Sistem peradilan pidana terpadu atau integrated criminal justice system menjadi aspek kolaboratif dalam upaya mewujudkan penegakan hukum yang efektif dan berkeadilan.
Integrasi antar-instansi penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga pengadilan, memungkinkan koordinasi yang lebih baik dilihat dari segi transparansi proses hukum, dan efisiensi penanganan perkara pidana.
Kehadiran sistem elektronik Berpadu (e-Berpadu) menandai kemajuan dalam transformasi digital sistem peradilan pidana Indonesia.
e-Berpadu, yang diatur melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2022 dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2024, merupakan ruang maya yang memfasilitasi berbagai proses peradilan pidana secara daring.
Melalui sistem ini, aparatur penegak hukum seperti penyidik dapat mengajukan izin penyitaan, izin penggeledahan, penuntut umum dalam pelimpahan berkas perkara, penyerahan surat tuntutan, hingga hakim dalam pengunggahan putusan secara elektronik.
Digitalisasi ini tidak hanya mempercepat alur perkara, tetapi juga mengurangi birokrasi yang selama ini menjadi kendala dalam sistem peradilan konvensional.
Namun, jika e-Berpadu benar-benar menganut prinsip peradilan elektronik secara utuh, sistem ini seharusnya tidak hanya melayani kepentingan aparatur penegak hukum semata.
Analoginya, dengan e-Court yang telah lebih dahulu diimplementasikan dalam perkara perdata, e-Berpadu mestinya juga memungkinkan interaksi elektronik antara semua pihak yang terlibat dalam proses pidana, termasuk advokat sebagai penasihat hukum terdakwa.
Fitur tab persidangan (e-Criminal) yang ada menunjukkan potensi besar untuk pengembangan lebih lanjut ke arah ini.
Pembukaan akses bagi advokat selaku penasihat hukum sebagai pengguna layanan terdaftar untuk melihat berkas perkara pidana secara elektronik akan memberikan dampak signifikan.
Selama ini, advokat harus meminta salinan berkas kepada penuntut umum, proses yang kerap memakan waktu dan tidak jarang menimbulkan hambatan administratif.
Dengan akses langsung melalui e-Berpadu, advokat dapat segera mempelajari berkas perkara, menyiapkan strategi pembelaan yang lebih matang, dan memberikan pendampingan hukum yang lebih optimal kepada kliennya.
Keterbukaan akses bagi advokat dalam sistem informasi persidangan terintegrasi, seperti e-Berpadu, adalah langkah penting yang bukan sekadar kemudahan hukum acara. Keterbukaan akses ini merupakan kristalisasi dari asas fundamental access to justice (akses terhadap keadilan).
Hak terdakwa untuk mendapatkan pembelaan yang layak dan maksimal tidak dapat terwujud jika advokat sebagai penasihat hukum mengalami kesulitan dalam mengakses informasi perkara, termasuk dokumen, jadwal sidang, atau status penahanan.
Membatasi akses penasihat hukum sama saja dengan secara tidak langsung membatasi hak konstitusional terdakwa.
Access to justice menegaskan kemampuan setiap individu untuk mengakses mekanisme penyelesaian sengketa, baik melalui pengadilan maupun proses hukum lainnya, secara efektif dan adil.
Ini bukan hanya tentang membuka pintu pengadilan, tetapi memastikan bahwa proses hukum berjalan tanpa hambatan, diskriminasi, atau biaya yang tidak perlu, sehingga menghasilkan hasil yang adil bagi semua pihak.
Prinsip ini memiliki dimensi yang lebih luas, berorientasi pada common good atau kebaikan bersama masyarakat.
Law Society (2024) menekankan bahwa access to justice adalah pijakan bagi masyarakat untuk meyakini keadilan dari sistem hukum yang ada.
Ketika masyarakat menyaksikan bahwa proses peradilan berjalan secara adil, transparan, dan setara di hadapan hukum (equality before the law), maka kepercayaan publik terhadap institusi pengadilan akan menguat.