hukum adat, harus ditentukan bahwa ahli waris laki-laki dan perempuan mendapat bagian yang sama rata yaitu 1:1, sehingga dalam perkara a quo masing-masing memperoleh 1/9 bagian atas seluruh harta warisan dari pewaris. Putusan tersebut dikuatkan pada tingkat banding dan kasasi.

Selain putusan tersebut, terdapat beberapa putusan yang mengutamakan kesetaraan gender untuk ahli waris perempuan dan ahli waris laki-laki, misalnya:

1. 179 K/SIP/1961, bahwa di Tanah Karo seorang anak perempuan juga harus dianggap sebagai ahli waris dan berhak menerima bagian dari harta warisan orang tuanya;
415 K/SIP/1970,  adat Tapanuli sudah memandang pemberian hak waris yang sama kepada anak perempuan dan laki-laki;

2. 4766/K/Pdt/1998, perempuan di Bali berhak atas harta peninggalan dari pewaris walaupun sistem pewarisan di Bali sendiri menganut sistem pewarisan mayorat laki-laki;

3. 1048 K/Pdt/2012, adat Rote Ndao yang membedakan hak waris perempuan dengan laki-laki, dipandang tidak mengakui hak perempuan setara dengan kedudukan laki-laki, sehingga tidak dapat lagi dipertahankan;

4. 2017 K/Pdt/2017, hukum adat Tionghoa tidak menguraikan tertulis mengenai pembedaan hak wanita dan pria si peninggal waris, sehingga tidak seharusnya ada pembedaan hak waris laki-laki dan perempuan;

Pertimbangan Hukum:

Kesetaraan gender dalam sistem hukum Indonesia merupakan isu fundamental yang terus menghadapi tantangan, terutama dalam konteks masyarakat yang masih kental dengan nilai-nilai tradisional. 

Yurisprudensi 3/Yur/Pdt/2018 menjadi tonggak penting, yang menegaskan komitmen Mahkamah Agung dalam menegakkan hak asasi manusia di Indonesia, khususnya kesetaraan jenis kelamin. Putusan ini memiliki signifikansi khusus, mengingat Indonesia sebagai negara yang didominasi budaya patrilineal dan sistem matrilineal sering kali ditempatkan sebagai minoritas yang rentan mengalami diskriminas,i dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk hal kewarisan.

Dalam Putusan 1048 K/Pdt/2012, Majelis Hakim Kasasi telah memberikan pertimbangan yang progresif dengan menyatakan bahwa pembagian hak waris perempuan yang lebih kecil, dibandingkan laki-laki bertentangan dengan prinsip-prinsip fundamental hukum Indonesia. Pertimbangan ini didasarkan pada beberapa landasan hukum yang kuat:

Pertama, Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menjamin kesetaraan hak tanpa diskriminasi gender. Pasal ini secara eksplisit menyatakan setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi, serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak.

Kedua, Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 179 K/Sip/1961 tanggal 11 November 1961, menjadi preseden penting dengan menyatakan hak waris perempuan wajib disamakan dengan laki-laki. Yurisprudensi ini menandai awal, dari upaya sistematis menghapuskan diskriminasi gender dalam bidang kewarisan, meskipun implementasinya masih menghadapi berbagai hambatan sosial dan budaya.

Berdasarkan teori kesetaraan gender yang dikemukakan oleh Matsani (2022), perempuan dan laki-laki seharusnya memiliki hak dan kesempatan yang setara dalam setiap aspek kehidupan, baik dalam perspektif publik maupun privat. 

Teori ini menekankan kesetaraan, bukan hanya sebatas formalitas hukum, tetapi juga harus terwujud dalam praktik nyata di masyarakat.

Namun, realitas empiris menunjukkan gap yang signifikan antara ideal dan kenyataan. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Gultekin et al. (2013) justru mengungkap perempuan masih belum dapat menggunakan hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki. 
Penelitian ini, menyoroti berbagai hambatan struktural dan kultural yang masih menghalangi realisasi kesetaraan gender, mulai dari stereotip sosial, norma tradisional, hingga sistem hukum yang belum sepenuhnya responsif gender.

Selain menjunjung Hak Asasi Manusia, Indonesia juga mengusung semangat Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW) sesuai ratifikasi dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1984.

CEDAW mendefinisikan prinsip-prinsip tentang Hak Asasi Perempuan sebagai Hak Asasi Manusia, norma-norma dan standar-standar kewajiban, serta tanggung jawab negara dalam penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. 

Konvensi ini menekankan negara pihak wajib mengambil tindakan-tindakan yang memastikan, antara lain penyusunan dan pemberlakuan secara efektif peraturan perundang-undangan yang melarang diskriminasi terhadap perempuan

Yurisprudensi ini, perwujudan kesetaraan perempuan dengan menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, termasuk dalam bidang kewarisan. Hal tersebut sejalan dengan Pasal 15 CEDAW yang menjamin kesetaraan perempuan dan laki-laki di hadapan hukum. 

Upaya Mahkamah Agung untuk menegaskan kesetaraan gender, khususnya dalam bidang kewarisan, mencerminkan komitmen institusional, untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip hak asasi manusia tidak hanya menjadi slogan kosong, tetapi benar-benar diimplementasikan dalam setiap aspek kehidupan masyarakat. 

Pendekatan ini menunjukkan evolusi pemikiran hukum Indonesia yang semakin progresif dan responsif terhadap tuntutan keadilan gender.